Bonus Chapter: My Grandpa Only Breaks His Favorite Sons

64 8 2
                                    

Tristan

"Hasil medical check up Opa baru keluar dan Opa harus pasang ring di jantung Opa."

Tangan gue, Tina, dan bokap berhenti di udara. Nggak ada yang lanjut menyuap makan malamnya. Kami bertiga serentak menoleh ke Opa yang baru saja menjatuhkan bom sesantai bertanya weekend ini kita mau jalan-jalan ke mana?

"Opa.... sakit?" Tina yang pertama kali punya tenaga untuk bertanya. Tangannya menyentuh tangan Opa, memintanya untuk menjawab.

"Dokter bilang ada penyumbatan di arteri Opa, Sayang. Jadi, sebaiknya Opa cepat-cepat pasang ring. Opa akan operasi minggu depan."

"Kenapa saya baru tahu sekarang?" Bokap yang mengurus semua administrasi asuransi kesehatan di rumah, jadi harusnya bokap orang pertama yang tahu soal kondisi kesehatan Opa juga agenda operasinya minggu depan. "Harusnya Papa telepon saya soal ini. Biar saya yang urus semuanya."

"Semuanya udah rapi, Nat. Pokoknya kamu, Tina, sama Tristan...." Opa menepuk tangan gue yang terkulas lemas di sebelah piring. "Tenang aja, ya. Bukan operasi besar, kok. Ayo, dihabisin makanannya."

"Tenang aja gimana sih, Opa? Penyumbatan di arteri itu maksudnya gimana? Penyebabnya apa? Ring-nya itu kayak gimana? Efeknya gimana? Kan, kita harus tahu!" Nyawa gue kayak dicabut setelah mendengar cerita Opa ternyata punya penyakit jantung. Opa kan gaya hidupnya sehat, makan juga selalu dijaga sama Tina, terus kenapa tiba-tiba dia butuh memakai ring? Opa salah apa? Kenapa Opa gue yang harus sakit? "Prosedurnya kayak gimana? Opa butuh persiapan apa?"

"Iya, nanti Opa cerita sama Tristan, ya. Sekarang kamu habisin dulu makanan kamu, Sayang." Opa mengangguk kecil ke arah bokap. "Papa perlu ngobrol berdua sama kamu, Nat."

"Kok, berdua doang? Aku ikut juga!" Sahabatnya Opa di rumah ini kan gue! Gue orang yang paling dekat dan mengenal Opa. Gue harus ikut juga mendengarkan entah apa yang Opa ingin bicarakan ke bokap. "Opa mau ngomongin apa sama Papa? Tentang sakitnya Opa, kan? Opa sebenarnya sakit parah, kan? Opa, kok nggak cerita sama aku? Opa selalu cerita sama aku!"

"Iya, nanti ya, Sayang. Opa harus meeting sama Papa dulu."

"Aku mau ikut jugaaa!"

"Jangan bikin Opa jadi repot gara-gara kamu ngambek. Kalau Opa bilang nanti berarti nanti!" Bokap tiba-tiba menggertak. Opa menegur anaknya karena merespons rengekan gue terlalu kasar, tapi bokap nggak mengindahkan. "Nggak semua hal di rumah ini harus ngikutin maunya kamu! Paham kamu?"

"Nggak paham!"

"Tristan....." Opa menepuk-nepuk tangan gue lagi. "Nanti ya, Nak? Papa dulu, habis itu Tristan. Opa janji, ya?"

Tina menendang kaki gue di bawah meja, menyuruh gue untuk mengangguk. Kakak gue menjewer telinga gue yang menguping di balik pintu ruang kerja bokap dan menyuruh adiknya untuk mulai browsing-browsing tentang penyakit Opa supaya kami bisa mempersiapkan apa saja yang Opa butuhkan. Opa dan bokap ngobrol lama banget hingga gue memutuskan untuk tidur duluan dan berniat mengajaknya ngobrol besok.

Tapi hari-hari selanjutnya diisi oleh agenda yang sama. Opa sibuk banget meeting sama bokap dan nggak mengizinkan gue untuk ikutan. Yang ia izinkan untuk bergabung ke acara meeting rahasianya malah Om Chris, pengacaranya Opa. Ngapain, sih? Memang Opa mau dipenjara sampai bawa-bawa pengacara segala?

"Opa udah selesai meeting-nya?" Gue menunggu Opa meeting bareng bokap dan Om Chris di ruang tamu. Ketiga laki-laki itu nggak bisa diganggu sejak sore tadi dan Opa baru keluar dari ruang kerja bokap jam delapan malam. "Opa belum makan malam, kan? Mau aku panasin nggak makanan Opa?"

"Nanti aja, Nak. Opa mau lanjut meeting lagi sama Papa." Opa ternyata keluar untuk mengambil berkas-berkas di kamarnya. Beliau meminta Mbok Sum untuk membuatkan kopi buat bokap dan Om Chris. Opa melirik gue yang mengintilinya lalu menyuruh cucunya untuk duduk di kursi meja makan di sebelahnya. "Kenapa, Sayang?"

Farewell, Neverland! [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang