Brandon's POV
"Beres dari BK dapet item baru?"
Rupanya earbuds yang kulambungkan rendah di tangan lebih menarik daripada surat skorsing. Paper cup berisi latte titipanku disodorkan. Matanya tak lepas dari benda kecil berwarna putih itu.
Noticing small details. Such a Yohan-thing.
"Iya baru."
"Satu doang? Biasanya lo demen yang wired."
"Found it interesting, so I got one."
"You don't buy stuff for the sake of interest. And you've always preferred black to white, now what happened to the black one? It's far more interesting that all of 'em get sold? The seller didn't spare anything for you? Really?" Lalu dia menambahkan sendiri. "I didn't mean it racially."
Memang dasar pebisnis licin. Ocehannya cerdik, mengenyangkan ego, dan menghibur.
"So bitter. 'The seller didn't spare anything', what the hell was that even mean? Who do you think I am that I deserve such privilege? Anak pejabat?"
Inside jokes. Kalau didengar orang lain, aku akan dianggap anak walikota belagu.
Yohan memutar bola matanya malas. "Oh, fuck off."
Kami tertawa. Awal yang menghibur untuk minum latte.
Dia Yohannes Pratama. Anak tunggal dari pasangan pebisnis interior dan sosialita. Teman sekamarku sejak tahun pertama, bisa satu kamar dua tahun berturut-turut hasil negosiasi alot dengan kepala asrama. Alasanku ngeyel untuk tidak ganti roommate sampai hampir mengaku-ngaku gay di depan staf keasramaan sesederhana apapun soal Yohan sangat mudah ditolerir. Tidak jorok, tidak berisik, tidak terlibat skandal, bukan anak politisi, dan bukan anggota DS. Tambahkan dengan Brandon Wiratama yang tenar tapi malas berkenalan dengan orang-orang baru, and we made perfect partnership as we good at tolerating each other. Sempurna.
And by the way, I look attractive in front of girls because I'm good at flirting, not socializing.
Perlahan suasana berangsur senyap. Diikuti keramaian yang makin surut, lampu di atas podium menyala dengan dramatis. Reinanta berdiri di sana dengan percaya diri. Pandangan matanya menjangkau seluruh audiens. Roman wajahnya terlihat kaku dan awas.
"Ini pelantikan apa, sih, Yo?"
"Ketua DS baru."
Reinanta? Yang baru dapat SP 1 beberapa menit lalu ini ketua DS baru?
"Bianka lengser?"
"Bukan. Kekosongan jabatan, dia keluar dari sekolah. Jangan tanya kenapa, satu sekolah nggak ada yang tau."
Baik. Understandable. Mempertimbangkan fakta bahwa tidak ada yang tahu kenapa Bianka mengundurkan diri dari sekolah, kupikir dilantik dadakan menjadi ketua Dewan Siswa pasti membuatnya gugup dan defensif.
Cukup defensif sampai dia perlu bantuan orang lain untuk membaca pidatonya.
Meski dikenal nakal, aku berani jamin menguping bukan hobiku. Ini tidak sengaja. Daripada ambil risiko earbuds-nya jatuh, aku memasangnya kembali. Bahwa akhirnya aku memergoki ada seseorang di belakang panggung yang sedang membantunya membacakan pidato, itu bukan bagian dari rencana.
"Rei, aman, ya? Udah lo mute, kan? Tarik napas. Take 10 seconds to prepare, tunggu sampai semua orang diem."
Suara laki-laki. Lumayan asing. Di periode di mana orang berlomba-lomba membuktikan kesetaraan gender ini (termasuk pentolan Dewan Siswa, tentu saja), siapa petinggi DS yang laki-laki?
"Pejabatnya DS bukannya pada matriarkal?"
"Most of them are feminist, yes, tapi kalau matriarkal gue rasa masih jauh. Wakil bendahara yang baru kalo nggak salah cowok juga, kok." Yohan menimpal.
Aku tidak tahu bedanya. Gender issues aren't really my thing. "Juga? Emang yang dari awal di BPH siapa?"
"Anak kamar sebelah, posisinya sekarang wakil ketua. Sempet kok jagain hukuman lo sekali. Yang lo bilang kompromi soalnya dia ikut turun tangan bantuin lo beresin lapangan basket."
"Kamar sebelah? Raka? Ngaco, lo." Aku gagal mengingat siswa DS mana yang menjaga salah satu hukumanku dan ikut turun tangan. Ini sudah tahun keduaku di sini dan pada periode sebelumnya justru penjaga hukumanku kebanyakan siswa laki-laki.
And Raka? Denraka Ganendra? No way. That dude was a literal beast, you can't tell me he's part of the strictest community organization in this school.
Yohan mendengus sarkastik. "Bukan, lah, gila. Temen satunya lagi. Axel."
So this guy whose voice I'm currently listening to is Axel. Interesting.
"Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua, om swastyastu, namo buddhaya, dan salam kebajikan. Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah berpartisipasi dalam..."
Lama-lama posisi dudukku mulai merosot. Bukan karena Reinanta tidak mengesankan. Sebaliknya, kupikir dia luar biasa karena mengumandangkan pidatonya dengan baik. Terlalu baik sampai tidak terlihat bahwa orang lain membantunya dari jauh.
Bosan, aku melepas earbuds dan menekan tombol di sana beberapa lama, membalutnya dengan sapu tangan bersih, baru menyimpannya baik-baik di dalam saku jas seragam. Setelah ini selesai, aku hanya perlu mengembalikannya dan memuji potongan rambutnya. Miliknya terlihat jauh lebih...
Unik.
Tawaku hampir lepas sebelum refleks mengatupkan bibir rapat-rapat. Segalanya berjalan seperti biasa sampai beberapa saat kemudian orang-orang mulai berbisik. Reinanta diam di tengah-tengah pidato.
Lalu melirikku.
Sialan.
"Yo."
"Hm?"
Aku mengeluarkan benda itu kembali dan menyerahkannya. "Kalo earbuds ginian dipencet tombolnya terus mati, yang mati cuma yang ini, kan?"
"Lo nggak baca manualnya?" Aku baru ingat pembicaraan tadi tidak selesai dan dia belum tahu ini bukan punyaku. Yohan menekurinya sampai memiringkan kepala. "Depends on the brand. And the types, of course. Tergantung lo matiin tombol yang di kanan atau di kiri juga. Gue nggak familiar sama yang ini, sih."
Reinanta sudah melanjutkan pidatonya lagi dengan intonasi lebih rendah, ragu.
"Kalau ikut yang lo tau, bedanya yang kiri sama kanan apaan?"
"Kalau kiri ya kiri doang yang mati, kalau kanan biasanya dua-duanya."
"Terus yang lo pegang kiri apa kanan?"
Kini Yohan menoleh sepenuhnya, mengernyit.
Oh I hate that face.
"Buta lo? Ini ada tulisannya R. Right. Yang kanan, lah. Mati dua-duanya kalo lo klik yang ini."
Hahaha.
Crap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
General FictionSelain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur di organisasiku- lalu di sudut-sudut lain ada penerus tunggal perusahaan pangan...