Athina
Tristan meminta maaf ke Papa dengan caranya sendiri, yaitu dengan nggak menyusahkan Papa (juga kami semua) pagi ini.
Saat Mbok Sum menghidangkan telur orak-arik dengan vegetable saute dan irisan alpukat untuk sarapan, Tristan nggak protes seperti biasa dan menghabiskan sarapannya meski dengan wajah tersiksa.
Sebelum naik ke mobil, Tristan pamitan sama gue, Opa, dan... yah, nggak salam sama Papa sih, tapi hanya memberikan anggukan samar sebelum cabut ke sekolah diantar Pak Kus.
Mickey mengelap meja dining hall dengan tisu basah punyaku dan menaruh kotak makanku yang ia bawakan di atas meja. Satu tangannya mencomot risol rogut yang dari kotak makanku.
"Risol ini beli di mana, Tin? Enak, deh. Kulitnya tipis tapi isinya banyak." Mickey menunjukkan isinya. "Gue suka banget tipe risol kayak gini. Beli lagi, Tin!"
"Tristan tuh yang beli. Kemarin dia beli jajanan buat serumah banyak banget, jadi gue bawa aja buat bekel."
"Eh, gue jadi inget. Di deket sini ada kafe ala Jepang yang baru buka. Mereka jual dessert yang temanya peach semua. Habis kelas ke sana, yuk!" Mickey menggerakan tangannya di depan wajahku. "Lo lihatin apaan? Sampai bengong gitu."
"Abang tirinya Tristan pulang."
Aku menunjuk seseorang di belakang punggung Mickey. Di lorong dining hall, Alarik Chandra sedang berjalan dengan tangan dimasukkan ke dalam kantung celana, diapit oleh dua kroconya yang sudah me njadi minion-nya dari zaman SMA di Preston, si kembar Leo dan Kion. Alarik mengajak tos semua orang yang menyambut kepulangannya setelah dua semester mengikuti program pertukaran pelajar dari Preston untuk belajar di London.
"Tebar pesonanya itu, loh. Geli banget."
"Maksud lo si Jet?"
"Lo manggil Alarik dengan Jet?"
"Memang nama dia Jet, kan? Alarik Jet?"
"Jet itu nickname Alarik dari SMA, karena ke mana pun Alarik pergi, pasti ada suara ngueeeenggg gitu kayak pesawat jet."
"Hah, gimana, gimana, Tin?"
"Duh, intinya ke mana pun dia pergi, dia pasti bikin heboh, Mik. Kayak ada pesawat jet tempur lewat di depan rumah lo. Kira-kira gitu analoginya. Lo tahu nggak, dia pernah hampir ngebakar labolatorium pas grade 10, nabrak pohon di taman sekolah pakai mobil barunya, dan nyulik anak grade 10 buat ikutan study tour trip anak grade 12 ke Paris. Cocok deh itu orang jadi abang tiri adik gue."
Dan persis kayak Tristan, demi mencegah agar anaknya nggak dikeluarin dari sekolah, bapaknya Alarik, yang merupakan pemilik lawfirm paling terkemuka di Indonesia, sekaligus pemilik sebuah klub golf mewah di Jakarta Pusat, membangun gimnasium di Preston atas nama keluarganya.
"Eh, soal yang tadi. Habis ngampus mau nongkrong, nggak?"
"Mau ikut dong, Mike." Alarik menepuk pundak Micky dari belakang dan menarik kursi untuk duduk di sebelahku. Wangi choco mint yang segar dan manis dari tubuhnya menyapa hidungku. Si kembar Kion dan Leo menarik kursi dari meja sebelah untuk ikutan duduk di meja kami. "Apa kabar lo? Udah naik pangkat belum jadi cowoknya Athena?"
"Athina," koreksiku. "Already planning to paint the school red, Rik?"
"Kok, lo tahu gue banget, Thin? Iya, dong. Makanya gue nyamperin lo. Gue pingin nanya soal kabar adik lo. Tahun depan, dia bakal masuk Preston kayak lo, kan? Gue butuh bantuan dia nih buat bikin hari-hari anak Preston lebih berwarna. Terutama lo." Alarik memiringkan kepalanya dan menumpu dagunya untuk melihatku lekat-lekat, bibirnya yang tersenyum jelas memberitahu kalau cowok itu punya niat buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Farewell, Neverland! [SEGERA TERBIT]
Fiksi RemajaMeskipun adik-kakak, Tristan dan Athina memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Tristan, dengan sifat childish-nya, senang membuat kekacauan, sementara Athina menjadi satu-satunya figur ibu untuk Tristan setelah Mama meninggalkan mereka waktu kec...