0 - pinjem satu, dong. ngantuk.

81 7 5
                                    

Reinanta's POV

Setelah setahun penuh berhasil mengakali warna rambut, akhirnya aku tertangkap. Di waktu yang paling tidak tepat.

Oke, mungkin yang ini terlalu mencolok. Meski cuma di ujung—cuma lima senti meter, sepertinya, itu setinggi heels favorit Mama—aku pakai electric blue. Sesuai namanya, warnanya juga semenusuk itu.

Cat rambut ini kompensasi dari Harsa supaya aku tutup mulut dan tidak cerewet setelah ditinggal sepekan penuh tanpa kabar. Atas nama krisis identitas, dia lari sendirian ke Jepang demi merenungi apa yang harus dia lakukan setelah wisuda dan menganggur tiga hari. Tiga hari. Pada hari terakhirnya di Tokyo, menurut kesaksiannya, tiba-tiba dia ingat harus mencari apapun untuk dibawakan ke hadapanku.

"Seenggaknya kalau gue bawain ini, rencana lo buat diemin gue sebulan penuh itu bisa dikorting lima puluh persen."

Masalahnya, aku bukan cuma kesal, tapi marah. Aku ingat dia sampai di depan pintu hari Minggu pagi dengan cengiran lebar, waktu kedua tanganku penuh dengan kemoceng dan figura. Aku sudah bersumpah dalam hati untuk menjambak rambutnya sampai sisa lima helai—seperti tanggal ulang tahunnya—tapi dia lebih cepat menyodorkan botol pewarna rambut seraya mengingatkan bahwa di genggamanku ada figura dan di figura ada kaca dan kaca bisa pecah kalau sampai jatuh.

Sumpah itu biar kutunaikan lain kali kalau dia macam-macam lagi.

Volume lagu di earbuds-ku mengecil sejenak, efek notifikasi. Ponsel di genggamanku bergetar. Ada satu pesan masuk dari Axel.

Baiklah. Biar nanti. Sekarang mari bersikap seperti anak baik-baik di depan Pak Hananto.

"Padahal sekolah ini cuma mau kalian tampil rapi, loh. Aturan kita bukannya strict ala orde baru. Liat tuh, Axel, ponian gitu nggak pernah ada masalah. Kalian ini, aduh... Beruntung kalian nggak sekolah di sekolah negeri. Di sana aturannya lebih ketat lagi."

"Ya saya sekolah di sini kan tujuannya memang biar bisa styling rambut, Pak." sahut suara di sebelahku. Aku menoleh, tergelitik dengan jawabannya. Brandon terlihat tidak acuh seraya meniup ke atas sambil melipat tangan di depan dada. Poninya terangkat sedikit, masih terlihat baik-baik saja, sepertinya tidak kena potong.

"Sekali-kali coba lah jadi anak yang patuh peraturan sedikit. Kamu ini udah berkali-kali diingetin, masih aja bisa jawab. Bawa surat peringatan yang terakhir? Sudah SP 3, kan, kamu?"

"PDF ada sih, Pak."

PDF, katanya.

Walaupun aku tidak terlalu kenal Brandon dan dia tidak memberi kesan apapun padaku selain luar biasa berisik dan agak cari perhatian, sejak tadi atensi Pak Hananto hanya terfokus padanya. Situasi menguntungkan. Aku nyaris tidak kebagian jatah didamprat, diam saja sambil sesekali tersenyum profesional.

Senyum yang kuyakini akan pudar seutuhnya setelah bercermin dan melihat hasil potongan rambut ala BKB.

BK Barbershop.

Biasanya aku tidak takut menghadapi kenyataan, kecuali yang ini: waktu apel pagi tadi, topiku diangkat oleh rekan sekamarku sendiri yang luar biasa galak dan intoleran soal peraturan sekolah, simpul bandana satin yang kugunakan untuk menggelung ujung rambutku ke dalam juga ditarik. Rambutku tidak terjambak, tapi habislah sudah. Semua siswa yang berbaris di belakangku akhirnya tahu bahwa aku tidak punya rambut bob pendek dengan bandana seperti yang kuperlihatkan sebulan terakhir. Sebaliknya, rambutku panjang nyaris menyentuh punggung dengan bagian ujung berwarna biu menyala.

