DUABELAS

179 19 12
                                    

🪨🪨🪨

Izam sudah berada di halaman rumahnya terlihat tadi mobil Ayah Egi keluar dari pekarangan rumah.

Bapak yang tengah duduk dibangku kayu depan teras, melihat anaknya baru pulang memasuki pekarangan rumah berselisihan dengan mobil.

"Abis dari mana, Zam?"

Izam menyentandarkan sepeda di samping rumah. "Danau Pak, cari sinyal."

Izam penasaran berjalan mendekat dan duduk di bangku dekat Bapak.

"Tadi kepala desa, ya, Pak?"

"Iya, Bapak tim suksesnya sebentar lagi dia mau calonin kepala desa kembali,"

"Oh ... iya, Pak." Matanya melirik ke atas meja.

Bapak membereskan kertas-kertas di meja.

"Berkas apa itu Pak?"

"Ini, rancangan tanggul baru buat di danau angker itu, Zam." Seketika Bapak menghentikan gerakannya, menatap Izam secara perlahan.

"Kenapa Pak? Lanjutkan saja,"

"Iya, tanggul itu mau dibangun agar tidak jebol kembali, takut memakan korban."

Wajahnya sedikit menggelap. "Kenapa baru sekarang Pak? Tahun-tahun yang lalu ke mana aja mereka? Setelah masa jabatannya mau habis baru tanggul itu di benerin, kemarin ke mana?" desak Izam tanpa sadar.

"Zam ... ini bukan kehendak Bapak, Bapak hanya mengikuti suruhan mereka saja,"

"Iya."

Izam langsung beranjak dari bangku menuju kamarnya.

Bapak menghela nafas berat melihat kepergian Izam. Sudah pasti ada yang mesti disalahkan di sini, ada pihak yang memang bersalah dan alam yang berbicara. Bapak tidak bisa berkomentar apa pun.

Izam mengunci kamar memilih menghempaskan tubuhnya ke kasur. Izam tertidur terlentang, dengan satu tangan menutup matanya. Lengan berotot tercetak jelas di sana, tidak lama suara dengkuran halus terdengar.

-

Sosok menyeramkan itu pergi dari tempat yang selalu dia berada. Kaki pucat dipenuhi nanah dia berjalan dengan terseok ke pinggir danau, menginjak rumput yang membentang.

Dia berkaca di beningnya air danau melihat rupanya yang kata manusia 'hancur' dia menatap dengan wajah bingung.

"Di mana letak hancurnya! Ini utuh, tidak hancur," pekiknya frustasi.

Dia mencakar wajahnya. "Tidak, seharusnya tidak seperti ini."

"Siapa yang harus bertanggung jawab!" Dia menggerakan kepalanya secara gusar. Mata tajam menatap ke segala arah ingin melampiaskan sakitnya.

"Aku sendiri. Aku mati. Aku hanya ingin pergi."

Dia kembali berjalan menatap bongkahan batu besar di depannya.

Dia berpindah duduk di sana. Menatap tenangnya danau di malam hari.

"Semua telah hancur yang tersisa hanya penyesalan."

Dia mengguncang kakinya di atas batu. Danau yang selalu dia tempati perlahan semakin berubah, kehidupan kecil kembali tumbuh di sekitarnya. Seperti ikan yang dia lihat di bawah kakinya, kehidupan para warga yang selalu dia lihat setiap pagi mencuci di pinggir danau dan kehidupan yang sunyi jika malam berganti.

"Kapan saatnya aku pergi dari dunia ini? Bukankah seharusnya aku pergi ke alam baka? Kenapa Anda tetap menahanku di sini, Tuhan?"

Dia menatap rembulan di atas yang menyorot danau itu hingga berkilau. Malam ini indah tidak terlihat awan menutupi bintang yang bertaburan di cakrawala.

Hantu Naci Piuu! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang