Brandon's POV
She's never been on a date, and it shows.
Nana menyimpan kedua tangannya di belakang punggung setelah mengenakan apron, berdiri canggung di sebelahku sambil sesekali celingukan ke arah pantry.
"Lo tuh sama gue lagi kencan loh, Na."
"Iya, gue tau."
Jawabannya terlontar cepat dan ketus. Dan defensif. Seperti dirinya.
Aku mendengus. "Then why the hell are you wearing that?"
Raut wajahnya mendadak kaku, matanya melirikku dengan janggal. She seems afraid to the point where I feel like I have to explain myself.
"Maksud gue apron-nya. Lo di sini buat dijamu. Yang masak gue." Aku beringsut pindah ke belakangnya, melepaskan ikatan apron dan menggantungnya kembali ke belakang pintu. Nana membeku. Aku tidak terlalu mengharapkan reaksi itu karena alih-alih terlihat gugup, dia lebih kelihatan paranoid.
Nana memang tidak banyak bicara dari tadi, tapi dia jelas-jelas gelisah.
Ladies are supposed to feel comfortable around me. Or it has always been that way, at least until now.
"You're not feeling safe... Mau pindah tempat? Atau mau gue anter pulang aja?"
Akhirnya dia menatapku tepat di mata, penuh konfrontasi. "Hell yeah, who will? Siapa yang lo pikir bisa ngerasa safe berdua doang sama lo, di rumah pribadi calon gubernur ibukota negara, with no one around?!"
It makes sense, but still hurts, though. Dia sama sekali tidak terdengar seperti perempuan yang mengiyakan ajakan kencanku kemarin dengan antusias.
Aku mengesah, berusaha menemukan sisa-sisa kesabaran di dalam diriku sendiri. Aku tidak melakukan apapun sejak tadi dan dia sudah seperti ini. Membawa pulang partner kencanku ketika kami bahkan belum setengah jam bersama akan menodai harga diriku. Evan bisa tertawa terpingkal-pingkal dan mengatakan hal-hal tidak masuk akal semacam, "Udah nggak usah kebanyakan main hati. Entar lo naik jadi politisi, susah mulihin track record lo." yang sama-sama kami tertawakan dalam hati sebagai omong kosong karena bahkan koruptor besar bisa tetap disambut baik di negara pemaaf ini.
Politisi womanizer tentunya bukan apa-apa. And I may have zero interest in politics, but it doesn't mean I'm unaware of our first president's history.
Nonetheless, I view myself as a romantic, not a jerk, so bringing this young lady back home might be the best option.
"Mau pulang aja?"
"Nggak. Tapi jangan racunin gue."
Berbeda dengan Bang Harsa yang supel dan ramah, Nana tidak punya kesan ini sama sekali. Dia terus terang dan terlampau waspada. Sweet talk won't work on her.
But logical reasoning might work.
"Nonsense. Papa gue lagi gencar kampanye, mana mungkin gue racunin lo sekarang?"
Nope, it doesn't. Nana malah melotot.
"Terus maksudnya pas Papa lo masa tenang, lo baru bakal racunin gue, gitu?"
"Nggak, ya Tuhan..."
Aku jadi keki. Poninya yang jatuh dengan rapi kusingkap dengan telapak tangan, lalu kujitak. Masa bodoh dengan dirinya yang mengaduh jengkel karena aku menghancurkan make up-nya.
"Tantrum mulu sih, lo!"
"Ya lo mencurigakan, sih!"
"Gue cuma mau masak, Na, bukan cuci uang oligarki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
Художественная прозаSelain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur di organisasiku- lalu di sudut-sudut lain ada penerus tunggal perusahaan pangan...