Diam-diam aku takut kalau wajahku jadi mirip Coraline setelah rambutku dipotong sedemikian rupa.

Ponselku bergetar lagi.

"Kamu, Reinanta."

Ah, aku tetap kena giliran.

"Saya, Pak."

"Ini kali pertama tapi langsung kena potong, loh. SP satu, ya?"

Basa-basi. Padahal kalau memang hukuman bisa langsung sodorkan saja di hadapanku.

Sambil menunjukkan deretan gigi dan mimik wajah penuh perasaan berdosa, aku menjawab kikuk. "Boleh, Pak."

Brandon mengulum bibir seraya memalingkan wajah, menahan tawa. Aku nyaris tersinggung kalau tidak ingat itu jawaban terbaik yang bisa kupikirkan. Memangnya kalau dia jadi aku, dia mau menjawab bagaimana?

Pak Hananto tertawa lebar. "Begini loh, Brandon. Jadi siswa Segara itu harus pintar memilih kata-kata, pandai berdiplomasi, seperti Reinanta ini."

Itu pujian, tapi aku tidak tersanjung.

Usai meminta kami membubuhkan tanda tangan di layar tablet milik BK, Pak Hananto pergi ke ruangan TU meninggalkan kami berdua bersama udara sayup dari pendingin ruangan. Tanda tangan itu nantinya akan diedit ke bagian bawah Surat Peringatan, dijadikan satu dokumen utuh. Peduli amat dengan standar legalisasi dokumen yang umumnya mensyaratkan tanda tangan basah, BK lebih peduli dengan kerapian arsip. Kadang-kadang aku curiga tanda tangan siswa-siswi digunakan untuk keperluan yang tidak-tidak.

Sepuluh menit berlalu dengan pesan bertubi yang menginterupsi laguku. Semuanya dari Axel.


REIIII

REINANTA TRIADI

CTG 2 SERIOUSLY?

LO DI MANAA

WOI

Ini anak-anak udah stand by di backstage semua

Pelantikannya setengah jam lagi

Lo belum latihan pidato


Jam dinding menunjukkan pukul 11.00 WIB. Benar, pelantikanku dimulai setengah jam lagi. Demi mengharapkan kedatangan Pak Hananto, pandanganku bergulir menuju pintu, melintasi Brandon yang sedang bersandar dan memejamkan matanya rapat-rapat masih dengan tangan terlipat di depan dada. Keningnya berkerut halus, jemu. Sepuluh menit terlalu lama untuk sekadar print dokumen berjumlah dua lembar.

Rasanya tadi Pak Hananto bilang Brandon sudah dapat SP 3. Kalau benar yang dia tunggu sekarang adalah surat skorsing, artinya dia tidak perlu lagi melanjutkan pelajaran hari ini atau ikut acara sekolah apapun. Dia bahkan mungkin tidak tahu setelah ini ada acara pelantikan.

Niatku untuk mengajaknya meratapi nasib kutarik kembali. Mengeluhkannya kepada Axel terasa lebih tepat.


Gue masih di BK

Lah yang tadi pagi jadi beneran kena hukum?

Iya. Gue pikir juga lolos, ternyata baru dipanggil pas jam pelajaran ketiga

Gue gatau nih Pak Hanan balik kapan

Nggak harus latihan kan gue? Ada script

Nah ini

Barusan bu kepsek dateng nengokin ke backstage

Terus kita disindir gara-gara blio liat script lo geletakan di kursi, katanya anak DS sebelumnya nggak ada yang pidato pake naskah

Gue ikut kesel sih, masa lo belum apa-apa udah diremehin sama blio


Jemariku sudah berlarian di atas keyboard ponsel lantaran panik, tepat ketika seseorang menyisipkan rambutku ke belakang telinga.

Aku terperangah, terpaku sejenak, sebelum akhirnya menepis tangannya keras-keras.

"Woah, apa nih? Menyentuh orang tanpa consent tuh pelecehan, loh."

Brandon terlihat bingung dan mengantuk. "Lo ngomong apa, sih? Gue liat ini, mastiin lo pakai earbuds." Tangannya yang tadi mengambang di udara kini menunjuk telingaku. "Lo tipe orang yang bisa bagi-bagi earbuds, nggak? Kalau iya, gue pinjem satu, dong. Ngantuk."

Segara OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang