09. Disuapin pacar

60 4 0
                                    

[ dia bilang, “rasanya beda waktu disuapin sama lo.” ]

===

Jendra masuk begitu saja tepat ketika hampir sebagian murid di kelas 12 MIPA itu keluar untuk menikmati jam istirahat. Ia bisa melihat sosok Reva sedang mengemas buku-bukunya ke dalam laci mejanya. Zara yang melihat itu hanya bisa memutar bola matanya jengah dan kemudian memberitahukan kepada Reva kalau sang pacar ada di sini. Reva menoleh dan langsung memasang wajah kesal begitu Jendra menarik kursi orang lain dan duduk di dekat bangku Reva.

“Reva, gue laper.”

Reva mendelik tajam dan kemudian mengambil bekal makanan yang memang ia siapkan tadi pagi untuknya sendiri. Ia memang berencana akan memakan bekal dan tak pergi ke Kantin karena ia ingin mengerjakan soal-soal Fisika yang ia dapatkan dari perpustakaan kemarin.

“Wah! Bawa apa tuh?” tanya Jendra dengan mata berbinar-binar. Ia menatap kotak bekal Reva dengan tatapan mata seolah-olah ingin segera melahap apapun yang ada di dalamnya.

Zara berkata, “kagak bawa uang jajan lo, Jen?”

“Bawa kok, cuma gue kasih ke Hasan. Dia lupa bawa uang jajan. Jadi, gue kasih aja ke dia.”

Zara menggeleng kecil dan kemudian berdiri. “Gue ke Kantin, Re. Mau nitip apaan? Gue yakin sih bekal lo bakal abis gara-gara si Jendra. Mau gue pesenin nasi goreng enggak?” tawar Zara.

Reva menggeleng dan menjawab, “beliin gue roti aja. Rasa nanas, ya? Duitnya nanti gue ganti.”

Zara mengangguk dan kemudian berlalu meninggalkan Reva bersama Jendra di kelas dengan sekitar empat murid yang memang tak pergi keluar kelas. Jendra mendekatkan kursi yang ia pinjam itu dan kemudian menatap Reva dengan tatapan berbinar.

“Boleh?” tanya Jendra sambil tak lepas menatap makanan yang ada di dalam kotak bekal Reva. Ternyata sang pacar membawa tumis brokoli, wortel dan juga telur puyuh serta ayam goreng kremes. Apalagi uap nasi yang menguar dari sana membuat Jendra semakin kelaparan dibuatnya. Jendra tak pernah meragukan kemampuan memasak Reva sebab gadis itu sangat terlatih di dapur.

“Makan aja,” ucap Reva sambil menyodorkan kotak bekal miliknya ke arah Jendra sedangkan dirinya asyik mengerjakan soal-soal Fisika.

Jendra memekik senang dan mulai meraih sendok plastik yang memang dibawa oleh Reva. Ia menyuap makanan itu dan mendesah dengan penuh kenikmatan. Ia sangat menyukai masakan Reva. Jika saja sang pacar tak terlalu sibuk dengan nilai maka mungkin Jendra akan senang meminta Reva untuk memasakkan makanan untuknya.

Jendra yang masih mengunyah makanan di dalam mulutnya pun menoleh ke arah Reva yang masih sibuk mengerjakan soal-soal Fisika itu. Pemuda itu menatap soal-soal yang dikerjakan oleh sang pacar hanya untuk mendapati dirinya pusing dengan deretan angka itu.

Apaan tuh? Kenapa juga laju kendaraan kudu diitung? Memang mau dipake buat apa? Batin Jendra kebingungan.

“Enggak usah sok mikir, kayak bisa mikir aja.” Jendra harus banyak-banyak sabar dengan ucapan straight point sang pacar yang kadang memang bisa membuat hatinya menjerit.

“Gue pinter kok. Waktu itu gue bisa jawab soal Matematika yang lo kasih,” ucap Jendra membela diri.

“Itu karna gue ajarin.”

Jendra merengut kecil dan kembali menyuap makanannya. Ia kemudian iseng lalu memanggil nama sang pacar sampai Reva menoleh dan Jendra langsung menyuapinya tepat saat Reva hendak bertanya ada apa.

Reva terdiam saat sesendok makanan itu masuk ke dalam mulutnya. Ia sudah terbiasa dengan makanan buatannya sendiri, hanya saja disuapi oleh orang lain selain sang ibu, rasanya memalukan. Bahkan ibunya juga terakhir kali menyuapinya saat ia masih di bangku TK dan sekarang Jendra malah seenaknya saja menyuapi dirinya? Di kelas yang masih ada empat murid—lima murid termasuk Reva. (Read: Jendra tidak dihitung sebab bukan murid kelas 12 MIPA)

“Makan juga dong, sayangnya Jendra. Nanti enggak bisa mikir buat jawab berapa kecepatan mobil A.” Reva menahan kekesalannya. Ia mencoba bersabar karena memang sudah tabiatnya Jendra yang hobi sekali membuatnya kesal.

Jendra kembali menyuapi dirinya dan kemudian memasang wajah bingung. Reva ikutan bingung. “Kenapa?” tanya Reva.

Jendra menjawab, “rasanya aneh.”

Reva menahan diri untuk mengumpat. Apa Jendra baru saja menghina masakannya? Reva ingin sekali memukul Jendra sekarang. Reva merebut sendok di tangan Jendra dan menyuapi dirinya sendiri. Ia tak menemukan apapun yang salah dalam masakannya.

“Enggak ada yang aneh. Ngawur aja lo!” ucap Reva.

Jendra merebut sendok itu dan menyuapi dirinya lalu kembali menjawab, “iya. Aneh. Gue enggak ngawur.”

Reva merebut sendok itu dan kemudian menyuapi dirinya. Tetap tak menemukan apapun yang salah. “Enggak ada yang aneh, Jendra.”

“Masa sih? Coba aaa!” Jendra tak percaya. Ia langsung membuka mulutnya seolah minta disuapi. Reva menyuapi pemuda itu dan menunggu sampai Jendra menelan makanannya.

“Gimana?” tanya Reva setelah Jendra berhasil menelan makanannya.

Jendra mengangguk pelan. “Iya, enggak aneh. Rasanya enak.” Reva menatapnya datar. “Udah gue bilang. Enggak ada yang aneh. Ngawur sih.” Reva menjawab dan kemudian menyerahkan sendok di tangannya kepada Jendra. Ia ingin kembali mengerjakan soal-soal Fisika yang sempat terabaikan olehnya gara-gara meladeni Jendra.

Jendra memegang sendok itu dan tersenyum lebar. “Rasanya beda waktu disuapin sama lo.”

Reva langsung menatapnya tajam dan kemudian tersenyum manis yang mana membuat Jendra merinding. “Masa sih? Mau gue siapin lagi? Lo bilang rasanya enak kalo gue yang nyuapin. Di rumah ada makanan basi. Lo mau gue suapin itu? Siapa tau rasanya enak karna gue yang suapin itu ke lo.”

Jendra terkekeh kecil dan menjawab, “enggak gitu juga dong, sayang. Masa gue mau dikasih makanan basi.”

“Lho, kenapa? Itu gue juga kok yang masak. Cuma dua hari yang lalu gue masaknya dan lupa gue buang. Siapa tau lo mau. Lo bilang ’kan rasanya enak kalo gue yang nyuapin.” Jendra menarik kursinya mundur dan kemudian langsung berlari saat Reva ikutan berdiri.

“Jendra ....” Panggilan itu entah mengapa membuat Jendra merinding. Ia berlari menjauhi Reva yang mengejarnya. Di koridor mereka berpapasan dengan Zara yang membawa satu plastik berisi roti-roti dan juga dua air mineral botol.

“HUWAAAAAA! MAAF, RE. JANGAN NGEJAR GUE!” seru Jendra.

“SINI LO, JENDRA! GUE BOTAKIN!”

“HUWAAAAA! MADA! ILYAS! TOLONGIN GUE!”

Zara menatap kepergian keduanya dengan tatapan takjub. “Gue kira bakal bucin di kelas eh taunya tetep aja kejar-kejaran kayak kucing sama tikus. Kali ini kenapa lagi, ya?” tanya Zara entah kepada siapa.

Di sisi lain, Mada dan Ilyas yang baru selesai makan di Kantin juga tak sengaja berpapasan dengan Jendra yang dikejar oleh Reva. Mada menatap mereka dengan tatapan gemas sedangkan Ilyas hanya bisa mengelus dada berusaha bersabar.

“Wah, prahara apa lagi nih? Kudu nanya Zara nih. Pasti dia tau kenapa.” Mada berucap dengan semangat.

“Jendra enggak ada kapok-kapoknya memang. Udah tau Reva sekali senggol bakal ngamuk, malah dilanjutin sama dia,” ucap Ilyas.

“Gapapa. Seru tau. Kayak liat siaran langsung kehidupan rumah tangga Jendra di masa depan,” balas Mada.

Ilyas hanya bisa menatap temannya dengan tatapan malas. Mada dengan Jendra ini sebelas-dua belas saja tingkahnya. Ilyas hanya bisa berharap semoga ia bisa bertahan dengan kedua temannya itu sampai lulus SMA nanti.

===

to be continued.

[END] A Match Made in Chaos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang