BAB 12 CURIGA

18 0 0
                                    

Di ruang guru, topik pembicaraan mereka tidak lepas dari sosok heroik Tara, yang menggunakan nama palsu Lara Anggina.

"Lara Anggina, tolong ke ruang kepala sekolah segera!" Suara speaker bagaikan toa yang menggema di seluruh sekolah.

Sementara Tara sedang sibuk menulis tugas, ia menghela napas dengan serius. Alrga, teman di sebelahnya, mengangkat alisnya dengan keheranan.

"Eh, namamu dipanggil," ujar Alrga, tidak mengetahui apa yang terjadi pagi tadi. Bagaimana dia bisa tahu, padahal dia sendiri datang terlambat.

Tara bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari kelas setelah meminta izin kepada Pak Hunter. Ia terlihat seolah-olah sudah tahu apa yang sedang terjadi, dan hanya mengangguk pelan.

Sepanjang perjalanan menuju ruang kepala sekolah, Tara berpikir bahwa pasti anak bernama Abel tadi yang melaporkannya. Dan dugaannya ternyata benar.

"Kau lihat, anak saya tangan terkilir begini," kata seorang wanita paruh baya dengan elegan, menatap tajam ke arah Tara yang tampak santai.

"Tapi, bukan sepenuhnya kesalahan saya," bukan Tara yang berbicara, melainkan Devin, sosok lelaki yang ditolong Tara pagi tadi.

Tubuh lelaki mungil itu gemetar tak karuan, matanya berkaca-kaca, siap untuk menangis kapan saja. Tara menanggapi situasi ini dengan tenang.

"Maafkan atas kelalaian kami, nyonya," kata wakil kepala sekolah merendah di depan ibu Abel yang mendekap tangan di dada dengan gelak sombong.

Ibu Abel kemudian menunjuk Tara dengan telunjuknya. "Kau!" Tara menunjuk ke arah dirinya sendiri tanpa mengeluarkan suara. Devin tak berani menatap mata ibu Abel yang kini akan memarahi Tara. "Ya, semoga bersiswaku tidak dicabut," doa Devin dalam hati.

"Aku ingin anak ini dikeluarkan dari sekolah!" seru ibu Abel mendekati Tara yang diam di tempat. Wakil kepala sekolah langsung panik, karena tidak mungkin mengeluarkan Tara, karena gadis itu adalah aset berharga bagi seseorang.

"Maafkan kami, nyonya. Gadis ini tidak bisa kami keluarkan karena..." belum sempat wakil kepala sekolah menyelesaikan kalimatnya, suara keras terdengar.

Tara mengelapkan tangannya. Sudut bibirnya berdarah, dan aura membunuh keluar darinya. Kata "bunuh" terus terulang-ulang dalam benaknya.

Baik Devin maupun wakil kepala sekolah terkejut bukan main. Ibu Abel tersenyum puas, lalu berkata, "Ah, aku mau gadis ini tetap keluar dari sekolah ini! Kalau tidak, kalian akan tahu akibatnya." Dia lalu keluar dari ruangan dengan anggun, meninggalkan suasana tegang di antara mereka yang berada di ruangan tersebut.

"Devin, kau bisa keluar!" ucap Pak Gail, menyuruh lelaki mungil itu pergi dari sana. Dengan hati-hati, sorot matanya mengarah ke Tara yang tampak penuh nafsu membunuh.

Lelaki itu keluar dari ruangan dengan terburu-buru, namun perasaan lega terhenti ketika melihat sosok yang dikenalnya menunggunya sejak tadi.

****

"Nona, maafkan saya," kata Pak Gail dengan hormat, menundukkan kepalanya ke arah Tara yang sedang membersihkan wajahnya dengan kain yang diberikan oleh lelaki berusia sekitar 25 tahun. Kain itu kini berlumur darah yang keluar dari mulut gadis itu.

"Apa dia salah satu dalam rencana ini?" Tara membasahi kain itu. Tatapan matanya yang terpancar penuh dengan kegelapan terpantul di cermin.

"Ya, nona. Dia istri dari salah satu dari mereka," jawab Pak Gail.

"Bagus!" Tatapan mata Tara semakin gelap. Dia tidak perlu repot-repot mencari pelampiasan malam ini. Kebahagiaan gadis itu malah dihancurkan oleh Pak Gail.

"Tapi, Nona..." belum sempat lelaki itu menyelesaikan ucapannya, sosok lain membuka pintu ruangan. Tara tahu apa yang akan diucapkan oleh lelaki itu, dan dia tidak bisa bergerak semaunya untuk mencari pembunuh Isabella.

Dia harus menemukan petunjuk terlebih dahulu. Ya, seperti yang dikatakan oleh kekeknya, atau lebih tepatnya Tuan Gunner. Dia hanya perlu memberi peringatan kepada mereka yang berkhianat pada Tuan Gunner. Tapi siapa orang itu?

