Empat

539 33 0
                                    

Entah sudah yang keberapa kalinya dalam beberapa jam terakhir Rea mengecek jam tangannya. Hari ini semuanya berjalan begitu lambat dan melelahkan. Sambil menghela napas lelah, Rea mengusap wajahnya sebelum mengistirahatkan kepalanya dilipatan lengannya yang dia letakkan dimeja kerjanya. Saat ini pekerjaannya sudah begitu menumpuk, tapi kepalanya enggan diajak berkompromi. Alih-alih memikirkan pekerjaan, saat ini satu-satunya yang ada didalam otaknya hanyalah kejadian tadi pagi saat Bara dan Ben sama-sama berdiri diteras rumahnya.

*

"Ngapain kamu disini, Ben?" desis Rea yang kentara sekali tak suka dengan kehadiran Ben yang begitu tiba-tiba dirumahnya seraya menghampiri lelaki itu dan menyeretnya kesudut teras. Untuk sementara melupakan Bara yang menatap mereka penuh rasa ingin tahu.

Tadi saat Diandra baru saja masuk kedalam rumah, lelaki ini yang mengaku bernama Ben baru saja datang. Sikapnya yang aneh dengan menolak dipanggilkan salah seorang penghuni rumah dan malah memilih menunggu Rea keluar membuat Bara semakin penasaran dengan pemuda bernama Ben yang terang-terangan tidak disukai kehadirannya oleh Rea.

"Siapa pemuda itu, Rea?" Ben balas bertanya seraya melirik sengit kearah Bara yang duduk manis dikursi yang ada diteras.

"Nanti Ben, nanti aku jelaskan semuanya. Tapi nggak disini, oke?" bujuk Rea seraya menatap nyalang ke arah pintu rumahnya. Ia takut Diandra dan juga kedua orangtuanya mendadak keluar. Seluruh keluarganya memang mengenal Ben, bukan hanya karena Ben sahabat Diandra tapi karena pemuda itu pernah tinggal didekat rumah mereka selama bertahun-tahun.

"Janji?" tanya Ben yang ia tahu begitu kekanakan. Tapi apa lagi yang bisa Ben lakukan? Sudah seminggu Rea menghindarinya, kapan lagi ia memiliki kesempatan untuk meminta penjelasan atas sikap pacarnya itu seminggu belakangan.

Rea menghela napas berat dan mengedarkan pandangannya dengan gelisah ke seantero teras. Tatapan gelisah Rea berhenti beberapa detik lebih lama ke arah Bara yang tengah berdiri didekat pintu, memandangnya dengan tatapan penasaran yang kentara sekali tanpa perlu repot-repot ia sembunyikan.

"Janji," Rea akhirnya menyanggupi. "Tapi please, Ben. Mending kamu pergi sekarang sebelum ada orang rumah yang melihat kamu dan mulai bertanya macam-macam," usir Rea secara halus.

Untuk beberapa saat Ben terdiam sebelum akhirnya mengangguk dengan tidak rela. "Aku jemput kamu pulang kantor, dan aku harap kamu punya penjelasan," ujar Ben. Selama beberapa saat baik Ben dan Rea sama-sama diam sebelum akhirnya Rea mengangguk mengiyakan apapun yang Ben ingin, membuat pemuda itu tersenyum dan berlalu begitu saja setelah mengecup pipi Rea sekilas.

Begitu Ben dan Ford Fiesta-nya menghilang dari halaman depan, Rea berbalik dan mendapati Bara tengah menatapnya penuh arti. Oke... sekarang saatnya jujur pada Bara.

*

Siapa wanita itu?

Rea mengernyitkan keningnya sambil menatap cermin dimana seseorang yang mirip dengannya namun tampak kusut dan lelah balik menatapnya melalui cermin itu. Ingin rasanya Rea mempercayai bahwa yang saat ini dilihatnya dicermin itu adalah dirinya, tapi jelas itu bukan Rea. Rea tidak akan pernah menunjukkan kelemahannya pada orang lain, apalagi sampai tampak sekusut itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia sampai kekacau ini?

Suara Michael Corcoran mengalun memecah keheningan toilet wanita yang hanya berisi dirinya. Dengan enggan karena sudah tahu siapa yang menelponnya, Rea mengambil smartphone-nya yang ada di kanton blazer-nya dan mengusap layarnya lembut tanpa perlu repot-repot membaca nama penelponnya.

"Ya Ben," sahut Rea malas.

"Sore ini jadi kan, yang?" tanya Ben yang suara dilatar belakangi suara klakson mobil yang bersahut-sahutan. Saat ini nampaknya Ben tengah terjebak macet.

Rea menghela napas berat. Sejujurnya ia merindukan Ben, sangat merindukan sosok lelaki itu. Tapi Rea sendiri juga enggan menemui Ben. Enggan karena tiap kali menemui Ben, maka hatinya akan terkoyak-koyak dan lagi-lagi ia harus merasakan luka yang sama, dan semua keengganan itu ditambahi dengan status hubungannya yang saat ini tidak jelas. Saat memutuskan untuk menerima pertunangannya dengan Bara, Rea memang masih menjalin hubungan dengan Ben. Rea sadar, Rea memang seharusnya memutuskan mana yang akan ia pilih. Ben, pacarnya, lelaki yang dikenalnya hampir seumur hidupnya atau Bara, tunanganya, sosok lelaki baru yang sedikit membuatnya nyaman dengan keberadaannya. Sebenarnya kerancuan Rea dalam mengambil keputusan masih bergantung pada alasan Bara menerima pertunangan mereka. Aneh rasanya, pemuda setampan dengan karir yang bagus seperti Bara mau-mau saja dijodohkan seperti ini bahkan menerimanya dengan lapang dada. Mungkinkah ada yang disembunyikan Bara seperti ia menyembunyikan masa lalu?

