Enam

555 31 4
                                    

Hari demi hari berlalu bagaikan berlari bagi Rea. Perempuan itu hanya samar-samar mengingat harinya yang kini lebih banyak ia habiskan di kantor, di tempat proyek dan rumah Bara, tempat nongkrong barunya. Hingga baru tiga minggu kemudian Rea sadar kalau ia nyaris melupakan keberadaan Ben dan mengabaikan lelaki itu. Memang Rea tak sepenuhnya mengabaikan Ben. Beberapa kali Rea masih membalas sms, whatsapp, bbm ataupun line dari Ben. Rea juga kadang masih mengangkat telpon dari Ben, tapi hanya itu. Rea masih saja menolak untuk bertemu dengan Ben, Rea bahkan terang-terangan melarang Ben datang kerumahnya. Bukan... semua itu Rea lakukan bukan atas permintaan Bara. Lelaki itu justru tampak santai-santai saja dengan kenyataan bahwa Rea memiliki seorang pacar dan sampai sekarang pun Rea belum memutuskan akan memilih siapa. Bara hanya sesekali mengangkat sebelah alisnya dan menatap Rea dengan pandangan yang tidak pernah bisa Rea artikan ketika pada kesempatan-kesempatan langka Rea mengangkat telpon Ben ketika bersama dengan Bara. Hanya itu reaksi yang lelaki itu tunjukan selebihnya datar-datar saja. Bara bagaikan air yang tenang namun menghanyutkan. Dari luar lelaki itu tampak tenang, tapi Rea tidak pernah tahu bagaimana pergolakan hati Bara ketika mendapati Rea mengangkat telpon atau pun membalas sms Ben. Ingin sebenarnya Bara melarang Rea melakukan semua itu dan memutuskan hubungannya dengan Ben segera. Tapi siapa Bara? Bara hanyalah lelaki yang disodorkan orang tuanya yang dipilih Rea sebagai perwujudan kewarasannya yang sampai saat ini pun belum mau mempercayakan apapun pada Rea seperti Rea mempercayakan semuanya pada Bara.

Sore ini seperti biasanya Rea duduk manis di lobi kantornya, menunggu Bara yang tiga minggu terakhir setia menjemputnya membuat Nissan March-nya terpaksa terparkir dengan manis di garasi, ketika ketenangan lobi tiba-tiba terusik dengan kedatangan Ben yang tak pernah disangka-sangka sebelumnya oleh Rea.

"Ben!" pekik Rea sedikit terkejut mendapati Ben tengah berdiri didepannya dan menatapnya tajam. Tanpa basa-basi Ben meraih pergelangan tangan Rea dan menarik perempuan itu untuk berdiri tanpa mengacuhkan seruan protes yang terlontar dari bibir Rea. "Diam, Rea! Ikut saja!" desis Ben seraya menarik lengan Rea, membuat Rea nyaris saja terjatuh karena tersandung sepatunya sendiri. Sambil menggigit bibir bawahnya menahan gejolak perasaannya karena sikap kasar Ben dan juga tatapan penuh tanda tanya dari beberapa orang yang berlalu lalang di lobi, Rea mengikuti Ben dengan berat hati. Rea tahu, ia harus segera memutuskan. Tapi Rea belum bisa memutuskan apapun sebelum Bara memberikan jawaban yang ingin diketahuinya. Andaikan Bara telah memberikan jawaban pada Rea, pasti saat ini perempuan itu tak akan diperlakukan sekasar ini oleh Ben.

"Berhenti!"

Sebuah seruan yang seolah menjadi pelampung penyelamat untuk Rea menghentikan langkah marah Ben, membuat lelaki itu berbalik tanpa melepaskan cengkeramannya di lengan Rea dan menghadapi Bara yang berdiri beberapa meter disamping Rea tengah menatap Ben dengan tajam. Ekspresi wajah Bara tampak tenang dan terkendali, tapi Rea tahu saat ini Bara tengah menahan amarahnya. Diam-diam Rea tersenyum dalam hati. Setidaknya Bara peduli padanya.

"Siapa kamu?" tanya Ben ketus sambil menatap Bara dengan tatapan menilai yang begitu terang-terangan. Ben ingat, lelaki yang saat ini berdiri didepannya yang tengah terang-terangan memandangnya dengan tatapan tidak suka adalah lelaki yang sama yang Ben temui di rumah Rea tiga minggu yang lalu.

"Tunangan Rea." Jawab Bara mantap yang langsung membuat Ben tersentak. Lelaki itu ternganga dan menatap Rea serta Bara dengan syok hingga tanpa sadar melonggarkan pertahanannya yang langsung dimanfaatkan oleh Rea. Dengan sekuat tenaga Rea menarik lengannya dari cengkeraman Ben dan menghampiri Bara sebelum setengah bersembunyi dibalik punggung Bara, punggung yang nyaris tak pernah meninggalkannya.

"Rea..." panggil Ben yang masih setengah syok. "Apa benar apa yang lelaki ini bilang?"

Rea menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan tangisnya. Ingin sekali rasanya Rea membiarkan air matanya menetes kali ini saja didepan Ben agar lelaki itu tahu betapa Rea sakit, tapi Rea tak bisa membiarkannya. Tak ada lagi orang yang pernah melihatnya menangis sejak usianya sepuluh tahun dan Rea pun tidak berminat untuk memperlihatkan air matanya pada siapapun saat ini. Rea menghela napas berulang kali, mencoba menenangkan gejolak batinnya sementara Bara berdiri bergeming didepannya. Inikah saatnya memutuskan semuanya? Tanya Rea dalam hati.

Her MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang