BAB 22 DORCHESTER HOTEL

9 0 0
                                    

"Tara Anggina?" batin Hunter, hampir tidak percaya. "Kenapa aku bisa lupa kalau dia wanita kucari selama ini?" pikirnya, merasa kesal karena melupakan hal yang seharusnya penting.

Tara juga memperhatikan Hunter. Penampilannya sangat berbeda saat menjadi guru dan saat ini. Dia mengenakan kaos putih dengan jaket hitam dan celana panjang hitam. Senyumnya yang jarang dilihat di sekolah, kini terpampang jelas, memperlihatkan lesung pipinya.

"Udah, siang lo kalau kalian nggak berangkat cepat!" seru Hunter lagi.

Para cewek itu tiba-tiba terdiam, seolah-olah terpesona oleh kehadiran Hunter. Salah satu dari mereka, yang memancarkan kecantikan yang menawan, dengan langkah-langkah anggun mendekati Hunter.

"Minta nomor teleponmu boleh?" tanya si cewek dengan suara lembut, seraya mendekatkan tubuhnya ke Hunter. Dia dengan penuh percaya diri merapatkan buah dadanya yang montok agar secara tidak sengaja menyentuh lengan kekar Hunter. Hunter merasa sedikit terkejut dengan tindakan mendadak si cewek.

Tara mengalihkan pandangannya dari pemandangan di depannya dan kembali memperhatikan gadis kecil yang dia tolong tadi.

"Dek, kamu udah selamat. Cepat pergi dari sini," ujar Tara lembut.

"Tapi... kak, aku mau minta nomor kakak ganteng itu," rengek gadis itu.

"Aduh! Mau minta nomor Pak Hunter juga?" batin Tara, merasa kesal.

Tara berhasil membuat gadis itu tersenyum dan pergi. Tak lama kemudian, para cewek SMA itu pun pergi, tentu saja setelah mendapatkan nomor dan rayuan maut dari Hunter.

Hunter kemudian mengalihkan perhatiannya pada Tara yang tampaknya hendak pergi. "Mau kemana kamu?" tanyanya.

"Ke sekolah, Pak. Kemana lagi?" jawab Tara.

"Setidaknya ucapkan terima kasih."

"Aku nggak butuh bantuan, Pak Hunter."

"Tapi..."

"Maaf, Pak. Saya udah mau telat nih."

Hunter melepaskan genggaman tangannya. Dia hendak menawarkan Tara tumpangan, namun gadis itu langsung menolak dan pergi. Tara bahkan sempat menendang kaki Hunter sebelum berlari mengejar bis yang sudah mulai bergerak.

"Sialan!" desis Hunter, menatap Tara yang kini sudah jauh di tengah keramaian.

*****

"Hunter!" Suara Kevin terdengar dari arah pintu kamar Hunter yang sedikit terbuka. Cowok itu seketika menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah kakaknya.

Pria berusia dua puluh lima tahun itu berdiri tegap di depan pintu. Penampilannya rapi dengan baju jas warna kelam yang kontras dengan raut wajahnya yang cerah. Sambil mendengus panjang, Kevin melangkah masuk ke dalam kamar Hunter.

"Nggak ke kantor kamu?" tanya Kevin dengan nada yang tidak bersahabat. Meskipun awalnya malas bertanya kepada Hunter, desakan ayah mereka membuat Kevin akhirnya menghampiri adiknya.

"Besok aku ke kantor. Pagi ini aku ada urusan lain," jawab Hunter dengan jujur. Hari ini dia memiliki jadwal mengajar sekitar jam 10 pagi, jadi dia sengaja mampir ke rumah untuk berganti baju. Hunter tidak ingin berbohong.

"Jangan bohong kamu! Kamu sudah tidak pergi ke kantor sejak Senin kemarin kan?" bentak Kevin dengan raut murka. Wajahnya memerah, dan lehernya terlihat menegang. Jelas sekali bahwa pria ini tengah menahan emosinya.

Kevin merasa tidak adil. Dia telah bekerja keras untuk mendapatkan posisi CEO, sementara Hunter terlihat tidak serius dan hanya menganggap jabatan itu sebagai lelucon belaka. Semua tanggung jawab akhirnya jatuh ke pundak Kevin.

Dilemma of Secrets: Love in ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang