BAB 16 KEKACUAN

13 0 0
                                    

Tara merasa teriknya mentari tidak membuat langkahnya tergesa-gesa. Dia memakai dress berpayet paillettes yang mencuri perhatian banyak orang di restoran Wine Bar & Kitchen Covent Garden. Gaun panjangnya yang terbuka di bagian bawah membuatnya terlihat sangat seksi dan menarik perhatian banyak orang.

Dia berjalan dengan langkah mantap dan memasuki restoran yang telah dia pesan sebelumnya. Tara menikmati pemandangan indah kota London dari lantai teratas gedung tersebut. Dia terpesona sejenak sebelum mengalihkan perhatiannya ke tujuan utamanya.

Tara melihat seorang pria bermata hitam, berkepala botak, dan memiliki tatoo naga di pergelangan tangannya sedang berbicara dengan rekan bisnisnya. Dia mengetahui bahwa pria itu terlibat dalam bisnis transaksi anak, dan itu membuatnya marah.

Tara mengingat kata-kata Devin, dan dia mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya. Dia mengirim pesan singkat kepada seseorang dan tersenyum sambil meraih cocktail sebagai pengalihan.

Seorang pria dengan rambut coklat gelap berjalan santai menuju meja Tara dan duduk di hadapannya. Wangi maskulinnya membuat Tara terpesona.

"Hi..." sapanya dengan senyuman lembut. Tara menatapnya dengan tajam dan bertanya mengapa dia ada di sana. Dia juga melirik ke sekitar dengan raut was-was.

Pria itu, Kevin Johnson, tersenyum dengan mata yang masih tertuju pada Tara. Dia mencoba menggoda Tara dengan senyumnya yang menggoda.

"Aku? Hahah, pertanyaan lucu sekali," jawab Kevin sambil menunjuk dirinya sendiri. Tara hanya mengangguk pelan. Meskipun Kevin mencoba menggoda Tara dengan tatapannya, Tara sudah terbiasa dengan tingkah laku Kevin yang genit dan tidak tergoda olehnya.
Malahan itu membuat dia semakin geram.

Tara memutar kedua bola matanya malas. "Bodoh, jangan main-main! Pergi sana, aku lagi tidak ingin berurusan denganmu. Asal kau tahu itu!" ujar Tara dengan suara pelan.

Terdengar hembusan napas halus keluar, dari mulut Kevin. Pria itu berdehem pelan berusaha menarik perhatian Tara cuek bebek.

"Apa kau sedang berkencan dengan pacarmu?" tanya Kevin seraya mengusap dagu lancipnya pelan, ia melirik ke pangkal paha mulus Tara yang terekspos. Lalu sorot mata miliknya menengok ke belakang Tara. Seakan-akan mencari sosok yang menemani wanita itu, tapi nihil tak ada sosok pria lain saat selain dirinya yang tak mempedulikan sikap acuh tak acuh si wanita.

"Tidak!" jawab Tara meraih gelas berisi cocktail kemudian menyesap perlahan. Otak wanita itu berputar mencari cara menendang pria berstatus mantannya itu pergi dari hadapannya sesegera mungkin.

Ah! Jangan katakan itu, jika bukan karena misi gila. Dia tidak akan berurusan dengan pria itu...

Senyuman lebar tersirat bahagia terpancar jelas di wajahnya. "Bagus! Aku juga tidak keberatan menemanimu." Pria itu menyandarkan punggung dan menopang kaki tampang sombong.

Tara mengabaikan perkataan Kevin, ia kembali memutuskan perhatiannya ke targetnya. Akan tetapi, saat ia mendongak melihat ke arah pria botak itu yang diincar ternyata telah menghilang dari pandangannya. Hanya tertinggal makan yang di atas meja yang sama sekali tak disentuh oleh para pemiliknya.

"Pfffft!!!!" semburan cocktail dari mulut Tara tepat mengenai makanan yang tersaji di sana. Pria itu mengibaskan tangan menghalau percikan air yang hendak mengenai wajahnya.

"Si-sialan." Ia meraih tisu dan menutup mulutnya. Tatapan Tara tertuju ke Kevin dengan raut jengkel sebentar lalu bangkit dari duduknya dan beranjak pergi meninggalkan Kevin yang tak permasalahkan kejadian tadi malahan dia menyunggingkan senyum melihat kepergian Tara yang tampak terburu-buru. Dengan menopang dagu dengan tangan kanannya, ia berkata, "Dia belum juga berubah. Dasar gadis judes!" Matanya tak melepaskan bayang-bayang punggung wanita itu menghilang di tikungan pembelokan.

Tangannya lantas menyelip masuk ke dalam saku celananya. "Tunggu aku akan segera kesana." Mata pria itu beralih memandang keluar jendela. "Ohiya, jangan lupa siksa dia dulu, pokok sampai dia buka mulut sebelum aku datang," kata Kevin menyeringai puas. Kemudian telepon diputuskan secara sepihak, ikuti langkah kaki pria itu meninggalkan meja tersebut.

Setelah mencari ke segala penjuru. Nihil! Tak ada tanda-tanda kepergian targetnya seolah-olah terhapus oleh ombak, langkah Tara pergi ke tempat lain, hasilnya juga sama. Akhirnya, wanita itu memutuskan untuk keluar dari gedung restoran, untuk kali pertama Tara kehilangan jejak targetnya.

"Brengsek! Ke mana bajingan itu pergi," ucap Tara sembari mengepalkan kedua tangannya dengan perasaan jengkel. Raut wajahnya bisa menjelaskan kemarahan yang tak tertahan itu. Di sela-sela berpikir, tiba-tiba telepon genggamnya berdering keras.

Ketika melihat di monitor tertera nomor sang penelepon Tuan Gunner Sontak Tara mendesah kesal.

"Halo, tuan," sapanya kepada sang penelepon dengan suara tegas.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Tuan Gunner.

"Saat ini saya kehilangan jejak, tuan."

Tuan Gunner membentaknya, "Ngurus gitu saja nggak becus kamu… !"

Tara diam membisu. Ia sadar bahwa dia bersalah karena tidak berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Kepalan tangannya mengendur, ia menarik napas dalam lalu membuangnya kasar.

"Saya tidak mau tau! Secepat mungkin kau bereskan semuanya," suara penuh marah Tuan Gunner menggelegar keras. Menusuk ke dalam telinga si wanita. Spontan ia menjauhkan ponselnya beberapa centi dari kupingnya.

"Baik, tuan." Tara mengakhiri pembicaraan dan berjalan ke parkiran menuju mobil yang terparkir dengan tergopoh-gopoh. Di dalam mobil Tara bergegas mengganti baju hitam. Rambut pirangnya yang digulung ke atas sehingga menampakan leher putih nan mulusnya.

Detik selanjutnya, Ia mengeluarkan laptop. Tangannya menari-nari di atas keyboard, raut wajah wanita itu tampak serius melacak keberadaan pria itu bersama rekannya tersebut. Sial! Semua tidak berjalan sesuai rencananya seperti keberuntungan tidak berpihak padanya.

Tak butuh waktu lama, mulai bermunculan beberapa titik merah dari layar laptopnya, menandakan target ditemukan. "Gedung tua?" ujar Tara memandangi titik merah paling besar di antara yang lainnya. "Kenapa mereka ada di sana? Bukannya seharusnya mereka ada ...."

Kata-kata Tara terputus seketika suara ledakan yang keras berasal dari restoran Wine Bar & Kitchen Covent Garden. memancing mata abu-abu itu melhat segera ke sana. "Apa sedang terjadi?" batin Tara tak mengerti.

Restoran itu hancur berantakan, dengan pecahan kaca yang berserakan dan asap hitam yang masih menyelimuti area sekitarnya. Orang-orang berlarian panik, mencoba menyelamatkan diri dari bahaya.
Beberapa petugas keamanan dan petugas pemadam kebakaran yang sedang berusaha mengendalikan situasi.

Tara melanjutkan pencariannya. Setelah beberapa saat, dia menemukan informasi bahwa mereka berada di gedung tua di dekat pusat kota. Dia segera memasukkan alamat gedung tersebut ke dalam GPS mobilnya dan memacu mobil dengan cepat. Saat dia tiba di gedung tua, dia melihat beberapa mobil polisi dan ambulans yang sudah berada di sana. Tara memarkir mobilnya dengan hati-hati dan keluar dengan penuh kewaspadaan.

Deringan telepon tiba-tiba mengagetkannya. Tara segera mengangkat telepon itu dan mendengarkan dengan serius suara Tuan Gunner yang terdengar dari sebrang sana. Wajahnya tampak tegang dan penuh perhatian.

"Tara, saya punya kabar penting untukmu," kata Tuan Gunner dengan suara serius.

Tara memperhatikan dengan seksama, "Apa yang terjadi, Tuan?"

"Tampaknya ada pihak lain yang juga mengincar lelaki itu dan rekannya," lanjut Tuan Gunner dengan nada yang tenang namun terdengar kemarahan di balik suaranya.

Tara merasa kaget mendengar kabar tersebut. Dia merenung sejenak, memikirkan langkah selanjutnya.

"Tara, aku ingin kamu mengabaikan misi kali ini," kata Tuan Gunner dengan tegas.

Tara mengangguk setuju, "Baik, Tuan. Saya akan mengikuti instruksi Anda."

Telepon pun terputus, dan Tara duduk dalam keheningan sejenak. Dia mengambil napas dalam-dalam dan menatap keluar jendela, matahari mulai terbenam di cakrawala.

Bersambung...

Dilemma of Secrets: Love in ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang