"Niel.. Hai.. ---Sorry ngetuk pintu tengah malem." Bima meminta maaf karena mengganggu keponakannya pada pukul satu dini hari.
Ia langsung panik karena terbangun dan merasakan suhu tubuh Tian meninggi. Anaknya masih tidur tapi sambil gemetar menggigil.
Padahal sebelum terlelap, Tian udah biasa aja. Mau makan, mau ngobrol random sebelum akhirnya mereka berdua tidur berpelukan.
"Nggak papa uncle, masih depan laptop kok, belum tidur. ----Kenapa?" Niel bertanya heran, tak biasanya Bima nyamper ke kamar, apalagi di jam selarut ini.
"Kita punya kotak P3K nggak ya? Ambilnya dimana? ----Ada paracetamol atau ibuprofen atau obat turun panas merk apapun?" Tanya Bima beruntun, nada panik jelas terdengar.
"Siapa yang demam?" Niel bukannya menjawab, malah bertanya lagi.
"Tian. -----Dimana kotaknya?" Tanya Bima tidak sabaran.
Niel meringis, tak langsung menjawab, sepertinya juga sama tak tahu.
Selama setahun lebih mereka tinggal disini, tak pernah ada yang sakit kecuali ayah Niel. Pun beliau kalau sakit langsung mendatangkan dokter ke rumah. Makanya keberadaan kotak P3K sangat disangsikan.
"Kak, kita punya kotak P3K nggak sih?" Niel menoleh ke dalam kamar, bertanya pada sang suami yang juga masih terjaga.
"Kayaknya... Ada. Tapi lupa dimana. Mungkin di salah satu laci, antara dapur atau ruang tamu?" Jawab Rega terdengar tak meyakinkan.
"Siapa yang sakit? -Bentar aku cariin." Rega sudah melangkah keluar kamar tadi ditahan Bima.
"Nggak usah... nggak usah, nggak jadi. Biar aku keluar ke apotek." Bima menolak halus, berubah pikiran.
Kalau Rega sama Niel sampai nggak tau eksistensi kotak itu, berarti kurang lebih obat yang ada di dalamnya sudah satu tahun lebih tak tersentuh. Mending Bima beli baru aja.
"Nggak mau panggil dokter Eugene?" Niel memberikan saran, menyebutkan nama dokter yang biasa menangani sang ayah.
"Nggak ah, kasihan. Ini jam satu pagi, saatnya orang beristirahat. -----Aku ke apotek, nyari obat aja." Tolak Bima. Apotek yang buka 24 jam ada kan, nggak perlu bikin repot orang. Dokter juga manusia, butuh istirahat.
"Aku bantu jaga Tian sebentar kalau gitu, siapa tau butuh something pas uncle pergi." Niel menawarkan diri.
Bima mengangguk mengiyakan, "Thanks cupcake.."
"Aku temenin uncle. Jalanan sudah sepi jam segini, takut ada apa-apa di jalan." Rega juga menawarkan bantuan, dan tanpa menunggu jawaban kembali masuk kamar untuk mengambil hoodie miliknya.
Keduanya tak butuh waktu lama untuk berkendara karena ada apotek yang buka 24 jam di jalan yang sama dengan tempat tinggal mereka.
Bima yang tidak begitu berpengalaman mengurus orang sakit bingung harus membeli apa. Untungnya ada Rega yang sepertinya sudah expert, tak hanya membeli obat penurun demam, ia juga membeli vitamin, thermometer serta fever patch.
"Usahain Tian minumnya banyak uncle, biar nggak dehidrasi. Besok pagi aku bikinin sup ayam jahe, lumayan cepat bikin demam turun." Pria yang lebih muda memberikan instruksi.
"Niel sering sakit?" Bima menanggapi dengan bertanya heran.
"Nggak pernah, kan uncle liat sendiri, anaknya tiap hari energik gitu. ---Kenapa emang?" Yang lebih muda balik nanya.
"Berasa kamu udah ahli ngurus orang sakit." Bima mengemukakan rasa penasarannya.
"Uncle lupa ya, aku dulu tinggal sendiri. Sakit ya apa-apa ngurus diri sendiri." Jelas Rega.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WEDDING AGREEMENT S2 (ON GOING)
Romance[SIDE STORY THE WEDDING AGREEMENT] Bimasena Adrian Russel membutuhkan seseorang untuk dijadikan pendamping hidup secepatnya, agar pemuda cantik yang diam-diam dicintainya tidak tahu perasaan yang ia miliki. Sabdayagra Tiandaru Ariacitta membutuhkan...