20. Hati yang Percaya

519 55 8
                                    

Happy reading ...

Setelah merapihkan mukenanya, Alika mulai membuka jendela kamar. Membiarkan udara pagi menelisik sudut-sudut kamarnya yang sudah rapi. Hal ini biasa ia lakukan bersama Arya sejak mereka sudah menikah.

Tiba-tiba Alika kembali mengingat Arya. Benaknya bertanya-tanya, sedang apa pria itu sekarang? Bagaimana keadaannya?

Alika makin greget dengan Arya yang tak pernah berkabar padahal ia selalu menunggu. Tangannya kini memegang benda persegi itu lagi. Ia melihat room chat bersama Arya.

Sudah centang dua berwarna biru. Pikiran Alika mulai bermain, berpikir yang tidak-tidak.

Sesaat kemudian, ponsel itu bergetar. Dan langsung saja Alika mengangkatnya tanpa membaca dahulu siapa nama yang tertera.

"Waalaikumussalam,"

Dapat Alika pastikan bahwa di seberang sana adalah seseorang yang sedang ja pikirkan. Ada sebuah energi yang menjalar di tubuh Alika saat mendengar suara itu.

Tanpa Alika sadari rentetan kalimat keluar begitu saja dari bibirnya. Entah itu jngkapan kesal, khawatir, atau jengkel. Ia tak tahu persis. Ia hanya berbicara hingga sudut matanya berair.

Ya, Alika menangis begitu menyampaikan semua beban hatinya. Alika rasa ia sudah terlalu kuat manahan sejauh ini. Ia tak bisa lagi bertahan lebih lama. Semua ia tumpahkan walau ia tak tahu persis apa yang Arya lakukan di seberang sana.

"Kapan Abi pulang?" tanyanya setelah sedikit tenang. Tentunya dengan bantuan Arya.

Sebagai istri, Alika tentunya ingin tahu apapun tentang suaminya. Termasuk kepulangan Arya dari luar kota. Tapi, tiba-tiba Arya memutuskan telfonnya secara sepihak. Kenapa?

Alika kesal, tentunya. Ia bersungut-sungut karena tak pernah diperlakukan seperti ini oleh Arya. Apa salahnya? Apa salah seorang istri menanyakan perihal kepulangan suaminya sendiri?

Alika kembali mengingat pertanyaannya. Tak ada yang salah dari kalimat itu. Lalu kenapa Arya memutuskan telepon tanpa pamit?

Jam di dinding masih di angka enam. Tak mungkin Arya sudah bekerja di pagi buta ini. Alika kesal. Mengapa sikap Arya jadi seperti ini padanya. Ia tak merasa salah apa-apa.

•••

Alika membenarkan kembali khimarnya di depan meja rias. Ia memberikan senyum pada pantulan dirinya di cermin. Setelan baju berwarna coklat tua dan khimar senada begitu cantik melekat di tubuhnya.

Alika terlihat sempurna dengan setelan itu. Setelan hadiah dari Arya beberapa waktu lalu.

Hari ini Alika ada janji dengan sahabatnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Thania dan Zahwa. Mereka memberi kabar bahwa sedang libur kuliah dan saat ini sudah berada di Bandung. Alika langsung menerima ajakan mereka untuk bertemu. Ia tahu Arya juga pasti akan mengizinkan.

Setelah pamit pada Bunda Lis, Alika langsung menuju gerbang pesantren untuk menunggu jemputan Thania. Ia tak sabar bertemu gadis cerewet itu. Ia rindu beradu mulut dengan Thania.

"Assalamualaikum, istri orang!" sapa seseorang dari belakang.

"Waalaikumussalam Ukhti!" sahut Alika begitu tahu bahwa orang itu adalah gadis yang sedang ia tunggu.

Thania menghambur kepelukannya. Mendekap Alika erat dan menyalurkan rasa rindu yang sudah menumpuk. "Gue kangen ama lo, Lika!" ucap Thania.

Tak ada yang berubah dari sosok kutilang ini. Cara bicaranya, gaya kerudungnya, dan pakaiannya yang bentrok warna semua. Seperti hari ini Thania mengenakan kerudung lebar berwarna abu, baju motif bunga-bunga pink muda, rok krem, dan sepatu putih. Alika menggeleng. Entah darimana Thania terinspirasi dengan gaya seperti itu. Seleranya beda dari yang lain.

Arya & Alika 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang