Sebelas

569 30 1
                                    


"BARAAAA!!!!"

Bara yang terkejut karena pekikan Rea langsung menginjak rem mendadak yang langsung diikuti oleh makian dan suara klakson mobil pengendara lain yang protes terhadap Bara yang mengerem mendadak.

"Apa sih, Re?" tanya Bara jengkel.

"Lihat deh!" perintah Rea yang sama sekali tak terpengaruh dengan kejengkelan Bara sambil menunjuk sebuah gedung yang terdapat disisi kanan jalan raya.

"Hotel Savana?" tanya Bara bingung. Kejengkelannya hilang sudah saat melihat wajah antusias dan bahagia Rea. Dengan senyum tersungging lebar Rea mengangguk. "Emang kenapa sama hotel itu?" tanya Bara lagi yang masih belum bisa memecahkan arti dari antusiasme Rea.

"Kamu ingat aku pernah bilang kalau aku pernah memenangkan kontes desain waktu masih kuliah dulu?" tanya Rea dengan mata tak lepas menatap Hotel Savana yang menjulang tinggi. Beruntung saat ini Bara sudah menepikan mobilnya, kalau tidak saat ini makian para pengendara jalan sudah pasti mampir ditelinganya.

Bara mengikuti arah pandang Rea dan menatap bangunan megah hotel Savana diseberang jalan sana. Bara ingat, sekitar sepuluh hari yang lalu Rea bercerita kalau perempuan itu pernah memenangkan sebuah kontes desain ketika ia masih menjadi mahasiswa dan akhirnya dipercaya sebagai arsitek yang membangun gedung yang ia desain. Mungkinkah gedung itu hotel ini? tanya Bara pada dirinya sendiri, tapi melihat antusiasme Rea dan juga binar dimatanya... yah, sudah bisa dipastikan bahwa karya pertama Rea adalah hotel ini. Diam-diam Bara kagum pada perempuan disebelahnya ini. selain karakternya yang unik, rupanya Rea memiliki otak yang lumayan encer juga. Tak heran kalau saat ini Rea menjadi arsitek disebuah perusahaab kontaktor yang cukup besar dan terkenal.

"That's an amazing hotel, Rea" puji Bara yang disambut senyuman manis Rea.

*

"Bara kamu dimana?" tanya Diandra begitu Bara menempelkan ponselnya ke telinga. Ini sudah ketiga kalinya Diandra menelpon dan Bara baru mengangkatnya. Tadi saat memutuskan untuk pergi Bara memang belum sempat berpamitan pada anggota keluarga Rea karena Bara terlalu bersemangat untuk segera membuktikan analisisnya.

"Di jalan, kak. Kayaknya aku tahu dimana Rea sekarang," jelas Bara.

Terdengar desahan lega diseberang sana. "Ya sudah hati-hati ya. Bawa Rea pulang," pesan Diandra sebelum memutuskan panggilan.

Usai meletakkan kembali ponselnya di dashboard, Bara menginjak pedal gas dalam-dalam. Tidak ada waktu lagi. Ia harus segera menemui Rea.

*

Lampu diatas pintu ruang operasi itu akhirnya padam, menandakan kalau operasi didalamnya telah usai. Ben yang sedari tadi hanya mampu duduk dalam diam sambil terus memperhatikan lampu diatas pintu ruang operasi yang menyala, langsung bangkit berdiri begitu pintu terbuka dan seorang dokter yang Ben ketahui sebagai dokter kandungan yang bertanggung jawab dalam operasi Gwen keluar dari ruang operasi.

"Dokter" panggil Ben.

Dokter paruh baya itu yang Ben baru ingat kalau namanya adalah Dokter Tri langsung menghampiri Ben dengan muka datarnya yang tidak bisa ditebak.

"Keluarga ibu Gwen?" tanya Dokter Tri formal meski sudah jelas sekali kalau Ben adalah keluarga Gwen karena tak ada orang lain diruang tunggu operasi selain dirinya.

"Saya suaminya," jawab Ben meski dalam hati lelaki itu tersenyum miris. Mungkin saat ini lelaki itu masih berstatus suami Gwen, tapi status itu tak akan bertahan lebih lama lagi. Karena Ben yakin begitu Gwen sudah sehat, Gwen akan segera menuntut cerai darinya. "Bagaimana keadaan istri saya dok?" tanya Ben mencoba untuk menepis pikiran negatifnya. Apapun yang terjadi nanti akan ia hadapi. Sekarang yang terpenting adalah kondisi anaknya dan Gwen.

Her MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang