[ dia bilang, “agar silaturahmi tak terputus, boleh kali pinjem dulu seratus?” ]
===
Jendra berpisah dengan sang adik ketika tiba di gerbang sekolah. Pagi ini mereka berangkat bersama karena semalam motor Jendra masuk bengkel. Sebab Hasan masih di bawah umur dan belum punya surat izin mengemudi, maka Jendra akhirnya mengajak adiknya yang biasanya berangkat naik bus atau dibonceng dirinya itu untuk menaiki taksi.
Jendra biasanya memang kadang baik hati mengajak Hasan untuk berangkat bersama dengan motornya. Namun, ketika pulang biasanya Hasan akan pergi belajar bersama dengan teman-temannya atau pergi ke toko buku. Maka Jendra akan pulang bersama Reva jika sang pacar mau, tentunya.
“Bang!”
Jendra yang tadinya akan berjalan meninggalkan sang adik pun berhenti dan kemudian berbalik menatap Hasan dengan tatapan bertanya. Pemuda enam belas tahun itu langsung menjawab, “gue lupa bawa uang saku!”
Jendra menatap Hasan dengan tatapan malas. Namun, sebagai Kakak yang baik maka ia memberikan uang jajannya kepada sang adik. Hasan menerimanya dengan senang hati dan kemudian memeluk Jendra sembari berkata, “makasih calon suaminya Kak Reva!”
Jendra tersenyum lebar bahkan melambaikan tangannya ke arah Hasan yang langsung berlari usai mengatakan itu padanya. Duh, suasana hati Jendra sedang begitu baik akibat ucapan Hasan. Memang paling bisa membuat Jendra bahagia.
“Ngapain lo nyengir di situ? Sawan lo?”
Jendra berbalik dan mendapati sang pacar tiba dengan motor Scoopy hitam miliknya. Jendra berjalan mendekati Reva dan kemudian melepaskan helm gadis itu yang mana membuat Reva menatapnya curiga.
“Kenapa lo?” tanya Reva sambil melepaskan kunci motornya.
“Selamat pagi, calon istrinya Jendra!” sapa Jendra tiba-tiba dengan senyum kelewat lebar.
Reva tiba-tiba saja bergidik ngeri. Ia merinding dengan senyuman lebar Jendra. Gadis itu meletakkan punggung tangannya di kening Jendra yang mana membuat Jendra menatapnya heran.
“Kenapa?” tanya Jendra.
Reva menarik tangannya. “Enggak panas. Lo enggak sakit. Kok tiba-tiba aja nyapa begitu?” Ia menatap sang pacar dengan tatapan curiga. “Lo abis ngapain? Ada ide apa lagi lo buat ngerjain gue?” tuduh Reva.
Jendra langsung meletakkan tangannya di pundak Reva dan memasang wajah sedih secara tiba-tiba. Reva kebingungan, tapi tak membuatnya lengah. Ia mencoba waspada kalau-kalau tiba-tiba saja Jendra berteriak di telinganya, mencium pipinya atau melakukan apapun yang bisa membuatnya kesal pagi ini.
“Gue miskin!” jerit Jendra dengan pilu.
Reva menautkan alisnya dan bertanya dengan raut tak percaya, “maksud lo?”
Jendra memasang wajah sedih bahkan mengusap ujung matanya seolah-olah ada air mata padahal tak ada. Reva yang melihat itu hanya bisa menatapnya datar.
“Abis dipalak Hasan. Huhu ... gue enggak punya uang jajan,” keluh Jendra.
Reva mengembuskan napas panjang dan menyahut, “mau pinjem duit gue? Kebetulan gue bawa bekal hari ini.”
Jendra langsung menggeleng cepat. “Oh, tidak bisa! Tidak bisa!” ucapnya dengan cepat.
Reva menatapnya malas. Tadi merengek tak punya uang jajan, sekarang ditawarkan pinjam uang Reva dulu malah menolak. Maksud Jendra apa?
“Trus mau lo apa?” tanya Reva lelah. Sumpah, ini masih pagi. Reva sudah merasa lelah menghadapi tingkah ajaib Jendra. Reva sangat-sangat mempertanyakan dirinya sendiri mengapa menerima pemuda di depannya ini sebagai pacar dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] A Match Made in Chaos
Dla nastolatków[ B E L U M R E V I S I ] Sudah tahu kalau kesabaran Reva itu setipis tisu yang terkena air lalu dibelah-belah lagi jadi tujuh bagian, Jendra malah hobi sekali membuatnya pacarnya itu mengamuk. Herannya, hubungan mereka sudah berjalan dua tahun lebi...