O Mother, Where Art Thou?

131 11 4
                                    

Athina

Aku memandangi situasi lantai satu dining hall dari lantai dua yang penuh sama mahasiswa baru tahun ini. Bentukan mereka tentu saja nggak ada bedanya sama maba-maba tahun lalu.

Di Universitas Preston nggak ada ospek. Jadi, jangan harap kamu akan menemukan maba-maba yang rambutnya diikat dua dan wajahnya didandani aneh-aneh. Karena yang akan menyambutmu adalah para cewek-cowok baru lulus SMA, yang berlomba-lomba untuk menunjukkan kekayaan mereka.

Kelakuan murid-murid di SMA Preston juga nggak jauh beda. Bedanya, mereka lebih kalem aja dalam pamer harta karena harus mentaati peraturan berseragam. Tapi saat masuk kuliah, nggak ada lagi guru disiplin yang menyuruh mereka untuk melepas scarf Hermes, bangles Cartier, dan heels Jimmy Choo yang mereka pakai.

Aku dan Tristan sudah hafal mati sama kebiasaan anak Preston yang satu itu, karena kami sudah mengenyam pendidikan di sekolah international ini sejak TK. Untung letak gedungnya berbeda-beda, jadi kami nggak perlu pergi ke tempat yang sama setiap hari selama 15 tahun lebih. Lokasi TK, SD, sama SMP-nya Preston itu ada di Jakarta Pusat, sementara SMA dan kampusnya ada di Jakarta Selatan, dekat Kuningan, yang mana dekat rumah kami juga.

Papa pernah cerita, ia rela bekerja banting-tulang, supaya anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik sejak kecil di sekolah terbaik di Indonesia, yaitu di Preston International School.

Apakah menurutku sekolah ini adalah sekolah terbaik? Yah, standar Preston, dari segi fasilitas, pengajar, kurikulum, dan lingkungan memang jauh di atas sekolah-sekolah umum di Indonesia, sih. Tapi kalau aku boleh jujur, perbedaan yang paling mencolok itu datang dari murid-muridnya, yang kaya banget atau pintar banget.

Murid-murid yang kaya banget di Preston biasanya adalah anak-anak pejabat, sementara yang pintar banget itu anak-anak beasiswa. Murid yang pintar banget dan kaya banget juga ada, tapi jumlahnya sedikit. Yang aku tahu hanya Alarik.

Aku mengocok-ngocok botol minum berisi peach milk yang aku bawa dari rumah dan membuka penutupnya untuk menyesapnya sedikit. Di antara maba-maba yang sedang makan di meja panjang dan mengantri mengambil makan siang di buffet, Kion dan Leo melebur di antara mereka. Tumben-tumbennya tanpa Alarik.

Keduanya juga nggak berjalan beriringan seperti biasa. Kion melebur di sisi kiri, sementara Leo di sisi kanan dining hall. Karena lagi bosan, aku jadi memerhatikan gerak-gerik mereka dan untuk seperkian detik, mataku menangkap Kion yang menaruh amplop surat mungil warna emas atau kuning aku nggak bisa lihat jelas, ke dalam tas maba yang terbuka dengan sangat halus kayak maling.

Waktu aku mengganti perhatian ke Leo, cowok itu ternyata sedang melakukan hal yang sama. Ia memasukkan amplop surat di tangannya ke tas seorang maba cewek yang lagi sibuk ngorbol sama teman-temannya sampai nggak sadar kalau seseorang baru saja memasukkan benda asing ke tasnya.

Kion dan Leo mengulangi praktik mencurigakan tersebut ke beberapa maba, lalu menghilang entah ke mana. Mereka ngapain, sih? Pingin bikin ulah lagi, seperti zaman SMA dulu?

"Lagi lihatin apa, Athina?"

"Aaaa! Rik, ya ampun, maaf!" Aku memutar tubuhku tiba-tiba karena kaget pundakku ditepuk dari belakang dan nggak sengaja menumpahkan minumanku ke kaus putih Superdry-nya Alarik. "Rik.... Ih lo sih pakai ngagetin!" Aku mengeluarkan tisu dari dalam tas. Berusaha mengelap noda warna oranye yang sudah mulai menyerap di kausnya. "Duh, udah nyerap lagi. Gue bawa baju adik gue kok di mobil. Gue ambilin, ya."

"Hahaha, santai aja, lagi, Thin. Salah gue juga kok karena bikin lo kaget." Alarik mengambil tisu di tanganku, mencoba membersihkan nodanya sendiri. "Ah, yaudah, lah. Dicuci juga pasti hilang."

Farewell, Neverland! [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang