TUJUH

242 20 11
                                    

🥔🥔🥔

Izam hari ini sedang mengecek perkebunan milik Bapak, tentu di temani Mas Akbar yang selalu membimbingnya. Izam tidak masalah jika ditinggal Mas Akbar mengerjakan hal lain, tetapi kenapa setelah ia pergi malah datang yang lain. Telinga Izam seakan gatal mendengar ocehan Naci di sampingnya yang senantiasa melayang ke sana kemari.

"Di mana dukun terdekat di sini, saya lama-lama sudah tidak tahan dengan tingkah hantu yang selalu mengikuti saya," gumamnya sambil berjalan melihat ladang kentang yang ia datangi kali ini.

Naci terbang di hadapan Izam sambil bertolak pinggang. "Kenapa ngebet banget mengusir Naci, sih. Piu, aku, 'kan dari tadi hanya diam tidak mengganggu,"

"Kamu memang diam, tetapi mulutmu dari tadi, piu, piu, terus itu bahasa ibliskah?" tanyanya dengan ekspresi sedikit marah, pasalnya hantu ini selalu ada disisinya.

"Kurang ajar iblis! Naci hantu bukan sebangsa iblis itu beda lagi, dosa Naci tuh masih terbilang kecil belum bisa dibilang iblis, dan lagi itu bahasa Naci yang mengerti hanya sebangsaku." Naci menghela nafas panas hingga membuat kepala Izam mundur ke belakang.

"Ya, piu, piu, piu." Izam sambil meragakan tembakan anak kecil, dengan kedua tangannya—menembak secara asal.

"Dih, jangan sembarangan meledek piu, didatangi sebangsa Naci baru tau rasa kamu." Dengan pipi menggembung dia pergi dari sana.

"Hantu ngambekan, baru diledek sedikit langsung kabur."

Izam terkekeh pelan melihat interaksinya akhir-akhir ini dengan Naci, tidak buruk dia jadi mendapatkan hiburan gratis apalagi dengan tingkahnya yang selalu ngambek seperti manusia saja. Izam menggeleng pelan, untung saja tidak ada yang melihat dia berbicara sendiri kalau ada bisa dibilang gila dirinya.

Dia kembali melangkah melihat ladang milik Bapak yang akan dibawa ke gudang untuk penyimpanan. Tiba-tiba saja bulu kuduk Izam meremang hebat, dia sekarang tengah di ladang sendirian seperti ada yang memperhatikan dari segala arah. Akan tetapi, tidak ada apapun di sekelilingnya.

"Apa yang diomongin Naci benar, ya?" Ia bergidik mengelus tengkuknya. Lalu kabur dari sana menyusul Mas Akbar yang telah lama pergi.

Setelah Izam pergi Naci bertos ria dengan hantu di sana. "Terima kasih, piu udah bantuin Naci nakutin dia." Ia tergelak melihat Izam berlari dengan tergesah-gesah pergi dari ladang.

"Dia siapa Naci? Tampan sekali," ungkap Nana.

Naci mengeplak wajah Nana. "Jaga matamu! Dia milik seseorang,"

"Seseorang?" Nana menegaskan kembali.

Naci mengangguk mantap sambil menatap Nana.

Sekiranya sudah jauh ia menoleh ke belakang, Izam bertumpuh pada pohon di samping berusaha mengatur deru nafas. Membayangkan tadi buluk kuduknya kembali meremang. Padahal dia sudah sering diikuti Naci, tetapi entah kenapa karena wujudnya, Izam pun tidak takut malah gemas sendiri. Namun, yang tadi sepertinya berbeda.

"Apa Naci bisa dipelihara, ya?" Izam malah tersenyum tidak jelas membayangkan Naci menjadi hewan peliharaannya.

"Zam." Tepuk Mas Akbar, sekarang ia telah mengganti panggilannya sesuai permintaan Izam karena Akbar lebih tua darinya.

Izam menoleh dengan cepat.

"Kenapa ketawa sendiri? Nanti kesambet lho," gurau Akbar.

"Ah, nggak Mas tadi ada tikus lewat lucu," bohong Izam sambil menggaruk wajahnya.

"Aneh aja, tikus kok lucu ... oh, iya, ayo kita balik ke gudang lagi, kamu juga sudah selesaikan mengecek ladang ini?"

"Sudah Mas, ayo kita balik." Izam menepuk punggung Akbar.

Hantu Naci Piuu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang