Setelah setengah jam berkendara dalam diam dengan Rea yang menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dan tertidur pulas, Bara akhirnya membelokkan mobilnya kehalaman sebuah rumah bergaya minimalis yang ditinggalinya sejak Bara mampu hidup mandiri. Bara akui, rumah ini bukan hasil kerja kerasnya. Rumah ini adalah hadiah dari kedua orang tuanya, hadiah yang mereka harap akan digunakannya bersama istrinya kelak. Bara menghela napas dan menatap Rea yang tertidur di sebelahnya. Saat ini, setelah deru mobil tak lagi terdengar, suasana senja itu begitu hening dan remang-remang, membuat Bara harus menatap Rea lekat-lekat untuk bisa dengan jelas melihat gadis itu.
Ada apa Rea? Kenapa kamu tampak kacau? Tanya Bara dalam hati saat melihat wajah Rea yang tampak begitu lelah dengan kantung mata yang membayang dibawah matanya yang tertutup. Seminggu yang lalu saat pertama kali bertemu Rea di hari pertunangan mereka, penampilan Rea terlihat jauh lebih baik dari ini. Perempuan itu meski kentara sekali jengkel setengah mati dengan kedatangan keluarganya untuk melamarnya, namun Rea tetap berusaha untuk menunjukkan sisi terbaiknya. Bara paham kalau Rea tidak ingin mempermalukan orang tuanya. Mungkin itulah yang membuat Rea mau menerima pertunangan mereka. Bara menghela napas. Saat pertama kali melihat Rea, Bara yakin Rea merupakan perempuan yang tangguh. Jenis perempuan yang tak akan menyerah begitu saja, jenis perempuan yang tidak akan dengan mudahnya menunjukkan emosinya dan jenis perempuan yang rela melakukan apa saja demi mempertahankan citranya dan juga kebahagiaan orang-orang disekitarnya. Jenis perempuan yang langsung menarik perhatian Bara.
"Rea... Rea..." bisik Bara pelan sambil mengguncang tubuh Rea. Sudah saatnya membangunkan perempuan itu sebelum kewarasan Bara hilang dengan terus memandangi kecantikan Rea dalam mobilnya yang remang-remang. Bagaimanapun Bara lelaki normal. Tapi alih-alih bangun dan membuka matanya, Rea justru menggumam tidak jelas dan meneruskan tidurnya, membuat Bara berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudah berapa malam kamu tidak bisa tidur, Rea," gumam Bara seraya berusaha menggendong Rea selembut mungkin dan membawa perempuan dua puluh lima tahun itu masuk kedalam rumahnya.
*
Apa yang terjadi? Pikiran Rea mendadak menajam saat perempaun itu terbangun dan mendapati dirinya berada disebuah kamar asing, alih-alih kamarnya sendiri. Dengan gerakan yang cukup tiba-tiba Rea terduduk dan mengamati interior kamar asing tempatnya berada. Jelas ini bukan hotel, batin Rea sedikit lega. Terlalu banyak sentuhan personal untuk bisa dikatakan hotel. Lantas kalau bukan hotel kamar siapa?
Pertanyaan Rea langsung terjawab ketika sebuah pintu yang Rea yakin merupakan pintu kamar mandi terbuka dan Bara keluar dari sana mengenakan kaus putih polos dan celana piyama panjang sambil lelaki itu mengeringkan rambutnya yang basah. Melihat Rea yang sudah bangun dan menatapnya bingung, Bara hanya nyengir kuda.
"Ini kamar kamu?" tanya Rea ngeri. Satu-satunya kamar lelaki yang pernah ia masuki adalah kamar Nathan kakaknya, itu pun dulu saat Rea masih kanak-kanak dan hobi menganggu kakaknya itu. Dan sekarang ia justru tertidur di kamar lelaki yang bukan siapa-siapanya, meski sebenarnya Bara adalah tunangannya. Andai papa tahu pasti beliau sudah menikahkan Rea saat ini juga.
"Tentu saja, memang mau kamar siapa?" tanya Bara sarkastik. Mendengar jawaban Bara, Rea langsung melompat turun dari tempat tidur dan berdiri diatas kakinya sendiri sebelum mendadak ia merasa pusing dan hampir saja terjatuh kalau saja Rea tidak dengan refleks berpegangan pada nakas disamping tempat tidur. Bara yang melihat hal itu dengan secepat kilat telah berada disebelah Rea dan membantu perempuan itu duduk di ranjangnya lagi. "Kamu kenapa?" tanya Bara yang kentara sekali tampak cemas.
"Sekarang tanggal berapa Bara?" tanya Rea yang mendadak saja teringat sesuatu dan mengacuhkan pertanyaan Bara sebelumnya. Rea mengerang dalam hati sambil berdoa kalau ia salah. Ia bahkan tidak membawa persiapan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Mask
General FictionBagi Rea, Bara adalah pilihan paling rasional dalam hidupnya. Setidaknya memilih Bara tidak akan membuatnya menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain sekaligus akan membahagiakan kedua orangtuanya. Setidaknya itulah yang ada dalam benak Rea...