Cepat-cepat Rea mengusir bayangan itu dalam benaknya dan kembali berkonsentrasi dengan percakapannya dengan Ben yang belum usai sementara Ben yang berada diseberang sana menunggui Rea dengan sabar karena lelaki itu tahu, Rea sering kali terhanyut dalam pikirannya sendiri. "Mungkin engga nanti deh, Ben," putus Rea lirih. Ingkar janji, batin Rea kecut. Sejak kapan ia ingkar janji seperti hari ini? Bukankah selama ini Rea selalu berusaha menepati janjinya?

Terdengar helaan napas disebelah sana, helaan napas yang terdengar begitu lelah dan putus asa. Mau tak mau Rea menyunggingkan senyumnya. Itu tandanya Ben menerima keputusannya, meski dengan berat hari dan terpaksa. "Kalau itu yang kamu mau," Ben menyanggupi sebelum memutuskan panggilan telpon itu secara sepihak tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Tanpa sadar begitu sambungan telponya terputus dengan Ben, Rea menghela napas dan kembali menatap bayanannya di cermin. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Memang apa yang dialami Rea saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Rea benar-benar kuwalahan memiliki hubungan dengan lelaki yang sama-sama memiliki hubungan khusus dengannya. Yang satu pacar yang ia kenal sejak kecil sedangkan yang satu adalah tunangannya, lelaki baru yang dibawa mamanya dalam hidupnya.

Ditengah semua kebingungannya, Rea mendadak teringat kalau ia membutuhkan satu kepastian sebelum waktunya lagi-lagi habis. Cepat-cepat Rea meraih lagi ponselnya dan menelpon sebuah nomor yang baru beberapa kali muncul di layar smarthpohe-nya.

"Halo, Bara,"

*

Tanpa basa-basi ataupun turun untuk menjemput Rea seperti yang dilakukan Bara kemarin, Bara menghentikan mobilya didepan pintu lobi dimana Rea sudah menunggunya dan langsung masuk begitu saja. Sambil menghela napas lega, Rea duduk di bangku penumpang mobil Bara dan menyandarkan kepalanya. Masa bodoh kalau besok ia harus numpang papa, yang penting ia harus menyelesaikan semuanya.

"Mau kemana?" tanya Bara setelah beberapa saat hening. Saat ini pemuda itu tengah melajukan mobilnya menembus lalu lintas sore yang lumayan macet. Bara yang mengenakan kemeja hitam pas badan yang membungkus tubuhnya yang tegap dan lumayan atletis itu tampak masih begitu rapi dan segar, padahal hari sudah sore.

"Apa pekerjaan kamu, Bara?" tanya Rea tanpa mengacuhkan pertanyaan Bara. Rea mendadak saja sadar kalau ia tidak tahu apapun tentang Bara kecuali tentang kariernya yang lumayan mapan, itu pun Rea menebaknya melalui mobil yang dikendarai Rea dan pakaian lelaki itu yang meskipun tidak selalu mahal tetapi memberi kesan jika Bara adalah lelaki dengan jenjang karier yang menjanjikan.

"Aku akan jawab pertanyaan kamu setelah kamu bilang mau kemana." Jawab Bara berusaha tampak sesantai mungkin meski saat ini ia penasaran dan jengkel luar biasa. Bara ingin Rea menjelaskan padanya siapa lelaki yang tadi menemuinya dirumahnya dan berani mencium pipinya. Bagaimanapun Rea tunangan Bara, dan Bara tidak suka wanita yang akan menjadi istrinya dicium oleh sembarang lelaki.

Rea menghela napas lelah. Gurat-gurat lelah semakin terlihat diwajahnya yang biasanya menampilkan ekspresi kaku. Entah kenapa bersama Bara membuatnya dengan mudah menanggalkan topengnya dan menunjukkan pada Bara dirinya yang sebenarnya. Seperti saat ini. Biasanya saat kalut dan sedang bingung seperti ini, alih-alih menelpon seseorang dan minta ditemani, Rea pasti akan sembunyi dengan ditemani rokok yang selalu setia menjadi teman di saat gundahnya. Kamu bukan menemui dia untuk minta ditemani, Rea. Tapi kamu mau menjelaskan tentang Ben dan juga meminta kepastian, kilah Rea dalam hati meski hal itu tak seratus persen benar.

"Terserah kamu, aku lelah sekali," gumam Rea lemah.

Bara menghela napas dan dengan luwesnya berbelok dan berganti jalur, membuat Rea mengernyitkan kening dan menatap Bara bingung. Jelas mereka tengah melaju menjauhi pusat kota.

"Kita mau kemana, Bara?" tanya Rea penasaran.

"Rumahku,"

1

Her MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang