8 - tsar

73 6 1
                                        

Reinanta's POV

Aku pulang pukul delapan malam, waktu yang tepat karena rumah masih nampak hidup. Mama masih di dapur, menyiapkan bumbu marinasi untuk masakan besok. Papa merokok di halaman belakang sambil menelepon teman lamanya. Aku bebas dari interogasi karena rupanya Harsa bilang bahwa aku sedang perlu cari angin karena stres belajar untuk UTS, manuver tepat untuk Mama-Papa yang lebih khawatir anaknya stres sekolah daripada tidak punya kekasih.

Sejujurnya aku bahkan belum menyentuh bukuku sama sekali.

Yang membuatku menarik napas panjang justru sosok berkaki panjang yang tertidur lelap sambil mendengkur di sofa ruang tengah. Saharsa Triadi, di samping gaya hidupnya yang hemat energi dan serba santai itu, juga adalah seorang tukang tidur. Bukannya mengkhawatirkan adiknya yang "berkencan" dengan seorang tersangka kriminal, dia malah tidur awal. Toples kacang kribo yang tadi pagi masih penuh, sekarang sisa butir-butiran di bagian dasar.

Keesokan paginya dia menerobos pintu kamarku sambil menyengir lebar. Satu earbuds-nya masih menempel di telinga. Kerah baju spandex yang dia kenakan basah oleh keringat, baru selesai jogging. Di tangannya, seperti biasa, ada toples kacang.

"Gimana kencan kemaren?"

Dan beberapa saat setelah aku menggerutu karena dia menyingkirkanku dari kasur, tahu-tahu kami sudah berbicara tentang hasil "penyelidikanku".

"Brandon itu detail, jadi gue yakin dia bisa hilangin jejak di TKP."

Harsa menatap foto TKP dari ponselku, menyimak tanpa berkedip. Pipi kanannya penuh. "Oh, ya? Hasil observasi dari mana?"

Aku bersandar di lemari, mengusap mata. "Sebelum masak, semua bahan dia taruh di meja. Tiap bahan itu dia cek dulu kualitasnya, dia cium aromanya, perhatiin tanggal kadaluarsa, sama bentuk kemasan. Waktu masak, dia pastiin nggak ada yang tumpah atau terbakar, atau..."

"Hmm, valid. Brandon kena damprat Chef Lucia di pertemuan awal-awal gara-gara ngaco waktu disuruh demo teknik Flambe."

Kantukku perlahan-lahan pudar. "Flambe?"

Harsa menaikkan satu kakinya lagi, bersila di atas kasurku. Aku melotot melihat kaos kaki yang masih dia kenakan. Jorok. Ini termasuk salah satu yang paling sering membuat Mama mengomel, masih pakai kaos kaki malah naik ke kasur. Tapi Harsa malah lanjut mengunyah kacang kribonya yang entah bagaimana sudah penuh lagi dari yang kulihat kemarin malam, tampak tidak peduli.

"Lo pernah liat abang-abang warung nasi goreng? Yang pas masak, apinya 'nembus' ke atas wajan? Itu kurang lebih Flambe."

Dahiku berkerut samar. "Dia... paranoid?"

"Seems like it."

Baiklah. Ada kemungkinan aku harus menyelidiki bagian ini juga.

Aku melanjutkan penjelasan setelah menarik napas panjang. "Dari cara dia beresin dapur juga. Lengan bajunya digulung dulu, bagian poninya dia tahan pakai jepit. Oke, gue tau ini mungkin materi yang juga lo dapet selama kelas masak di Dolce, tapi gue rasa dia juga... apa, ya? Jaga jarak aman? Brandon lakuin tiap step masak hampir tanpa cela, tapi ada gestur defensif. Dia nggak berdiri sedekat itu sama meja kitchen set. Tatapannya awas..."

Lama-lama Harsa mencondongkan tubuhnya, tidak menutup-nutupi rasa penasarannya lagi. "Kenapa lo hapal banget detail-nya?"

"I paid attention. And I have been watching the recording over and over."

Toples kacang kribonya tiba-tiba diletakkan di nakas, benar-benar tertarik. "What recording?"

"Gue ada ngerekam waktu gue sama dia di tea room. Gue sih bilangnya buat time lapse."

Dia terperangah, lalu tertawa, lantas menggeleng ironis. "Parah, lo. Kalau Brandon-nya baper dan beneran mikir itu buat kenang-kenangan gimana?"

"Bang, I have no business with a sexual offender's feeling."

"Alleged, Rei. Tersangka."

Aku mendesah frustasi seraya mendudukkan diri di kursi belajar dengan lemas. "Lo mau nonton rekamannya juga?"

"Lo mau pamer kemesraan?"

Soal level dalam membuat orang kesal, aku lupa bahwa di atas Brandon masih ada Harsa.

Harsa tergelak puas. Dia memeriksa folder galeriku dan menggeser layar beberapa kali, memerika semua potret yang juga kutangkap kemarin atas izin Brandon. Halaman belakang, tea room, sampai langit-langit sengkuap.

"Gue kirim foto TKP sama ini, ya, ke WA gue?"

Dia menunjukkan foto halaman belakang yang kupotret paling terakhir. Foto itu diambil nyaris asal-asalan karena aku sudah kehabisan ide untuk memilih sudut yang tepat untuk menangkap detail sekaligus membuatnya terlihat aesthetic. Kemarin Brandon banyak memujiku tentang hasil potret-potret ini. Instagrammable, konon—yang segera kuiyakan dengan senyum canggung.

Di titik ini aku akan melakukan apapun untuk mengumpulkan informasi, relevan maupun tidak, selama ada kaitannya dengan Brandon.

"Kirim aja."

***

"Waktunya tinggal 30 menit, ya."

Bu Ratih, guru Antropologi, berucap acuh tak acuh. Desis 'fiuh' terdengar samar-samar dari beberapa meja. Angka pada detik di timer di komputer terus menurun. 29:55, 29:54. Tanganku merayap ke atas kepala, mengusap tidak koheren. Masih ada lima soal dengan ikon merah yang belum kukerjakan, urut mulai 26 sampai 31. Menurut kisi-kisi, nomor-nomor itu berisi soal untuk materi pewarisan budaya. Materi memusingkan.

Telunjukku bergerak menggulir roda mouse perlahan dari nomor satu saking malasnya menghadapi soal itu. Teks, teks, teks...

Lalu screenshot.

Aku memajukan tubuh, mengernyit. Ini screenshot WhatsApp. Di bagian atas tertulis "<3" dengan foto profil yang blur, tapi familier. Empat bubble chat diterima, satu bubble chat balasan.

Babe, let's have another sleepover. Been missing your warmth like crazy.

Aku udah beli kok.

The safety equipment.

Yaa?

I'm sorry, but can we not?

Napasku terhenti. Mataku bergerak liar, merasa familier dengan sesuatu selain foto profil kontak. Jantungku berdentum ribut. Hawa pendingin ruangan merengkuhku dengan tidak nyaman. Segala hal tentang soal ini terasa salah. Terlalu nyata, terlalu vulgar, terlalu tidak etis, terlalu provokatif, nyaris seperti memergoki ruang obrolan orang terdekatku sendiri. Tanganku mengepal. Apa? Siapa?

Segelintir ingatan tiba-tiba berebut menyesaki kepalaku.

Ya Tuhan.

Latar belakang roomchat-nya. Kucing putih dengan collar merah chestnut, tertidur di atas meja marmer.

Itu Tsar. Kucing keluarga Dharmadjie.

Segara OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang