Reinanta's POV
"Jadi, Brandon yang matiin? Terus dia tau, dong, lo pidato pake bantuan? Tumben lo mau minjemin gituan."
Kurasa satu-satunya hal buruk dari orang yang rajin berolahraga adalah mereka bisa bicara terus meskipun sambil berjalan cepat, termasuk membicarakan sesuatu yang tidak ingin orang lain dengarkan. Axel berujar lagi, "Dulu bukannya lo dijulukin OCD sama Bianka gara-gara protektif banget sama barang pribadi?"
"Iya." Suasana hatiku sedang kacau. Pertanyaan berturut-turut dari Axel tidak membantu sama sekali. "Lo diem dulu deh, El. Pusing gue."
"Udah gue disuruh bantu bawain koper, sekarang gue disuruh diem?"
"El."
"Astaga, iya."
Semuanya buruk hari ini. Usai berpidato, aku sempat bertemu Bu Kepsek di depan pintu backstage. Beliau menawarkan jabat tangan seraya memberiku selamat, tapi prasangkaku terlanjur buruk. Aku sudah disindir perkara naskah pidato, lalu pasti tadi Pak Hananto sempat bertemu dengannya ketika meminta stempel untuk surat peringatanku. Belum mulai bekerja sudah banyak masalah begini...
Kemudian Brandon.
Sebagai orang asing yang baru pertama kali saling mengobrol, dia tidak memberikan kesan baik sama sekali.
Aku pernah dengar tentangnya sebelum ini. Sedikit. Dia tidak terlalu terkenal untuk alasan spektakuler. Anak gubernur yang akan mencalonkan diri lagi tahun depan, tapi tidak terlalu terkenal, overshadowed dengan Kakaknya yang aktif ikut kampanye. Casanova, konon. Teman tidurnya gonta-ganti. Kedengaran mengerikan, tapi Segara memang sarang orang gila. Rekan kelasku gila, rekan sekamarku gila, aku pun gila. Kalau ada yang masih bisa ditolerir kegilaannya, kupikir itu anak Dewan Siswa. Kegilaan yang dilakukan Brandon itu terhitung level bawah meski sekarang dia diskors. Dia memang melewati tiga tahap surat peringatan untuk pelanggaran berat serta belasan kerja sosial untuk pelanggaran ringan, tetapi "anak nakal tipikal Segara" umumnya langsung ditendang karena diringkus polisi.
Mestinya dia bukan masalah besar. