9 - the bait

14 4 0
                                    

Reinanta's POV

Dalam histori hidupku, ini pertama kalinya tatapan tajam Fildzah tidak mengintimidasiku sedikitpun.

"Kalem, Rei." Harsa dari seberang sana ikut gusar. Gaya bicaranya yang santai dan terdengar serba klemer-klemer sudah absen sejak panggilan tersambung. "Lo yakin soal yang lo kerjain tadi bukan fake chat?"

"Bang." Helai rambut di dahi kusisir ke belakang, tanganku diam di sana beberapa saat, frustasi. "Sign-nya terlalu banyak untuk dianggap kebetulan. Fake chat nggak mungkin se-spesifik itu. Gue hapal mati kucing di foto itu Tsar. Collar-nya dipesen Papanya dari Eropa sana, warnanya spesifik."

"And?" Harsa ikut ngotot. "Kalau itu emang screenshot bocor dan asalnya memang dari Brandon buat Bianka, terus lo mau apa? Lo bahkan nggak punya file-nya sekarang."

"Gue... gue bisa..." aku mulai menggigiti kuku, "gue bisa minta soalnya ke bagian kurikulum..."

"Karena lo punya sedikit otoritas sebagai ketua DS?"

Aku nyaris tersinggung kalau tidak ingat dia bicara begini bukan untuk melukai harga diriku. Harsa juga, tadinya, ketua DS. Dia lebih tahu soal kekuasaan untuk posisi ini.

"Rei, kita nggak datang dari orang-orang powerful sebagaimana mayoritas di Segara. Hate it all you want, but we're not part of them. Kalau lo minta soalnya ke kurikulum, terus, katakanlah lo beruntung ketemu guru yang memang mau bantu lo dan lo dapat file-nya, seberapa yakin lo bahwa lo satu-satunya orang yang punya file itu? Seberapa yakin lo bahwa itu bukan bagian dari manipulasi supaya lo bisa jadi pion war field mereka? Seberapa yakin lo bahwa guru baik yang lo temui di kurikulum dan mau kasih file-nya secara cuma-cuma itu bukan bayaran orang?"

Kukuku mengetuk-ngetuk pagar balkon, memasukkan tiap kalimat dari Harsa ke dalam kepala. Aku bisa merasakan Fildzah melirikku kesal dari dalam.

"Gue bisa pinjam uang lo nggak?"

Aku tahu akal sehatku sudah menguap karena terpikir untuk suap. Jalan pintas segala urusan.

"Gaji gue habis buat nyetok kacang kribo tiga kilo."

Obviously. What did I wish.

"Atau... atau gue bilang aja kalau ini bagian dari keprihatinan gue pribadi sebagai... sebagai orang yang dekat sama Bianka sekaligus..."

"Nggak. Nggak ada. Lo mau bawa-bawa identitas lo sebagai aktivis gender yang jelas-jelas lo jaga biar anonim itu? Terus kalau ternyata satu dari beberapa orang yang gondok gara-gara nggak satu pemahaman sama lo itu anak Segara, gimana? Terus, apalagi, soal "keprihatinan pribadi" itu, di samping gue yakin lo nggak akan mampu segitunya bohongin diri lo sendiri, lo juga tahu Segara nggak peduli sama concern lo yang tulus itu. Mereka yang sembunyiin alasan Bianka hilang dari sekolah at the first place. Gue nggak bilang Segara satu-satunya pihak kotor di sini, karena mana mungkin mereka tutup mulut buat keluarga Dharmadjie kalau bukan atas titah mereka sendiri. Gue cuma berusaha balikin akal sehat lo kalau lo terlalu jauh dari jalur invesitagasi yang semestinya, nggak seharusnya lo terdistraksi sama trap yang kita sama-sama nggak tahu bakal ngarahin lo ke bahaya level apa."

Aku bisa merasakan sensasi melilit di dalam perutku. Harsa benar. Semuanya benar. Dalam sebagian besar kasus, memang nyaris tidak ada yang bisa diharapkan ketika lembaga pendidikan tidak bisa dipercaya lagi. Tapi Segara bahkan bukan lembaga pendidikan.

Dan aku tidak akan mau repot-repot mencari tahu sampai sedalam ini kalau tidak ada jaminan masuk LCF, mempertimbangkan bahwa tokoh utama di dalam terariumku adalah keluarga Dharmadjie dan keluarga Wiratama.

Keprihatinan pribadi apanya.

Aku kembali masuk ke kamar setelah sambungan terputus. Tirai tipis yang menutupi pintu kaca antara kamar dan balkon segera kututup setengah, mengikuti preferensi Fildzah. Sebagai rekan kamar, kami memang tidak terlalu banyak bicara, tapi preferensi masing-masing sudah dinegosiasi sejak awal. Lampu tidur kuning tiap selesai belajar, tirai dibuka penuh ketika hujan dan dibuka setengah tiap terik, suhu AC, dan macam-macam lagi.

Fildzah sudah sibuk sendiri dengan tabletnya, membaca berita terkini dari portal berita internasional. Dia tidak menatap, tidak bertanya, tidak juga menggerutu, jadi kupikir aku tidak perlu menjelaskan panggilan berisik beberapa menit yang lalu. Kepalaku terlalu pening untuk menjelaskan apapun.

Aku baru mendudukkan diri di kasur ketika Fildzah mengucapkan sesuatu sambil menutup toples keripik singkongnya.

"Gue nggak sengaja denger isi telepon lo tadi."

"Nggak masalah." jawabku apa adanya. Kebanyakan inti percakapan tadi dikatakan Harsa, dan aku tidak menyalakan pengeras suara, jadi apapun yang bisa dia simpulkan hanya sebatas dari ucapanku.

Lalu seperti keajaiban dunia, Fildzah menginisiasi percakapan. Lagi.

"Lo dapet soal aneh tadi?"

"Iya."

"Mata pelajaran yang mana?"

"Antro."

"Kode soalnya?"

Aku mengernyit, tidak mengerti kenapa dia jadi ikut-ikutan tertarik.

"C, I think."

Dia mengangguk di kursi belajarnya, masih fokus membaca berita, nampak setengah peduli setengah tidak.

"Kode soal buat jurusan bahasa cuma A atau B, Reinanta. Disesuaikan dengan jumlah siswa di masing-masing jurusan. Nggak ada C."

Apa?

Segara OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang