Brandon's POV
Aku menemukan Papa sedang melamun di ruang tamu sambil menggenggam majalah politik di tangan kanan. Tatapannya setengah kosong. Kedatanganku tidak membuatnya terkejut.
"Pa."
Papa tertegun. Raut wajahnya yang hangat menghadap ke arahku, tersenyum, memperjelas beberapa kerutan yang mulai muncul di ujung matanya dan dahi.
"Dari Dolce?"
"Iya." Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya, merasakan dingin kursi di lenganku. Udara Jakarta sedang dingin-dinginnya belakangan ini. Samar-samar suara spanduk di luar berderak tertiup angin terdengar sampai sini, menyentuh pagar. Itu spanduk lama, ucapan dari partai Papa dulu waktu Papa baru menjabat, baru-baru ini dipasang lagi.
Suara familiar tiap beberapa tahun sekali.
"Aman, Pa?"
Papa terkekeh, "Apanya?"
"Campaign, lah..."
"Aman, sepertinya. Papa belum tahu juga."
Berarti tidak aman.
Aku berusaha memikirkan apapun utuk membesarkan hatinya. "Kemaren Evan kirim link berita. Katanya survey kepuasan masyarakat udah keluar. Angkanya bagus, kan?"
Tawa Papa terdengar lagi, terhibur. Tawa favoritku. "Kamu kan tahu..."
"...hasil survey-nya dipublikasikan di media afiliasi partai..." sambungku geli. "Lagian publikasinya kok sekarang sih, Pa? Engagement-nya nggak maksimal, loh. Kan media lagi fokus ke pilpres."
"Justru harus sekarang biar nggak kelihatan aji mumpung. Nanti kalau udah masanya gencar kampanye terbuka, baru di-share lagi sama timses Papa."
Oh, ya. Trik ini, menaikkan kembali prestasi atau track record baik saat masa kampanye terbuka. Dilakukan berapa kali pun nyaris selalu berhasil. Rentang waktunya juga fleksibel, baik itu terjadi saat Papa waktu masih jadi mahasiswa sampai yang baru-baru ini terjadi semuanya bisa digunakan. Cukup efektif untuk memikat hati masyarakat karena memberi kesan orang baik sejak dulu.
Citra. Image. Manuver utama politisi. Senjata paling kuat...
"Habis ini jaga sikap dulu ya, Bran. Paling nggak sampai Maret tahun depan."
...sekaligus paling rapuh.
Papa nyaris selalu berkelakuan baik sepanjang pengetahuanku, tapi kalau aku atau Evan "bertingkah", everything might just go to waste. Ini juga diperparah dengan persepsi masyarakat Indonesia di mana politisi dianggap sama dengan selebritas berikut keluarganya, objek popularitas yang kadang-kadang diidolakan. Imbasnya, baik aku dan Evan mendapatkan "perhatian khusus". Bagus untuk Evan karena popularitas yang dia dapatkan dari Papa ini membantunya kampanye (kalau kelak dia benar-benar akan jadi politisi), sedangkan untukku yang sudah cukup dengan kamar, tearoom dan dapur, spotlight ini mengganggu. Seluruh media sosial kubuat privasi demi menghindari komentar maupun pesan-pesan orang yang bahkan tidak mengenalku secara personal. Evan, yang beberapa tahun terakhir lumayan aktif sebagai konten kreator yang mempublikasikan aktivitasnya sebagai mahasiswa ilmu politik (sekarang sudah alumni, akunnya mati suri) sudah cukup banyak menceritakan bagaimana netizen mengulik tentang mantan pacarnya, menanyakan hal-hal personal, belum lagi kedatangan netizen kurang kerjaan yang melakukan pelecehan seksual padanya dengan mengirim foto tidak senonoh, atau orang-orang yang komplain padanya karena sesuatu yang dilakukan Papa. Papa yang diumpat warga karena rumah mereka digusur di bawah program kerjanya, Papa yang dihina-hina setelah sosoknya muncul di media, Papa yang jadi headline koran karena dugaan ini dan itu...
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
General FictionSelain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur di organisasiku- lalu di sudut-sudut lain ada penerus tunggal perusahaan pangan...