DUAPULUH TUJUH

142 13 7
                                    

Terkadang manusia lebih suka menilai dari kacamatanya sendiri, tanpa sadar kacamata itu bernoda. Bercak noda mana lagi yang mau dilempar ke orang lain?
~Cacamarica_zzhh7

-

Izam menurunkan kacamatanya, memijat pangkal hidung yang pusing setelah seharian menyelesaikan laporan. Sekarang sudah waktunya makan siang, Izam tidak minat untuk turun ke kantin. Dia lebih memilih tidak makan, masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini juga.

Izam meregangkan tubuhnya, berdiri sebentar, meraih pinggangnya dan menekuknya ke arah yang berlawanan. Seharian duduk dan terdiam di depan komputer sangat membuat tubuh terasa kaku.

Naci tengah duduk di sofa kecil menghadap Izam. Menatap dalam diam melihat semua perlakuan pemuda di depan.

Izam berjalan duduk di samping sofa dekat Naci.

"Lelah Naci, aku ingin merebahkan kepalaku sebentar." Kepala Izam terkulai lemah di sandaran sofa.

"Pemuda tidak turun ke bawah?"

"Tidak lapar, hanya ingin mengisi energi saja di sini sebentar."

Tidak lama Izam langsung menutup matanya, merehatkan tubuh sejenak.

Naci memperhatikan dengan sorot mata tidak terbaca. Rasanya aneh kalau membuat raut sedih sambil menatap Izam. Apa dia punya hak? Rasanya tidak.

Izam hanya tidur 10 menit, dia membuka matanya menatap Naci yang masih terdiam dengan posisi yang sama melihatnya.

"Aku dijodohin Naci."

Karena tidak ada jawaban, Izam kembali berkata, "Dengan anak kepala desa, Sinta namanya dia masih kecil bahkan belum lulus sekolah. Aku ingin menolak langsung kemarin waktu Ibu bertanya, tetapi rasanya tidak sopan, makanya aku langsung bilang akan memikirkannya terlebih dahulu, ternyata sesudah dipikirkan malah semakin tidak mau, aku harus bilang bagaimana Naci kedua orang tuaku sepertinya sangat mengharapkan itu semua,"

"Dicoba dulu aja pemuda, siapa tahu setelah dijalankan kamu suka." Semoga lanjut Naci dalam hati.

"Tetap mengganjal Naci, kamu tahu kan? Aku mencintai gadis lain, rasanya aku menghianati dia,"

"Pemuda! Gadis itu telah lama mati, kamu harus tetap menjalankan hidup dengan baik, jangan terpaku dalam kenangan lama. Semuanya sudah berakhir, yang tersisa hanya kamu di dalam bayang-bayangannya. Ayo pemuda jalani kehidupanmu kembali." Naci menekan setiap kata agar Izam mau menerima Sinta untuk melanjutkan hidupnya kembali.

"Tidak, aku mau Naya ... hanya dia yang aku mau,"

"Dia sudah mati pemuda!" gertak Naci tanpa sadar suaranya mulai meninggi.

Izam menegakan duduknya menghadap Naci. "Ya! Aku tahu betul itu, tetapi aku tetap tidak mau kasih hatiku untuk gadis lain terkecuali dia!"

"Dia yang kamu tunggu sudah lama pergi, tidak akan pernah kembali dalam bentuk apapun itu. Kamu harus menerima kenyataan, mau atau tidaknya kamu!" Raut wajah Naci berubah secara tidak biasa.

Kenapa kamu bersikukuh seperti itu, Mas.

Iris mata Naci bergetar memanas.

"Aku bilang tidak! Tidak ada yang berhak menyuruhku untuk melupakan dia. Tidak ada!" Vena merah menonjol dari dahinya.

Izam memijat pangkal hidungnya, pusingnya kembali menyerang setelah berdebat omong kosong dengan Naci.

"Mau sampai kapan kamu menjalani hidup kayak orang mati seperti itu pemuda, sangat miris!"

Hantu Naci Piuu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang