24. Aku Benci Aku

636 53 7
                                    

Happy reading...

Subuh menjelang dengan bulir-bulir embun dan hujan sisa tadi malam. Udara di luar terasa begitu segar saat memasuki paru-paru. Jantungpun berdesir saat dinginnya menyentuh kulit. Menyintakkan kelopak mata yang masih ingin terlelap berbalut mimpi.

Sahutan suara mengaji dari mesjid dan deruan knalpot motor Mbak El yang mengejar pasar pagi, sesalu menjadi alarm. Setidaknya bagi Alika. Tapi pagi ini Alika sudah terbangun lebih dulu sebelum alarmnya berbunyi.

Sekitar jam empat dini hari ini Alika dibangunkan oleh rasa mual yang menderu dari perutnya. Beberapa kali ia bolak-balik toilet dan itu membuatnya pusing dan lelah. Setelah meminum obat yang dibelikannoleh Mbak El, barulah mual itu sedikit menghilang. Namun pusingnya masih sedikit terasa.

Alika memandangi wajahnya di depan cermin. Tak ada luka-luka disana. Tak ada bekas memar tamparan. Tak ada cap empat jari Papanya, seperti masa-masa kelamnya dulu.

Tapi kenapa kali ini rasanya lebih sakit dari semua yang pernah ia alami itu? Yang hancur sekarang bukan wajahnya, bukan fisiknya. Tapi, jauh dari pada itu. Ya, hati!

Alika mengusap sisa air wuduk di dagu dan pelipisnya. Lalu ia tersenyum kecut pada dirinya yang lain dalam cermin. "Kau masih sanggup, Alika?" tanyanya.

"Bilang kalau sudah mau menyerah," lanjutnya pada pantulan dirinya itu.

Kemudian ia bertolak dari cermin dan menggelar sajadah. Salat subuh sendiri sudah biasa baginya. Dan mulai sekarang ia harus lebih terbiasa.

•••

Arya meninggalkan masjid dengan langkah tenang seperti biasa. Bidang bahunya yang biasa tegap, memang tetap tegap. Tapi siapa sangka bahu itu kini sedang roboh dan langkah itu sedang tergopoh.

"Gus, bisa isi pengajian sebentar?" minta seorang ustadz.

"Maaf, tadz. Saya sedang tak enak badan," jawab Arya.

Bukan berbohong, bukan sama sekali. Arya memang sedang merasa ada yang terguncang dalam tubuhnya. Tapi tak dapat ia pastikan dimana pusat guncangan itu. Bahkan dirinya sendiri tak bisa mendeteksi.

Arya memutar handle pintu rumah dan memasukinya. Ia begitu hati-hati dalam bertindak. Tak terdengar apapun atas apa yang ia lakukan.

"Arya. Sini, Ndhuk!"

Arya baru sadar bahwa Uminya sudah pulang. Ia mengikuti perintah umi untuk duduk di dekatnya.

"Kapan Umi sampai?" Arya menyalami Bunda Lis.

"Barusan."

Bunda Lis menarik napas dalam. Memperhatikan si bungsunya dengan seksama seolah mengabsen satu persatu pada Arya.

Yang diperhatikan cuma bisa menunduk seolah tahu bahwa Bunda Lis dapan membaca raut wajahnya layak psikolog.

"Ada masalah apa kalian?" tanya Bunda Lis membuka suara.

Jika Bunda Lis sudah berbicara, Arya tak bisa lagi apa-apa selain diam. Sosok wanita ini sangat diseganinya dari apapun.

"Rio yang Bunda kenal adalah Rio yang cerdas menyikapi masalahnya. Bukan Rio yang lari dari masalah. Dan bukan pula Rio yang pandai berbohong," lanjut Bunda Lis masih memperhatikan Arya dengan tenang.

"Maaf, Mi. Rio salah."

"Semua orang pernah melakukan kesalahan, Ndhuk. Tapi hanya sedikit yang bisa menyelesaikan maaalah itu dengan baik."

Bunda Lis berdiri dan pindah duduk di samping Arya. Ia menepuk pundak putranya itu.

"Seorang suami, berapapun usianya, harus mampu memiliki sikap dewasa. Karna menikah menuntut seseorang menjadi dewasa."

Arya & Alika 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang