Satu

848 36 5
                                    

Nanti langsung pulang ya dek, mama pengen ngomong penting sama kamu.

Ucapan kakak sulungnya ditelpon beberapa jam lalu terus terngiang ditelinga Rea, membuat perempuan itu enggan sekaligus penasaran. Tidak biasanya mamanya menyuruhnya langsung pulang, apalagi perintah itu lewat kakaknya yang notabene sudah tidak tinggal lagi bersama kedua orang tua mereka karena sudah menikah sejak beberapa tahun yang lalu. Rea menghela napas lelah. Haruskah ia langsung pulang? Tanyanya pada dirinya sendiri ketika ia duduk di belakang roda kemudi. Ia bisa saja menunda kepulangannya dengan alasan harus lembur, tapi pantaskah? Mengingat mungkin ada hal yang begitu penting yang ingin dibicarakan mamanya hingga kakaknya pun terlibat. Akhirnya, sambil menghela napas lelah untuk yang kedua kalinya dalam lima menit terakhir, Rea memasukkan gigi satu dan memutuskan untuk langsung pulang. Yah... setidaknya rasa penasarannya akan terpuaskan.

*

Jam baru menunjukkan pukul enam malam ketika Rea membelokkan mobilnya dan menghentikan Nissan March-nya itu dibelakang Toyota Fortuner milik Dion, suami Diandra, kakak sulungnya. Dan didepan Totoya Fortuner milik Dion, terparkir dengan manis Nissan Grand Livina Nathan, kakak keduanya yang makin membuat kerutan dikening Rea terlihat semakin jelas. Ada apa sebenarnya? Tidak biasanya kedua kakaknya yang sudah tinggal terpisah itu datang kerumah orang tua mereka seperti ini, diwaktu yang bersamaan pula.

Rea mematikan mesin mobilnya dan keluar dari cangkang perlindungannya itu untuk memasuki rumah, menghadapi apapun yang menyambutnya meski hati kecil Rea terus meneriaki si empunya untuk segera menghindar karena apapun yang terjadi bukan hal yang menyenangkan. Rea melangkah dengan mantap, menyeberangi halaman rumahnya dan memasuki ruang tamu yang nyaris penuh sesak dengan kedua orang tuanya, kakaknya Diandra, Dion dan kedua anaknya serta Nathan dengan Julia, tunangannya. Obrolan hangat diantara orang-orang itu seketika terhenti ketika Rea masuk keruang tamu, membuat perempuan itu seketika menghentikan langkahnya dan menatap keluarga besarnya dengan bingung.

"Ada apa?" tanya Rea polos karena tidak tahu apa-apa.

Mendadak Diandra berdiri mengampirinya dan memeluknya dengan begitu hangat seolah Rea baru saja membawa kabar gembira ketengah-tengah keluarga besarnya. "congrats, sista" bisik Diandra penuh sayang sebelum melepaskan pelukannya. Dan sebelum Rea dapat mencerna apa yang terjadi dan bertanya apa yang sedang terjadi, kini giliran Nathan yang menghampiri dan mengacak-acak rambutnya dengan sayang sebelum memeluk adiknya itu erat. "Selamat ya adek kecil." Ujarnya dengan penuh semangat. Setelah Nathan gilirian kedua orang tuanya, Julia kemudian Dion yang hanya menepuk-nepuk pundak Rea dengan canggung membuat gadis itu semakin bingung dibuatnya.

"Ada apa sebenarnya?" tuntut Rea yang mulai jengkel dengan ketidaktahuannya.

Melihat Rea yang tidak tahu apa-apa, Diandra dan Nathan bertukar pandang sebelum menatap kedua orang tua mereka dengan penuh tanya. "mama belum cerita?" tanya Diandra yang kelihatan sekali terkejut. Mama mereka, wanita paruh baya dengan garis senyum dan wajah yang tampak begitu cantik meski diusianya yang sudah senja tersenyum sambil menggeleng membuat Diandra dan Nathan kompak berdecak sebal. "mama... bagaimana mungkin mama tidak menceritakan hal sepenting itu pada Rea?" protes Diandra.

"Oke cukup! Aku ada disini, jadi tolong jangan bicara seolah-olah aku tidak disini," potong Rea saat ia melihat mamanya hendak menanggapi protes Diandra. Dalam keadaan normal, Rea pasti sudah merutuki dirinya sendiri karena telah bersikap tidak sopan karena memotong pembicaraan orang tua, tapi firasat Rea mengatakan ini adalah kasus khusus dimana sedikit pelanggaran sopan santun tak akan begitu diperhatikan. Setidaknya itulah yang dipikirkannya karena papanya, yang tidak pernah absen menegurnya ketika ia lalai dengan sopan santunnya hanya diam tanpa bereaksi apapun.

"Kita semua kumpul disini karena sejam lagi keluarga Om Jaya mau datang untuk ngelamar kamu dek," Diandra lah yang berinisiatif untuk menjelaskan sementara mama berdiri dengan kikuk.

"APA!?"

