Hussein

59 10 2
                                    

Happy reading...

Dekapan kabut di pagi buta menjelang subuh terasa sangat dingin menusuk. Pori-pori kulit terasa menganga. Udara yang keluar mulut pun mengepul membentuk asap yang dapat terlihat jelas netra.

Arya turun dari mobil bersama rekannya tepat bersamaan dengan berkumandangnya azan subuh pagi itu.

Setelah melewati 12 jam perjalanan akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Sedikit lebih lama dari perkiraan, memang. Karena banyak waktu yang digunakan untuk beristirahat dan meminimalisir resiko yang ada.

"Alhamdulillah," ucap ketiganya syukur atas keselamatan yang masih Allah hadiahkan.

Arya mengusap wajahnya yang dihinggapi embun pagi. Terasa segar sekali.

"Lokasinya dimana, pak Anas?" Tanya Arya yang memang belum mengecek lebih detail acara mereka hari ini.

"Daerahnya di kampung Dalam, Gus. Sekitar 20 menit lagi dari sini," sahut pria yang dipanggil pak Anas.

Arya mengangguk. Ia menyandang ransel penuh berwarna abu tua di punggungnya. "Kita istirahat disini dulu ya, pak. Sebentar. Kasihan lihat pak Umar yang capek banget kayaknya," ujarnya kemudian.

Pak Umar hanya mengangguk pasrah setuju. Ia rasa ini jalan terberat yang ia taklukkan. Memang bawa mobilnya gantian, tapi yang terakhir adalah giliran pak Umar. Lelah dan penat tentu lebih ia rasakan dibanding Arya dan pak Anas. Terlebih usianya yang tak muda lagi.

"Aduh, pak Umar ternyata bisa capek juga, haha," gurau pak Anas menepuk pundak rekannya itu.

"Jalannya menantang banget pak Anas. Berkelok-kelok. Lengah sedikit kita bisa beda alam," sahut Pak Umar mengingat medan yang dilaluinya tadi. Kiri tebing, kanan jurang. Apapun yang dipilih resikonya tetap akan sama.

"Iya pak Umar. Tapi pak Umar udah lihai banget. Buktinya kita sampai disini dengan selamat," timpal Arya.

Pak Umar dan pak Anas yang notabenenya adalah sahabat karib menggangguk setuju.

"Biar lambat asal selamat ya Gus," ujar keduanya yang dibalas acungan dua jempol Arya.

Kumandang Iqamah mulai terdengar. Mereka bergegas masuk masjid untuk menunaikan solat subuh berjamaah. Sebelum itu, Arya terlebih dahulu ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan berwudhu.

Pria berusia 22 tahun dengan balutan batik itu berjalan menyisiri teras masjid. Tangannya merapikan peci hitam di atas kepalanya yang dibasahi wudu.

Ia kemudian mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Bersamaan dengan itu, netranya tak sengaja menangkap sesuatu. Sesuatu yang ia rasa sangat dekat dengannya.

Tapi hanya sekilas, hingga bayangan itu hilang di balik tiang masjid dan masuk ke bagian dalam bangunan kokoh itu.

Arya bergegas, berharap ia menemukan lagi. Tapi nihil. Tak ada yang ia cari.

"Gus, ayo!" Ajak pak Umar dari bagian saf laki-laki karena solat akan dimulai. Di samping pria itu terlihat pak Anas sudah khusyuk hendak menjalankan ibadahnya.

Arya tersadarkan. Dan akhirnya memilih lupa dan masuk untuk menghadap Rabb-nya.

'Barangkali itu bukan kamu. Barangkali hanya imajinasiku yang menandakan sampai detik ini aku selalu merindukanmu,' lirihnya di penghujung doa.

Setelah jamaah bubar, Arya dan dua rekannya memilih untuk tertidur sejenak di masjid sebelum melanjutkan perjalanannya. Namun sejatinya Arya tak dapat memicingkan mata barang sekejap.

Ia gelisah.

Keputusan terakhirnya adalah dengan membuka mushaf dan mulai membaca ayat suci yang sedang ia genggam. Sementara pak Anas dan pak Umar sudah terlelap dari tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Arya & Alika 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang