Ketika membuka matanya pagi ini, Rea tidak bisa menghentikan erangan yang keluar dari bibirnya. Semua ini terlalu rumit untuk ia tanggung dalam waktu yang begitu singkat. Bagaimana mungkin hidupnya yang tenang dan mengalir seperti arus mendadak saja menjadi begini rumit dan berombak? Dan semua itu diperparah dengan ungkapan cinta Bara semalam. Jujur, Rea tidak pernah menyangka kalau Bara akan jatuh cinta padanya. Bukankah sejak awal Rea sudah menjelaskan pada Bara kalau hampir seumur hidupnya Rea hanya mencintai satu orang lelaki? Dan bukankah hal itu cukup untuk memberikan penjelasan pada Bara kalau ia tidak ingin yang lebih lagi dalam hubungan mereka selain hubungan pertemanan yang dilandasi akal sehat?
"Arrrggghh..." Erang Rea jengkel. Kepalanya berdenyut pusing. Belum selesai satu masalah kini hadir satu masalah lagi. Hubungannya dengan Ben belum menemkan titik terang, kini hubungannya dengan Bara menjadi semakin rumit.
"Rea..." panggilan sederhana dengan nada lembut yang penuh kasih itu menyeret Rea kembali pada realita. Rea mengalihkan tatapannya dari jermin besar di meja riasnya dan mendapati mamanya telah berada dalam kamarnya, menatapnya dengan sayang.
"Iya ma?" sahut Rea.
"Bara udah nunggu dibawah," ujar sang mama sebelum berlalu begitu saja tanpa menunggu respon Rea. Begitu mamanya keluar, hanya satu hal yang dilakukan Rea, mengerang.
*
"Hai..." sapa Bara ketika Rea masuk dan duduk dikursi penumpang Mitsubishi mirage-nya.
"Hai," balas Rea kaku sebelum bibir Rea terkatup rapat hingga menyerupai sebuah garis lurus diwajahnya yang tampak lelah dan kuyu.
"Rea," panggil Bara hati-hati. Sejak memasuki mobilnya lima menit lalu, Rea memilih bungkam dan hal itu sedikit banyak menganggu Bara. Mungkin seharusnya Bara tidak mengungkapkan perasannya. Tapi tidakkah jauh lebih baik kalau mereka memulai semua ini dengan keterbukaan dan kejujuran?
Mau tidak mau Rea mengalihkan tatapannya dari jalan dan menatap Bara, orang yang sedari tadi enggan ia tatap. Rea tidak ingin Bara melihatnya. Rea tidak ingin lelaki itu membaca hatinya dan akhirnya menjadi terluka. Bagaimanapun Rea terlanjur menyayangi Bara meski Rea sendiri tidak tahu jenis rasa sayang apa yang ia punya, tapi Rea tidak mau melihat Bara terluka karenanya.
"Apa kamu terbebani dengan kata-kataku semalam?" tanya Bara masih dengan kehati-hatian yang sama. Andaikan Rea memintanya untuk mundur, maka Bara akan mundur meski ia harus terluka karena cintanya harus berakhir begitu cepat.
Rea terenyak. Tak menyangka kalau Bara akan menanyakan langsung padanya. Terbebanikah ia? Tentu saja! Rea pikir bertunangan dengan Bara akan membuatnya keluar dari segala kerumitan. Ia pikir ia akan bisa menjalani hubungan bersama Bara tanpa melibatkan cinta didalamnya karena sejujurnya cinta Rea sudah habis untuk Ben.
"Aku... aku hanya tidak menyangka, Bara." Jawab Rea tak peduli meski hati nuraninya berulangkali meneriakinya sebagai seorang pembohong. "Hanya saja, aku... belum memiliki perasaan yang sama dengan kamu," aku Rea setelah berdebat dengan dirinya sendiri. "Kamu tahu siapa lelaki yang aku cintai."
Diluar dugaan Rea, Bara justru mengangguk mengiyakan. Lelaki itu tampak tenang dan santai. Sungguh diluar bayangan Rea. Ketika berdebat dengan dirinya sendiri, Rea menduga kalau pada akhirnya Bara akan lelah dengannya dan meninggalkannya.
"Tidak masalah siapa yang kamu cintai sekarang, yang penting adalah siapa yang akan kamu cintai nanti," ujar Bara tiba-tiba, memecah keheningan yang kembali tercipta diantara mereka. Dengan mulus, Bara menghentikan mobilnya didepan pintu lobi kantor Rea dan menghadap perempuan itu, sebelum Rea sempat keluar dari mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Mask
General FictionBagi Rea, Bara adalah pilihan paling rasional dalam hidupnya. Setidaknya memilih Bara tidak akan membuatnya menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain sekaligus akan membahagiakan kedua orangtuanya. Setidaknya itulah yang ada dalam benak Rea...