Banyak file yang dikirim melalui email-nya. Namun, tidak ada kejelasan tentang pengkhianat itu. Apakah Tuan Gunner sedang mempermainkannya? Tidak mungkin...

Tiba-tiba, langkah kaki mendekat membuat keduanya kembali ke posisi semestinya.

"Lara Anggina..." Suara itu, tak lain adalah target utama Tara, tetapi belum ada bukti pasti apakah dia akan membunuh lelaki itu.

"Kenapa siswa masih ada di sini? Pak Gail," lanjut Pak Zeus, menatap tajam ke arah Tara yang menunduk. "Keluar!"

Tara segera keluar dari ruangan itu. Ia harus cepat mendapatkan bukti. Agar dapat membunuh mereka semua. Ah, ia teringat akan sebuah tempat yang ingin ia kunjungi bersama Alrga setelah sekolah.

Lencana!

Barang itu tidak asing bagi Tara. Ah, dia sangat ingin membunuh orang saat ini. Amarah dalam dirinya ngamuk-ngamuk. Kakinya melangkah menuju ke arah kelasnya.

****

"Jelaskan, Pak Gail. Kenapa Nyonya Abel marah? Kau tahu, setengah aset sekolah berasal dari sumbangannya," kata Zeus sambil duduk dengan tangan memijat keningnya. Dia merasa bingung mengapa akhir-akhir ini semuanya tidak sesuai dengan keinginannya.

Pak Gail kemudian menjelaskan dengan penuh sopan, "Begini, Pak." Penjelasan yang sangat rinci membuat Zeus menatap Pak Gail dengan tatapan tajam, mencoba mencerna situasi yang sedang terjadi.

"Lara Anggina? Keponakan Tuan Gunner!" Kedua mata Zeus membulat, informasi tersebut seolah-olah menjadi bom yang meledak dan menghancurkannya.

Pak Gail mengangguk sebagai tanda persetujuan, mengakui bahwa dia baru saja mengetahuinya. "Saya baru saja mengetahuinya. Sekarang!" Amarah Zeus meledak seperti singa yang baru terbangun dari tidurnya.

"Ini sepenuhnya kesalahan saya." Pak Gail mengakui bahwa dia juga baru mengetahui hal tersebut ketika melihat sponsor Tara yang mengarah pada Tuan Gunner, sosok yang sangat terkenal dan dihormati.

"Ah, sial!" Zeus mengumpat. "Kau urus pertemuan saya dengan Tuan Gunner, biar aku bisa meminta maaf langsung." Perkataan Zeus disambut dengan anggukan oleh Pak Gail, lalu dia kembali ke ruangannya dengan langkah tergesa-gesa.

Zeus merasa ada sesuatu yang janggal. Ini bukan kali pertama dua orang masuk ke sekolahnya dalam waktu yang relatif dekat. "Apakah Tuan Gunner mulai menyadari..." Tanpa ragu, dia segera menelpon seseorang dari seberang sana untuk mencari jawaban.

****

"M-maaf a-aku kak," ucap Devin yang kini basah kuyup. Baju seragam lelaki itu mengeluarkan bau yang tidak sedap, sementara dua gadis di hadapannya tertawa puas.

"Cih, anak miskin." Citra merekam Devin yang menunduk ketakutan, sementara kamera mengarah padanya untuk merekam adegan tersebut.

Tubuh mungil itu merintih kesakitan sesaat setelah sepatu mahal Abel menendangnya seperti bola sepak. Tatapan meremehkan tergambar jelas di wajah Abel.

"Dasar sampah!" Abel memaki Devin dan memberikan pukulan keras ke perutnya. Devin menahan rasa sakit dengan sekuat tenaga yang ia miliki.

"Sudah, Yuk. Nanti kita terlambat absen," ujar Citra yang senang merekam Devin yang memuntahkan isi perutnya. Tatapan jijik terpancar jelas dari mata cewek manis itu saat dia menatap Devin.

Abel menghempaskan rambutnya ke belakang dan keluar dari toilet, diikuti oleh Citra yang mengikuti di belakangnya. Mereka memberi salam perpisahan kepada Devin yang menghela napas, walaupun tubuhnya sakit tak terkatakan.

"Ah, mereka semakin kejam!" seru Devin dengan lemah. Dengan susah payah, dia berusaha bangkit dari lantai yang kotor, sedih melihat baju basah yang ia kenakan. Dia merasa bersalah karena marah tanpa alasan yang jelas pada Tara yang pernah menolongnya. Dia berniat meminta maaf padanya setelah pulang sekolah.

Tapi mau bagaimana lagi? Dia dan Tara tidak sekelas. Dan sebentar lagi dia harus ikut pelajaran olahraga dengan Pak Hunter, walaupun dia merasa tidak sanggup, dia tetap memaksa diri untuk mengikuti pelajaran itu.

Dilemma of Secrets: Love in ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang