DUAPULUH

159 14 9
                                    

🚧🚧🚧

Masih dengan waktu yang sama di tempat yang berbeda. Izam terus mengutik sepedanya, hingga tidak terasa mereka berdua sampai di dekat kebun teh menuju keluar Desa Daksa. Izam setelah lama tidak melihat yang hijau dan segar dia jadi lebih suka berlama-lama di tempat ini.

Tahu-tahu dari arah belakang Izam ada suara klakson motor.

Mendadak Naci langsung terbang kepelukan Izam menaruh kepalanya ditengkuk dengan tangan mengait erat di sana. Izam bukan terkejut dengan suara bising di belakang, tetapi ada apa dengan Naci.

Suara motor itu semakin mendekat, Izam memberhentikan sepedanya seketika.

Kerutan kecil muncul di alis Izam, masih menatap bingung Naci yang menempel di tubuhnya. Serempak dengan tepukan di lengan Izam, Naci meronta kabur ke belakang punggung Izam seperti mengumpat. Dia menutupi raut bingungnya dan memilih menatap Egi di samping.

"Ada apa, Gi?"

Egi mengerutkan dahinya. "Kok ada apa? Kayak tidak senang melihatku," cakap Egi dengan raut aneh.

"Ah, tidak. Kamu mau ke mana?" Izam membidik penampilan temannya, seperti ingin pergi.

"Ini mau ke gubuk sana, mau main kamu masih ingatkan Zam? Teman-teman SMA kita, mereka semua pada kumpul tuh di gubuk sana, ayolah ikut gabung," ajak Egi.

"Kapan-kapan saja, deh, Gi aku ikut," tolak Izam dia malas bertemu orang lain yang jumlahnya lebih banyak, untuk sekarang.

"Yaudah deh, kalau mau ke sana kabarin aja, ya, nanti aku antar."

Setelah percakapan itu, Egi benar-benar pergi dari sana. Hingga di belokan tubuhnya menghilang.

Naci mengintip dari balik punggung Izam. Tidak tahu kenapa dia seperti ketakutan padahal dia sudah pernah ketemu Egi.

Izam terheran waktu menoleh ke balik pundaknya. "Ada apa Naci? Kenapa kamu seperti ketakutan?"

Naci gemetar dengan jari jemarinya yang mulai memerah padam. Izam paham rekasi tersebut, apa yang membuat Naci marah. Masa karena Egi, padahal dia pernah bertemu sebelumnya.

Izam menyentuh pundaknya yang terdapat tangan Naci. Karena dia sedang marah hantu tersebut bisa tersentuh olehnya.

"Apa ada yang salah Naci? Apa ada yang mengganggumu? Aku harap kamu mampu berbagi."

Perkataan yang tulus lolos dari mulut Izam, Naci sering menemaninya disaat terpuruk, tidak ada salahnya dia membalas itu semua.

Naci menatap mata Izam dalam seperti belati yang menusuk.

Kenapa tatapannya dalam sekali?

"Baiklah, kalau kamu tidak mau bicara sekarang, kamu boleh terus memakai pundakku, kalau kamu nyaman. Sebaiknya sekarang kita pulang, ya, Naci."

Izam tetap menunggu respon Naci dengan senyum tenang terlukis di sana.

Naci mengedipkan matanya, sangat jelas dia tengah menahan amarah. Sampai tidak ingin membuka mulutnya sama sekali, tidak masalah bagi Izam yang terpenting Naci tidak kabur disaat dia ketakutan—tetap berlindung pada Izam.

Seperti Kakak yang melindungi adiknya dari bahaya. Izam kembali mengayuh sepedanya berbalik arah menuju rumah.

Setelah sampai di rumah Izam, Naci terbang ke belakang rumah. Dia merosotkan tubuhnya di bawah pohon Mbak Kun. Menatap kosong ke depan dengan raut wajah menyakitkan, entah apa yang sakit, tetapi di sana seperti ada sesuatu yang mendorong dirinya untuk marah. Tanpa sadar dia kembali menangis menumpahkan apa itu di dalam hatinya yang tidak bisa dia tafsirkan. Dia memeluk lututnya dengan muram.

Hantu Naci Piuu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang