03. Hujan nih, minum es yuk?

8 2 0
                                    

HAPPY READINGG!!~

HAPPY READINGG!!~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan, lagi. Akhir-akhir ini hujan sering turun, menyebabkan bentala menjadi basah karena siramannya. Apakah awan sedang bersedih?. Kira-kira apa, ya, yang membuatnya jadi menangis terus?.

Langkah kaki seorang gadis tak terhenti meski gerimis menjadi semakin lebat. Di tangannya, ada sebuah buku yang terbungkus rapi dengan plastiknya. Sepulang sekolah tadi, ia sengaja mampir ke toko buku untuk membeli stok bacaan baru.

Tak seperti biasanya, gadis itu memilih untuk pulang dengan berjalan kaki. Ia bahkan menolak dengan tegas saat supirnya memohon agar ia pulang dengan menaiki mobil. Masalahnya, kalau gadis ini sampai sakit, supir sekaligus bodyguard nya itu pasti akan mendapat pemotongan gaji.

Vahen berjalan dengan santai, seolah menikmati sejuknya air dan udara yang menerpa kulitnya secara langsung. Hijab dan seragam sekolahnya sudah hampir basah sepenuhnya. Namun, tetap saja ia melangkah tanpa khawatir di atas trotoar. Gadis langka dari mana sih dia ini?.

Dari kejauhan, sebuah mobil Mercedez-Benz GLC melaju di jalan. Namun, mobil itu berhenti tepat di samping Vahen. Membuat Vahen sendiri bingung dan mengerutkan alisnya. Langkahnya ikut terhenti.

Kaca mobil tersebut diturunkan. Menampakkan Arin yang tengah duduk di kursi penumpang di belakang supir, eh, bukannya itu Papa nya?. Tapi, kenapa Arin duduk di belakang?. Seolah menjadikan Bapaknya sendiri sebagai supir.

Arin tersenyum lebar. "Hujan nih, minum es yuk?" Ajaknya pada Vahen sambil bergeser ke samping, mempersilahkan Vahen untuk masuk ke dalam mobil. Yang di ajak hanya menghela napas dan ikut masuk ke dalam mobil mewah Bapak Arin itu.

"Gas!" Tutur Vahen tiba-tiba bersemangat.

Tadinya, Arin pikir dia akan menolak karena hari ini dingin. Eh, ternyata Vahen malah jadi yang paling bersemangat.

"Jalan, Pa." Ucap Arin santai.

Tega memang, bisa-bisanya dia memperlakukan Papanya seperti supir. Tapi, itu sebenarnya hanya bentuk keakrabannya dengan Papanya sendiri. Karena dari yang Vahen tahu, Papa Arin memang sering meneror anaknya dengan beribu pertanyaan. Makanya, Arin jadi malas duduk di sebelahnya.

"Sabar ya, om. Saya paham perasaan Om gimana." Ucap Vahen agak dramatis. Papa Arin pun merespon dengan cara yang sama.

"Makasih ya, En. Akhirnya ada juga yang paham perasaan Om." Jawab Papa Arin, Edgar, dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat. Ah, mungkin Arin keturunan Bapaknya, yang kadang suka bersikap lebay.

Vahen mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tampang 'si paling paham'. Tak lupa dengan tangan terletak di dadanya seolah memberi gestur sabar. Mata Arin berkedut melihatnya. Entah bagaimana Vahen dan Papanya bisa jadi sefrekuensi begitu.

Mobil itu kembali melaju di atas jalan menuju ke sebuah café. Fowlen Café, sebuah tempat nongkrong yang dikelola keluarga Arin. Tempat ini menjadi favorit para anak muda yang hobi nongkrong, termasuk anggota geng THE ALPHAS yang berasal dari Camellia School.

In Love With THE ALPHAS Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang