My Heart Belongs to Daddy

146 12 4
                                    


Athina

Wajah Papa makin mengkerut karena Tristan belum pulang-pulang juga, padahal sekarang sudah jam 7 malam lewat 10 menit. Meski baru lewat 10 menit dari jam malam yang Papa berikan untuk bocah itu, ekspresi Papa sudah seperti ingin melempar Tristan pakai bangku. Bahkan sebenarnya, ekspresi Papa sudah kusut waktu tumben-tumbennya beliau sudah sampai rumah jam 6 sore dan mengetahui Tristan belum sampai di rumah.

Malah, yang ia temukan waktu membuka pintu kamar Tristan adalah dream board yang ia pasang di atas meja belajarnya, yang ditempeli oleh brosur-brosur Universitas Dewangga, potongan gambar pulau Bali, dan gantungan kunci berbentuk penis yang bikin Papa makin naik pitam.

Duh, Tan. Barang-barang lo aja senang banget cari ribut sama Papa!

Papa menghantam ponselnya ke atas meja makan saat teleponnya nggak diangkat-angkat Tristan. "Telepon adikmu lagi, Tin. Tanya udah sampai mana. Udah lewat jam malam kok dia belum pulang!"

"Tadi Tristan udah ngabarin aku kok, Pa. Katanya udah di lampu merah depan. Bentar lagi juga sampai. Lagian kan Tristan baru telat dikit... atau malah dia belum telat. Kan, jam di rumah memang sengaja aku setting lebih cepat."

Aku mengambil piring Papa, berinisiatif mengambilkannya roased red pepper, spinach, dan feta penne pasta, yang jadi menu makan malam hari ini. Hari ini hari Senin, jadi menu makanan di rumah nggak boleh mengandung daging. Karena Tristan benci banget makan sayur, Papa membuat aturan Meatless Monday agar setidaknya sehari dalam satu minggu, ada sedikit sayur yang masuk ke dalam tubuh Tristan.

"Kita makan duluan aja yuk, Pa. Sini, aku ambilin pasta buat Papa."

"Nggak ada yang boleh makan sebelum Tristan sampai. Memang keluarga kita isinya tiga orang aja?" Papa mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan telunjuknya, kebiasaannya sebelum melempar kotak tisu ke arah Tristan kecil tiap kali anak itu ngerengek karena hanya pingin makan chicken tender setiap hari. "Sudah di lampu merah depan mana maksudnya? Depan Preston? Jangan-jangan adikmu itu baru jalan dari sekolah! Kebanyakan main lagi sama si Kafka! Udah Papa bilang jangan temenan sama orang yang suka ngasih dia pengaruh buruk, nggak pernah nurut!"

Karena bad influencer sebenarnya itu Tristan, Pa! Kafka hanya anak polos sampai dia ketemu sama Tristan!

Tapi buat apa sih aku kasih tahu Papa soal itu? Memang Papa akan ngapain? Berusaha mengerti latar belakang di balik kebandelan Tristan selama ini? Berusaha membaca subtext dari semua aksi protes Tristan dan merenungi kenapa anak laki-lakinya nggak pernah mau nurut sama dirinya?

Aku aja yang jawab, pasti nggak. Karena respons Papa tiap kali Tristan bikin ulah adalah memarahinya atau berusaha mengontrolnya dengan sikap-sikap Papa yang nggak pernah bisa ditebak. Kadang Papa menggunakan omelan, paksaan, hukuman, lempar barang, atau yang paling bikin Tristan gila, Papa mendiami Tristan dan menganggapnya tak kasat mata sampai cowok itu stres sendiri dan mendatangi Papa untuk meminta hukuman karena ia paling nggak bisa dianggap nggak ada.

"Pa, hari ini aku sama Mickey ada kelas sama Prof Reuben. Prof Reuben titip salam buat Papa. Katanya dulu Papa mahasiswa paling pintar ya di kelas Internasional Finance?" Aku berusaha membawa topik lain ke atas meja agar perhatian Papa nggak berfokus pada jarum jam yang terus bergeser ke kanan. "Aku baru pertama kali dapat kelasnya Prof Reuben, ternyata enak banget ya cara ngajar dia?"

Papa hanya menggumam seadanya, matanya tetap tertancap pada jam dinding di ruang makan.

"Pa, tadi aku forward nilai kuis matkul Global Business aku ke email Papa. Udah lihat, belum? Aku udah parno nilaiku bakal jelek, soalnya itu kuis dadakan dan aku belum belajar. Tapi ternyata aku dapat 90 loh, Pa!"

Farewell, Neverland! [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang