This sorry is presented for lotusathene for her patient :)
Darla... check this out. this is your Mas Bara
*
Nissan March hitam itu berhenti dengan begitu anggun di parkiran gedung fakultas sebuah universitas ternama setelah berkeliling beberapa kali mencari tempat kosong. Si pengemudi Nissan March beruntung ketika ia tiba didepan gedung fakultasnya, sebuah mobil hendak keluar sehingga dengan secepat kilat si pengemudi Nissan March langsung mengambil tempat kosong itu sebelum didahului orang lain. Setelah mematikan mesin mobilnya dan meraih ranselnya yang tergeletak dikursi penumpang, si pengemudi Nissan March, seorang gadis dengan celana jeans, tank top yang dilapisi kemeja, sepatu kets dan rambut yang dikuncir ekor kuda asal-asalan keluar dari mobilnya. Kelasnya masih tiga puluh menit lagi, setidak ia masih punya banyak waktu untung nongkrong dikafetaria yang membuat gadis itu langsung menyunggingkan senyum manisnya lebar.
"Rea! Rea!" teriakan dari suara yang begitu familier ditelinganya membuat gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik. Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang gadis dengan gaun manis bermotif bunga, flat shoes serta tas tangan berlari-lari kecil menyeberangi lapangan dan menghampirinya dengan napas terengah-engah.
"Helen," panggil Rea seraya mengangkat sebelah alisnya. Tidak biasanya Helen yang biasanya kelihatan anggun dan tenang ini sampai berteriak-teriak dan berlari menghampirinya. Pasti ada sesuatu yang menghebohkan hingga Helen rela mempertaruhkan image anggunnya begitu saja. "what's wrong, darla?" tembak Rea langsung.
Helen mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat pada Rea untuk diam sementara gadis itu mengatur napasnya yang ngos-ngosan sehabis berlari. "big news, Rea" ujar Helen setengah terengah-engah. "Ben... Benjamin..." Helen berhenti dan kembali terengah.
"easy darla... easy..." Rea berusaha menenangkan sahabatnya itu meski sebenarnya ia penasaran setengah mati dengan big news yang dibawa Helen tentang Ben, tapi melihat Helen yang ngos-ngosan seperti ini membuat Rea tidak tega memaksa sahabatnya untuk segera bicara. Setelah napas Helen benar-benar tenang, gadis itu akhirnya angkat bicara.
"aku baru saja dengar dari mamaku tadi pagi kalau dalam waktu dekat Ben bakalan nikah sama Gwen," ujar Helen dalam satu tarikan napas.
Mendengar berita yang dibawa Helen membuat Rea mematung. Gadis itu terdiam dengan tatapan mata yang mendadak kosong. Ini benar-benar big news! Lelaki yang selama separuh hidupnya begitu dicintainya hendak menikah dengan Gwen, kakak sepupu Helen, sukses membuat Rea nyaris kehilangan pijakannya. Rea nyaris saja terjatuh karena mendadak saja kedua kakinya terasa begitu lemas kalau saja Helen tidak meraih dan menyangganya, menjaganya agar tidak terjatuh.
"are you fine, darla?" tanya Helen pelan. Kentara sekali saat ini gadis itu tengah kelihatan begitu cemas. Bagaimana tidak, Rea, sahabatnya yang terkenal bermental baja itu nyaris saja pingsan dihadapannya, padahal selama ia mengenal Rea, tak sekalipun Helen pernah melihat Rea nyaris pingsan seperti ini.
Ingin rasanya Rea memaki Helen saat ini. Bagaimana mungkin Helen menanyakan hal paling tidak masuk akal itu? Tentu saja Rea tidak sedang fine sekarang. Bagaimana ia bisa fine jika lelaki yang dicintainya semenjak ia masih gadis ingusan hendak menikah dengan wanita yang jauh lebih baik darinya. Tapi Rea tetaplah Rea. Gadis itu benci menunjukkan kelemahannya pada siapapun, meski pada Helen yang nota bene sahabatnya. Dengan sedikit memaksakan senyuman yang lebih mirip seringaian, Rea mengangguk, mengiyakan pertanyaan Helen sebelum menegaskannya. "yeah... of course" jawabnya dengan suara yang-syukurlah-terdengar begitu mantap. Tapi rupanya hanya sampai disitulah pertahanan Rea, ia tidak sanggup lagi berpura-pura lebih jauh. Ia harus menjauhi Helen sebelum ia terpaksa menunjukkan pada gadis itu betapa hancurnya dirinya sekarang.
"darla, can you help me?" tanya Rea sambil memandangan kesegala arah, kemanapun asal bukan Helen. Rea tidak ingin Helen melihat kebohongan dan dusta dimatanya.
"Tentu saja, Rea," jawab Helen mantap. Gadis itu masih memegang lengan Rea erat-erat, takut kalau Helen melepaskannya, maka Rea bisa terjatuh kapan saja. "Apa yang bisa aku bantu?" tanyanya lagi.
"Aku mendadak ingat kalau aku ada urusan dan nggak bisa masuk kelas, jadi bisa tolong kamu uruskan absenku?" pinta Rea.
Jauh dalam lubuk hatinya Helen tahu Rea berbohong, tapi Helen memutuskan untuk berpura-pura mempercayai sahabatnya itu meski sedikit tersinggung dengan sikap Helen yang tidak mempercayainya. "sure. Pergilah, selesaikan urusanmu," Helen menyanggupi dengan mantap membuat Rea lagi-lagi menyunggingkan seulas senyum.
"thanks darla, I owe you." Gumam Rea lega sebelum melepaskan lengannya dari cengkeraman Helen dan berjalan kembali ke mobilnya.
*
Harinya yang sempurna mendadak berantakan begitu saja. Rea tersenyum kecut sambil menatap langit biru diatasnya. Diantara jari telunjuk dan tengahnya, terjepit sebatang rokok yang tinggal separuh. Sebatang rokok yang baru saja ia hisap sementara di lantai disekitar tempatnya duduk bersimpuh, belasan puntung rokok berceceran. Entah sudah berapa puntung yang Rea habiskan dari pagi hingga siang ini, Rea sendiri tidak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah ia menyalurkan rasa frustasinya lewat rokok, sesuatu yang nyaris tak pernah ia lakukan semenjak ia mulai kuliah.
Suara Michael Corcoran dengan lagu Let Me In-nya memecah keheningan di sekitar Rea dan membuat gadis itu mengalihkan tatapannya dari langit biru di atas sana ke smartphone-nya yang tergeletak manis disebelahnya. Sebenarnya tanpa melihat nama penelponnya pun Rea tahu siapa yang tengah mengubunginya. Ia sengaja memasang ringtone itu khusus untuk seseorang. Seseorang yang saat ini ingin ia hindari sekaligus sangat ia rindukan.
Akhirnya, setelah tiga kali menelpon, Rea memutuskan untuk mengangkat telpon itu. Dengan sedikit kasar, Rea meraih smartphone-nya dan mengusap layarnya. "Halo," sahutnya berusaha terdengar sedingin mungkin.
"Syukurlah..." desah Ben, Benjamin diseberang sana. "Kamu dimana, Rea? Kenapa kamu melewatkan kelasku siang ini?" tanya Ben yang terang-terangan terdengar begitu khawatir.
Rea tersenyum kecut. Diantara semua hal didunia ini yang perlu dikhawatirkannya, Ben justru mengkhawatirkan Rea yang tidak menghadiri kelasnya? Sungguh ironis. "Dimanapun aku bukan urusan kamu!" jawab Rea ketus.
"Rea... aku mohon. Katakan dimana kamu sekarang. Aku akan menjelaskan semuanya," ujar Ben dengan nada memelas yang biasanya sanggup melelehkan hati Rea.
"Listen, Ben." Ucap Rea setegas mungkin. "Aku sudah dengar semuanya dari Helen, jadi tidak perlu ada yang kamu jelaskan lagi. We've done, Ben, done." Putus Rea sebelum memutuskan sambungan telpon secara sepihak.
WA
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Mask
General FictionBagi Rea, Bara adalah pilihan paling rasional dalam hidupnya. Setidaknya memilih Bara tidak akan membuatnya menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain sekaligus akan membahagiakan kedua orangtuanya. Setidaknya itulah yang ada dalam benak Rea...