*

Ketukan didepan pintu kamarnya tidak pernah berhenti sejak tiga puluh menit yang lalu tapi Rea pun belum memutuskan untuk menyerah, bahkan perempuan dua puluh lima tahun itu memutuskan untuk tidak akan menyerah. Tadi setelah mendengar alasan ia harus segera pulang kerumah, tentu saja Rea murka. Ia bahkan tanpa sadar mengumpat-ngumpat sebelum akhirnya ia memutuskan pergi sebelum menyakiti hati mamanya lebih dalam lagi dengan kata-katanya dan masuk kedalam kamarnya. Kedua kakaknya serta orang tuanya tentu saja panik, mereka berdua berusaha membujuknya berulang kali, mengetuk pintu kamarnya bahkan nyaris mendobrak, tapi Rea bergeming. Ia benar-benar marah. Bagaimana mungkin kedua orang tuanya mengambil keputusan sepihak seperti ini tanpa menanyakannya padanya lebih dulu? Memang ini hidup siapa, siapa pula yang akan menjalani, tentu dirinya sendiri kan!

"Rea... buka pintunya, dek. Sebentar lagi Om Jaya datang," lagi-lagi suara Diandra terdengar dari balik pintu yang tertutup. Om Jaya adalah sahabat baik papa yang seingat Rea memiliki seorang putra yang kalau tidak seumuran mungkin lebih tua darinya. Tapi hanya sebatas itu pengetahuan Rea tentang Om Jaya dan keluarganya. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa dan mendadak seakarang keluarga Om Jaya akan melamarnya, yang benar saja. Jika situasinya tidak segenting ini, Rea pasti sudah memutar bola matanya sambil mengangkat sebelah alisnya, tapi ini bukan situasi normal. Ini situasi gawat yang membutuhkan penanganan cepat.

"Rea... ayo dong dek buka pintunya, kasian papa sama mama," bujuk Diandra lagi.

Rea yang mendadak tidak tahan lagi dengan semua bujukan kakaknya memutuskan untuk membuka pintu kamarnya yang langsung disambut helaan napas lega kakak sulungnya itu lagipula Rea tidak tega mempermalukan mama dan papa. Biarlah ia mendengarkan penjelasan Diandra terlebih dulu sebelum ia mengambil keputusan. Jika memang alasan kedua orangtuanya masuk akal, Rea berjanji pada dirinya sendiri akan menerima lamaran ini dengan lapang dada, tapi jika tidak, Rea akan langsung menolaknya mentah-mentah tak peduli jika hal itu akan membuat papa dan mamanya malu didepan Om Jaya dan keluarganya.

"Syukurlah dek," desah Diandra lega saat Rea akhirnya membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan kakak sulungnya itu untuk masuk.

"Aku buka pintu bukan karena aku mau menerima lamaran keluarga Om Jaya, tapi karena aku mau mendengar penjelasan kalian semua!" tegas Rea begitu kakaknya masuk. Diandra yang sudah menduga kalau adiknya akan meminta penjelasan dan memang Diandra sudah mempersiapkan penjelasan untuk adik bungsunya ini hanya mengangguk mengiyakan.

"Duduk dulu, oke?" pinta Diandra yang dituruti Rea tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Kamu tahu kan dek usia mama sama papa udah nggak muda lagi?" tanya Diandra memulai penjelasannya. Rea yang sama sekali tidak mengerti apa sangkut pautnya penjelasan masalah lamaran ini dengan usia kedua orang tuanya hanya mengangguk mengiyakan tanpa mengatakan apapun. Ia membutuhkan penjelasan dan ia pun telah memutuskan untuk mendengar apapun penjelasan itu tanpa membantah ataupun menyela.

"Diusia mereka yang sekarang mereka mulai mengkhawatirkan kamu dek. Mereka khawatir dengan status kamu yang masih single sementara usia kamu sudah dua puluh lima tahun. Dan kekhawatiran mereka semakin diperparah dengan sikap kamu yang seperti menghindari laki-laki manapun yang mencoba mendekati kamu. Karena itulah, dek, ketika Om Jaya menawarkan perjodohan itu, papa dan mama menerimanya dengan senang hati karena mereka pikir, inilah salah satu jalan yang paling cepat untuk mencarikan pasangan untuk kamu sebelum terlambat,"

Diandra menyelesaikan penjelasannya dan menatap adiknya yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya ekspresi datar khas adiknya itu. Diandra menghela napas. Adiknya tidak pernah berubah. Sejak kecil hingga sedewasa ini adiknya selalu paling keras kepalanya dan juga keras hati. Ia tidak suka disuruh apalagi dipaksa. Diandra sendiri tidak memahami jalan pikiran kedua orangtuanya ketika menerima perjodohan itu, bukankah mereka sudah mengenal Rea seperti ia mengenalnya?

"Dek?" panggil Diandra setelah beberapa saat Rea hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Sejujurnya saat ini Rea ingin menangis dan menceritakan alasan kenapa ia menghindari setiap lelaki yang mendekatinya, tapi Rea tetaplah Rea. Ia tetap tak ingin menunjukkan kelemahannya pada siapapun. Ia tidak akan menangis ataupun membagi bebannya pada orang lain meski ia begitu ingin. Sebagai gantinya ia memasang ekspresi datar yang selalu ia tampilkan ketika ia tergoda hendak menunjukkan kelemahannya dihadapan orang lain.

Rea mengela napas dan menghitung sampai sepuluh sebelum ia akhirnya bicara. "Aku akan turun lima belas menit lagi," putusnya yang langsung disambut senyum lega kakaknya.

Her MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang