Brandon's POV
Circles and circles I'm running
I know I won't get -drrt- too far
I'd be lying if I said that I didn't mind that -drrt- you left me scarred
Kutebak, perempuan di sebelahku ini habis putus cinta atau sedang bertengkar dengan pacarnya.
Aku mengintip sedikit dengan membuka mata kanan, ingin memastikan apa yang dia lakukan dengan ponselnya yang berulang kali bergetar karena notifikasi. Bukannya kesal, Reinanta justru terlihat cemas. Wajahnya berpaling ke kanan, ponselnya digeletakkan begitu saja di pangkuan. Sepatunya mengetuk-ngetuk di atas karpet, kukunya yang tidak terpoles digigit-gigit.
New thing. Biasanya perempuan tidak gigit-gigit kuku di hadapanku.
"Reinanta! Kamu ini mau pelantikan kok nggak bilang saya?"
Seruan Pak Hananto nyaris membuatku terlonjak. Mendadak dia datang dengan dua lembar kertas tebal berderak di atas meja, diletakkan asal-asalan. Tiba-tiba suasananya jadi tergesa-gesa.
Lalu, apa tadi? Pelantikan? Acara yang disebut Yohan di aula itu pelantikan? Pelantikan apa?
Yang dipanggil menoleh kaget, meringis. "Hehe, iya, Pak. Suratnya sudah?"
"Belum. Ini tinta stempel Bu Kepsek kebetulan habis, makanya saya bawa. Yang sudah jadi cuma punyanya Brandon."
Tertimpa sial dua kali pun dia masih cengar-cengir segan. Luar biasa, sikap politisi sejati.
"Kamu mau ditungguin Brandon aja biar ke aulanya sama-sama? Aduh, saya jadi nggak enak..."
"Nggak usah, Pak. Surat saya bisa diurus dulu aja, nanti biar saya ke aula sendiri."
Oh, aku diusir? Oke.
Sambil bersiul, aku beranjak dan meraih surat milikku. "Duluan, Pak." Lalu memamerkan perilaku niradab dengan memberikan pose see-you-later dengan merapatkan telunjuk dan jari tengah di dekat alis alih-alih cium tangan, dibalas Pak Hananto dengan I'm-watching-you sambil lalu.
That man doesn't hate me. Aku mungkin hanya bajingan kecil dari semua sudahlah-bajingan-bandit-pula yang harus dia hadapi sehari-sehari. SP 1 diserahkan padaku karena masalah chain necklace, SP 2 karena bolos satu minggu penuh (aku ada urusan penting waktu itu), SP 3 karena kepergok merokok di UKS (tidak ada orang sakit di sana, di Segara jarang ada orang demam atau meriang, kebanyakan sakit jiwa). Dan gondrong. Dengan warna electric blue mirip punya Reinanta tadi (hanya bagian ujungnya, aku juga ingat sekolah bukan tempat cosplay-dan itu kejadian bulan lalu, surat skorsing yang ini kudapatkan ketika warna ujung rambutku silver blonde). Semua pelanggaranku tadi dianggap minor. "Preman" Segara yang sesungguhnya terdiri dari bandar judi, distributor narkoba, dan sederet profesi kotor lain. "Mafia" yang sedikit lebih berkelas dan pintar biasanya mengambil profesi sambilan sebagai spy atau konsultan politik.
I'm not a bad guy. I'm just a fashionable good-looking brat and Segara refuses to deal with my charm.
Alright that was cringe.
Langkahku terhenti setelah sesuatu jatuh dan mendarat di atas sepatu brogue-ku. Earbuds. Aku lupa itu sempat ada di telingaku, Reinanta sudah mematikan musiknya beberapa saat yang lalu.
Namanya panjang juga. Reinanta. Biasanya dipanggil bagaimana? Dia tidak familier. Sepertinya bukan anak IPS.
Aku cukup punya harga diri untuk tidak melangkah kembali ke BK sambil menggenggam surat putusan skorsing, jadi kuputuskan menunggunya di dekat lift. Lagipula tujuan kami satu arah.
Belum juga satu menit menunggu, dia sudah datang dengan langkah lebar-lebar. Tatapan kami sempat bertemu, tapi dia tidak acuh sama sekali dan fokus memandang lurus. Meski canggung, akhirnya aku ikut saja di belakang. Aku bisa mendengar napasnya terengah-engah setelah masuk lift.
Bagian bodohnya adalah aku jadi bingung harus bilang apa untuk mengembalikan earbuds-nya.
Seusai turun di lantai empat pun kami masih sama-sama diam. Ada kesan kuat bahwa dia ingin berjalan lebih cepat dan menghindariku entah karena apa, sampai kemudian kami sampai di persimpangan lorong menuju aula. Ini memang lorong paling membingungkan seantero sekolah karena di sisi seberang sana terdapat lorong yang sama persis. Reinanta benar-benar berhenti, rambutnya diseka ke belakang, jelas-jelas kebingungan.
Aku tersengih. Looks like someone finally needs my help.
"Lo jarang ke BK ya? Ruang BK yang deket air mancur, bukan yang deket taman, jadi nyambungnya ke lift barat. Bagian panggung aula searah sama gerbang, jadi dari sini pintu backstage-nya lewat kiri."
Akhirnya dia berbalik. Matanya menyipit tidak percaya.
Maybe it's my fault that I don't look quite convincing to show direction.
"Gue baru bulan kemarin dapat SP 3. Kalau SP 3 baca di depan anak-anak, kan? Udah pernah lewat backstage gue..."
"Alright, alright. Oke, gue percaya. Thank you, Brandon."
Tahu-tahu dia melenggang pergi. Aku buru-buru mengejar demi menyerahkan earbuds di genggamanku. Mengingat dia berhasil mengabaikanku sepanjang jalan kemari, ternyata kepekaannya cukup bagus. Reinanta sempat menoleh sebelum menempelkan kartu pelajar di kenop pintu. Dengan tatapan itu. Sedikit canggung, berempati, dan enggan.
"Eh, Brandon, sorry, lo lewat sana. Di backstage anak DS semua."
DS. Dewan Siswa. Di sekolah lain dikenal sebagai OSIS. Reinanta ternyata anak DS yang akan dilantik, tapi dilantik jadi apa sampai harus ke aula? Meski apatis, aku ingat posisi ketua DS periode ini sudah ditempati Bianka. Bianka Dharmadjie.
Mantanku.
Tulang buku jariku terangkat mengusap ujung hidung, refleks. "Iya, gue nanti lewat sana, tapi ini..."
"Makasih udah ditunjukin jalan, ya!"
Pintu menuju backstage terbuka beriringan dengan bunyi beep. Reinanta dengan cepat lenyap dari pandangan, masuk ke dalam sana. Aku ditinggal melongo.
Sudah? Dia melupakan earbuds-nya begitu saja?
Apa ini? Teknik tarik-ulur? Modus PDKT gaya baru?
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
Fiction généraleSelain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur di organisasiku- lalu di sudut-sudut lain ada penerus tunggal perusahaan pangan...