One Second Kiss, Next Second Hiss

73 5 9
                                    

Tristan

Wajah Kafka seperti orang yang dipaksa menonton film yang sama sebanyak 100 kali waktu gue cerita kalau gue resmi jadian sama Lexie kemarin. Cowok itu bergumam, "Tuh kan...." dan melempar konsol Xbox-nya ke atas meja di pool house-nya. "Lo kan paling gatel kalau ketemu cewek nganggur yang suka sama lo. Lo suka sama perhatian dan diurusin sama mereka. Dasar cowok gampangan."

Kafka menenggelamkan punggungnya ke sofanya yang empuk. "Gue menyayangkan sih pas nanti lo putus sama Lexie, gue pasti jadi ikutan nggak bisa nongkrong sama dia lagi. Padahal gue suka temanan sama dia."

"Yaelah, Kaf. Gue jadian aja baru kemarin, kok lo udah ngomongin putus aja?!"

"Karena ini film lama dan gue udah tahu ending-nya kayak apa." Kafka merapatkan bathrobe Versace hitamnya. "Korban-korban grade 10 lo itu masih bocah, mereka cuma bisa nangis pas lo putusin. Lexie itu udah gede. Dia bisa ngelawan lo balik dan bikin lo bener-bener nyesel kalau lo main-main sama dia."

"Nah, karena lo udah kenal banget sama gue, berarti lo juga tahu kalau kali ini hubungan gue itu beda dari yang kemarin."

Kafka entah menahan ketawa atau muntah. "Hmph! Yeah, let's see, Tan. Kalau ending-nya sama kayak kemarin-kemarin, lo harus bugil di lapangan."

Gue mengajaknya berjabat tangan, memberitahu kalau gue nggak takut sama tantangannya. Gini, soal hubungan gue dan Lexie mau dibawa ke mana, memang harus dipikirin sekarang? Happy-happy dulu saja, lah. Memang apa hal buruk yang bisa terjadi kalau gue pingin menikmati hubungan gue sama Lexie sekarang dan soal ujungnya bagaimana lihat nanti saja?

Lexie happy saja tuh pacaran sama gue. Opa dan Bokap juga ikutan happy. Soalnya semenjak pacaran sama Lexie, gue jadi mengikuti jadwalnya. Cewek itu nggak bisa diajak kelayapan tiap habis pulang sekolah karena harus belajar dan bekerja, jadi biasanya ia ingin langsung pulang.

Alhasil gue pun ikutan pulang habis mengantarnya ke rumah. Artinya, jam 5 sore gue sudah ada di rumah. Kalaupun gue malas langsung pulang, paling gue nongkrong sama Opa di klub, supaya gue bisa sambil belajar atau teleponan sama Lexie, yang mana sama-sama bikin bokap tenang karena yang penting, gue jauh dari masalah.

Akhir pekan juga begitu. Lexie nggak suka clubbing atau party, jadi kami lebih sering menghabiskan akhir pekan bersama dengan berburu kuliner yang lagi hits, main di playground untuk orang dewasa, atau yang paling gue suka adalah waktu Lexie ngajak buat ikutan kelas-kelas workshop. Workshop bikin parfum, tufting, mendekorasi kue, sampai bikin lilin segala. Kenapa dari dulu gue nggak pernah kepikiran untuk nyoba ikut workshop, ya? Ternyata seru banget mempelajari skill-skill baru kayak gini.

Puncaknya, waktu gue sudah sampai di rumah dari jam 5 sore dan menghabiskan broccoli cheese bake, yang jadi salah satu menu makan malam di rumah. Jadi waktu lagi makan malam di rumahnya Lexie, nyokapnya bikin broccoli cheese bake dan memberikan gue sepotong sebelum gue sempat menolaknya. Nggak enak kalau nggak gue habisin, gue mencobanya sedikit dan ternyata rasanya nggak seburuk itu juga.

Lexie menyuruh gue untuk memberikan resep broccoli cheese bake ini ke Mbok Sum supaya ia bisa membuatkannya di rumah.

Farewell, Neverland! [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang