Brandon's POV
The second thing I like the most after my kitchen is a hot girl.
Hot-blooded girl, to be precise.
Aku lupa namanya. Tiara? Tara? Entahlah. She passed my examination: won't cause any harm for my father's reputation, so she got what she want, which, in this case, is a kiss.
That "she grabbed my collar while tiptoe-ing and pin me to the door", was completely out of my imagination.
Dia datang padaku di UKS dengan maskara luntur, habis menangis. Tubuhnya lunglai dalam rengkuhanku begitu bibirnya merangkum bibirku, meski tadinya dia sendiri yang buru-buru. Habis putus? Daddy issues? Just depressed in general?
I don't really like emotional affair when it comes to having fun like this, but since shes's a junior whose Mom helped my Dad a few times in the past, I can tolerate.
Aku hampir menertawakan diriku sendiri karena kehidupan romansaku sebagai filantropis jadi berantakan setelah putus dari Bianka. There are plenty before her, each fun after the other, and apparently it only took me four months with her to be completely on my knees. Setelah putus dari dia, tiba-tiba aku kehilangan selera untuk tebar pesona, tiba-tiba aku mencarinya di sosok lain yang sama sekali berbeda hanya karena wangi parfumnya, tiba-tiba sesi menyenangkan dengan perempuan yang berhubungan denganku berubah menjadi sesi terapi.
Si manis yang maskaranya luntur itu menarik-narik pelan ujung kemejaku, lalu menjeling ke arah ranjang UKS.
"That's not the deal, Tiara..."
"Tara," protesnya. Aku terkekeh canggung, menarik kursi di dekat kami dan mendudukkannya di sana. Sad girls need some tender treatments. Setelah dia duduk dengan tenang, aku berjongkok di hadapannya, meraih kedua tangannya dengan lembut. Ini juga penting. Memposisikan diri lebih rendah dari yang sedang bersedih efektif membuat orang merasa diperhatikan dan didengarkan. Works all the time, even to my ex girlfriend.
Mungkin lain kali bisa kucoba untuk Nana.
Aku hampir yakin aku sudah menaklukkan Tara ketika jemarinya bertaut dengan milikku dan tangisannya samar-samar berhenti, tapi dia justru menunduk dan membenturkan dahinya denganku. Sebelum dia mengatakan apapun, kini aku yang menemukan bibirnya lebih dulu. This girl is desperate for physical affection, and my hormone starts to do its thing.
Tapi tidak bisa begini. Dia tidak tahu "syarat dan ketentuan"-ku untuk pindah ke ranjang, dan aku tidak sedang dalam suasana hati yang bagus untuk menjelaskannya.
Dia baru saja merosot dari kursi yang tadi, jatuh ke pelukanku sedangkan aku setengah bersandar di kaki ranjang UKS. Napasnya bertiup lembut di wajahku. Aku mulai sesak.
Lalu pintu UKS dibuka paksa.
"Fuck, Brandon!"
Yohan. Rautnya panik. Dia menyeka rambutnya dengan frustasi, berbalik begitu melihat hal yang tidak seharusnya dia lihat. Aku melepaskan Tara perlahan, membiarkannya yang masih setengah mabuk dengan momen tadi lunglai tanpa tenaga di dadaku.
"Apa? Tiba-tiba banget. Dicariin guru?"
"Mana ada guru yang mau repot-repot ngurusin intimate time lo, sih?!"
Sialan. Benar. Tapi sialan.
"Terus?"
"Polisi. Dibiarin masuk sama satpam karena nyamar jadi saudara lo dan somehow punya KTP-nya. Udah di kamar asrama. Gue yang dipanggil karena lo nggak di kelas dan nggak di kamar. Buruan balik biar urusan lo cepet kelar."
Aku terperangah. Tara sudah melepaskan dirinya dari rengkuhanku, sekarang duduk di sebelahku, menatap bingung. Polisi? Sekarang?
"Eh, Bangke, buruan!"
"Ada orang media nggak?"
"Banyak, tapi–"
"Gila, lo! Mana bisa gue keluar sekarang."
"Pers-nya nggak peduli sama lo, Anjing! Mereka pada di kamar sebelah! Makanya mumpung fokusnya nggak ke lo, balik sama gue. Kelamaan dikit lo bisa dianggap nggak kooperatif."
Kamar sebelah? Raka? Walaupun kalut karena seorang polisi sampai repot-repot menyamar demi menjemputku, aku sempat terdistraksi. "Raka? Nyabu lagi?"
"Bukan. SA. Lo kenapa salah fokus sih, Babi!? Buruan!"
Yohan menggeretku berdiri, mengatakan entah apa ke Tara yang akhirnya membuat perempuan itu ikut pergi ke arah berlawanan dari kami. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Tembok merah bata koridor dari UKS sampai ke luar pintu gedung sekolah terasa seperti gambar berjalan. Something is really, really wrong.
Aku jelas-jelas tidak pernah melakukan pelanggaran perdata apalagi pidana. Aku benci politik dan apapun soal perkejaan Papa, bukannya bodoh. Cara paling efektif untuk tidak kehilangan privilese dari jabatan Papa adalah dengan menjaga citranya, dan aku terlalu serakah untuk kehilangan privilese itu hanya dengan menggantinya dengan pelanggaran hukum yang tidak juga membuatku merasa lebih baik. Jejak digitalku bersih. Kalau ditarik ke belakang pun aku tidak pernah menyentuh hal-hal yang sifatnya melanggar hukum, not even violating traffic rules. Proses pembuaatan SIM-ku bersih tanpa gratifikasi.
Penangkapan Raka juga janggal. Media tidak sempat mengendus waktu Raka digeret kepolisian untuk diperiksa terkait dugaan penggunaaan bahan narkotika dan sejenisnya, padahal itu isu besar. Sekarang urusannya SA. Sexual assault. Pelecehan seksual. Di negara di mana penegak hukumnya seringkali merangkap pelanggar dan masyarakatnya nyaris tidak punya kesadaran terkait "apa yang salah dengan bentuk pelecehan tertentu", isu pelecehan seksual adalah rock bottom issue. Kasus-kasus pelecehan seksual selalu menghancurkan hidup korban, tapi nyatanya di media memang tidak terlalu menjual. Media pragmatis, yang merupakan jenis media mayoritas di Indonesia, tidak bisa menyajikan suatu isu ke hadapan masyarakat yang tidak punya kapasitas untuk memahami isu tersebut karena hal ini tidak memberikan untung balik. Hampir tidak ada untungnya media menyorot anak dari seorang anggota legislatif yang tersandung isu pelecehan seksual karena sudahlah orangtuanya bukan figur dengan popularitas menjanjikan di masyarakat, isunya pun bukan tipe yang akan membuat masyarakat heboh.
Kecuali, kecuali, korbannya orang yang lebih penting.
Or I'm missing something out on the backstage. Kalau media berhasil merangsek masuk ke Segara, yang tentunya atas izin dewan guru dan eksekutif sekolah, besar kemungkinan ada figur yang ingin dirusak citranya.
Di lingkungan Segara, orang-orang yang berkaitan dengan kasus serupa ini memang cenderung dikucilkan, tapi dengan catatan bahwa meskipun kami semua sama-sama tahu bahwa masyarakat masih terlalu apologetic, kami tidak mau ikut mengotori nama karena masih ada kemungkinan eksposur dari media internasional.
Lagipula mengapa kami diseret di waktu bersamaan?
Tiba-tiba aku sudah sampai di kamar. Yohan menutup pintu. Kami berdua menatap pria paruh baya yang duduk di kursiku, sedang memandang lantai sambil memutar-mutar cincin di telunjuknya. Wajahnya sudah dirias sedemikian rupa sampai mirip dengan adik Papa, Om Ikram, tapi aku terlalu dekat dengan Om Ikram untuk tahu bahwa dia tidak pernah suka perhiasan, apalagi cincin.
Aku memicingkan mata ke arah cincin itu. Pendarnya familiar. Ketika wajahnya terangkat dan suaranya keluar memanggil namaku dengan parau, aku ingat.
Pria ini bukan polisi.
Dia anggota intelijen yang beberapa tahun lalu sempat bekerja pada Papa.
Masalahnya sekarang aku tidak tahu dia bekerja untuk siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
Ficción GeneralSelain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur di organisasiku- lalu di sudut-sudut lain ada penerus tunggal perusahaan pangan...