Alrga menghentikan motornya di depan sebuah toko antik yang ternyata berjarak cukup jauh dari sekolah. Tara turun dari motor dan memperhatikan bangunan kokoh di depannya dengan pandangan yang penuh minat. Alrga melihat motornya yang diparkir di sana dan berkata, "Nggak apa-apa, aku parkir di situ, kali ya?"
"Ya, ampun mikir apa lagi?" Tara memandang Alrga yang terdiam di tempat. Pria itu tersentak sedikit pun langsung tersadar kakinya pun ikut bergerak dari sana.
Mereka berjalan bersama menuju pintu toko.
Ketika pintu terbuka, terdengar bunyi gemerincing lonceng dan seorang pria mungil yang menjadi penjaga toko keluar dari balik rak. Dia sedang membersihkan salah satu rak dan berlari ke depan pintu untuk menyambut pelanggan."Selamat datang—" belum selesai ucapan pria itu, Tara langsung mengenalinya. "Kok, kamu ada di sini?" Tara tidak melihat siapa-siapa selain pria tersebut. Apakah dia yang mengurus toko ini?
"Aku punya toko ini. Eh, maksudku, toko ini milik nenekku, tapi beliau sedang tidur," jelas pria tersebut. Ketika pria itu melihat ke belakang Tara, dia melihat wajah Alrga yang tampak marah.
Pria itu menghela napas dengan kasar. "Aku minta maaf atas kejadian siang tadi." Tidak ada jawaban dari Tara dan Alrga.
Tara yang tahu bahwa itu bukan sepenuhnya kesalahan Devin berkata, "Santai saja. Tapi sebagai permintaan maafmu, bisakah kau mencari tahu tentang sebuah lencana?"
Devin terlihat berpikir sejenak sebelum menyetujui permintaan Tara yang agak sulit untuk diterima. "Sebenarnya, aku tidak tahu apakah bisa membantumu. Tapi, biar kulihat dulu lencananya."
Tara yang tahu Alrga masih marah pada Devin membawa Alrga ke pojok untuk berbicara sebentar. Kemudian Tara kembali dan berkata, "Ini lencananya, tolong ya. Jika ada sesuatu, hubungi nomorku saja."
Devin melihat lencana itu dengan seksama. "Baiklah." Dia mengambil sepotong kertas yang berisi nomor telepon Tara.Alrga sejak tadi hanya diam. Tara merasa tidak enak dengan situasi yang melihat Alrga yang mempertahankan wajah dingin. "Kalau begitu, kami akan pamit dulu." Tara mengucapkan permohonan maaf kepada Devin sebelum menarik Alrga keluar dari toko.
"Ya ampun, tadi canggung banget!" kata Tara sambil menghela napas lega setelah keluar dari toko. "Sumpah!" tambah Tara kemudian.
****
Namun tidak ada tanggapan dari Alrga. Tara pun ikut diam dan mengikuti Alrga yang masih dalam suasana hati yang buruk. "Biarkan aku mengantarmu pulang," kata Alrga tiba-tiba.
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Kamu kembali saja aku ke sekolah," jawab Tara sambil naik ke motor Alrga yang sudah berbunyi.
"Tapi..." Ucapan Alrga terpotong sesaat Tara menyipitkan matanya tanda tidak menerima penolakan. Dia tersenyum tipis sesaat melihat Tara dari balik kaca spion, wanita itu menggigil kedinginan padahal langit masih senja dan itu membuatnya merasa sedikit cemas. "Yakin?" tanya Alrga sekali lagi.
Tara mengangguk kuat, Alrga akhirnya mengalah dan memutuskan untuk mengantarkan Tara kembali ke sekolah. Motor melaju dengan kecepatan rata-rata, diiringi oleh keadaan yang agak canggung. Tara mencoba untuk memulai percakapan dengan Alrga, mencari cara untuk meredakan ketegangan yang ada.
"Kenapa kamu bisa tahu tempat itu tadi?" kata Tara mencoba membuka pembicaraan. Meskipun dia tahu itu hanya basa-basi, tapi dia tidak tahan dengan keheningan yang tegang.
"Entahlah," balas Alrga singkat, tetapi masih terlihat tegang. Tara merasa jengkel melihat reaksi cuek pria itu.
"Tadi di toko, aku tahu kamu masih marah dengan Devin," ujar Tara dengan suara lembut. "Tapi, kan bukan sepenuhnya salah dia juga. Kamu juga tahu kan?" lanjutnya sambil memperbaiki anak rambut yang menghalangi pandangan matanya.
Alrga tidak langsung menjawab, tetapi Tara bisa melihat bahwa dia sedikit melonggarkan tegangannya. Setelah beberapa saat, Alrga akhirnya berkata, "Iya."
Tara tersenyum dengan sedikit kelegaan. Setelah pulang dari toko, Alrga benar-benar menjadi cowok yang menyebalkan! Tara mendengar kata-kata itu dan sedikit tertawa.
"Kamu benar-benar tidak bisa menahan diri, ya! Aku jadi kewalahan tadi, tahu nggak sih!" seru Tara mengalahkan suara mesin motor yang berderu keras.
Alrga mengangguk setuju dari balik helm yang dikenakannya. "Sorry, lain kali nggak deh!" Tangannya memegang erat stang motor, melepaskan rasa kekakuan.
"Gitu dong!" seru Tara sambil memukul bahu Alrga dengan lembut.
Tak butuh waktu lama. Akhirnya, Alrga mengantarkan Tara kembali ke sekolah. Mereka berhenti di depan gerbang sekolah, dan Tara turun dari motor dengan senyuman di wajahnya.
"Terima kasih, Alrga. Hati-hati ya," ucap Tara.
Alrga tersenyum hangat. "Kamu yakin nggak mau aku antar sampai rumah?"
"Nggak, cepatlah pulang," usir Tara sambil melihat Alrga yang enggan pergi dari sana.
"Hati-hati ya," balas Alrga dengan hati berat, meninggalkan Tara di sana.
****
Hunter tidak langsung menuju rumahnya. Di sinilah dia berada sekarang, tempat peristirahatan terakhir Isabella. Setelah memarkirkan mobilnya di dekat pohon rindang, Hunter melangkah menyusuri beberapa gundukan tanah makam hingga akhirnya sampai di blok makam Isabella. Namun, beberapa meter sebelum tiba di tempat tujuan, pergerakannya tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita berpakaian seragam yang sangat dikenalnya sedang meletakkan bunga lili di makam Isabella.
Hunter mempertajam penglihatannya agar bisa melihat lebih jelas siapa orang itu. Menurut pengetahuan Hunter, semasa hidup, Isabella tidak pernah terlihat berdekatan dengan wanita selain Yasmine. Jadi, siapa wanita ini?
Wanita itu bicara dengan suara parau yang masih bisa didengar jelas oleh Hunter yang bersembunyi di balik pohon. Pria itu memasang telinganya dengan baik untuk mendengarkan. Butuh waktu bagi Hunter untuk menyadari siapa sebenarnya wanita itu.
"Lara?" Hunter bergumam pelan, keningnya mengernyit heran. Arah pandangnya tidak terlepas dari wanita yang memperbaiki kacamatanya yang berair.
"Aku ada kabar baik, lho, Mom!" seru Tara dengan ceria, tetapi di balik senyumannya terlihat raut kangen yang tersembunyi di matanya.
"Akhirnya aku sedikit mendapatkan petunjuk hari ini!" Tara tertawa kecil, tetapi itu bukan tawa bahagia, melainkan tawa untuk menutupi segala perasaan sakitnya. "Tunggu sebentar lagi, ya!" lanjutnya.
Tangannya mengelus nisan itu. "Tenanglah di sana. Aku akan berusaha datang ke sini lebih sering." Tara menggenggam erat liontin di lehernya. Kemudian dia melepas kacamata yang berair untuk menghapus jejak air mata yang tersisa.
Walaupun wajah Isabella masih samar dalam ingatan Tara, tidak bisa dipungkiri bahwa liontin yang terbelah itu adalah salah satu pemberian dari Isabella dan merupakan bukti bahwa wanita itu sangat penting bagi Tara.
"Kadang aku berpikir, mengapa liontin pemberian Mom hanya sebelah saja," ujar Tara dalam hati sambil melirik liontin dengan senyum pahit. Kemudian matanya melihat ke makam itu. "Apakah mungkin...?" Kepala Tara langsung menggeleng keras. "Mom, aku merindukanmu," bisik Tara kemudian.
Di dalam keheningannya, Hunter mencerna setiap perkataan yang cukup membuatnya terkejut. Jadi, selama ini Isabella memiliki seorang anak? Namun, mengapa Hunter tidak tahu?Tanpa banyak menunda waktu, Hunter pergi dari sana. Semua pertanyaan yang ada dalam pikirannya mengarah pada satu jawaban, yaitu Yasmine. Iya, dia harus bertanya pada wanita itu hari ini. Rupanya masih banyak hal yang belum Hunter ketahui tentang cinta pertamanya.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma of Secrets: Love in Shadows
Storie d'amoreTara, seorang agen rahasia yang berdedikasi, menemukan dirinya terjebak dalam sebuah dilema yang rumit. Ia telah jatuh cinta pada targetnya sendiri, seseorang yang seharusnya menjadi musuhnya. Cinta yang tumbuh di antara mereka membuat Tara meraguka...