Reinanta's POV
Mempertimbangkan kebajikan Saharsa Triadi yang sudah berusaha menyelamatkanku di meja makan tadi, aku membalas budinya dengan ikut ke tempatnya kursus memasak.
Tapi sudah berbuat baik begini pun, dia tetap mengusikku.
"Mikirin apa, sih?"
Memikirkan apa saja yang terjadi dalam tiga jam belakangan ini. Suap, penyelidikan ilegal yang kemungkinan besar akan kujalankan, menebak-nebak pelaku dan korban kasus di Segara...
Tahu-tahu pikiranku melayang pada lenyapnya Bianka.
Aku menjawab setelah beberapa detik tanpa meliriknya, mengetuk-ngetuk pelipisku sambil bersandar pada kaca mobil. "Kalkulasi dosa Papa."
"Oh, lo udahan nih berkarir jadi SJW? Sekarang alih profesi jadi malaikat?"
"Brengsek lo, Bang."
"Giliran manggil gue Bang, awalannya nyumpah."
"Harsa!"
"Abang-nya mana?!"
"Ah, gila hormat."
"Kepala batu."
"Klemar-klemer."
"Jomblo."
"Pengangguran."
"Eh, ngaco. Freelancer!"
Tawaku meledak mendapatinya tidak membalas lagi, Harsa sibuk melindungi image-nya sendiri dengan menjelaskan perbedaan antara istilah "pengangguran" dan "freelancer". Kami masih sibuk berdebat tentang itu sampai tiba di pintu tol berikutnya.
"Terus, soal tawaran Papa tadi, lo udah tahu siapa pelaku dan korbannya?"
"Belum. Papa bilang data kasusnya mau dikirim sore ini," perutku sakit membayangkan notifikasi Papa yang bisa muncul kapan saja dalam beberapa jam ke depan, "tapi feeling gue nggak enak."
"Bianka, ya?"
Lidahku kelu seketika. Aku tidak mau membayangkan temanku sendiri menjadi korban perbuatan biadab yang setiap hari kulawan lewat media sosial, tapi jarak waktu antara pengunduran dirinya dari sekolah, pelantikanku, dan komando dadakan dari Papa terlalu dekat.
Harsa berhenti mengatakan apapun setelah mendapatiku larut dalam pikiran sendiri. Di tengah keheningan itu tiba-tiba dia menyalakan radio, memutar lagu PRETTYMUCH dari playlist milikku.
Tipikal dirinya, pengertian dan tidak ingin merusak suasana.
Senandungnya samar-samar melatari perjalanan kami bersamaan dengan musik yang diputar.
Bahasa Inggris-nya mengerikan.
***
Brandon's POV
Salah perhitungan. I should've skipped this class.
Chef Lucia mendemonstrasikan perbedaan gemelli dan fusilli dengan penuh semangat. Bahasa Indonesia-nya yang memang sejak awal berantakan jadi semakin tidak tertangkap oleh telingaku. Fokusku teralihkan dengan notifikasi dari aplikasi portal berita di layar ponsel, spaced out.
Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku.
Dia ikut mencondongkan badan, ingin tahu apa yang kubuka di ponsel. Senyumku muncul melihat sosoknya. "Loh, Bang!"
Bang Harsa. Alumni Segara, satu angkatan dengan Evan. Dia peserta kelas memasak ini juga, tapi lebih sering tidak hadir. Sibuk, konon.
"Bosen amat lo gue liat-liat." timpalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
General FictionSelain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur di organisasiku- lalu di sudut-sudut lain ada penerus tunggal perusahaan pangan...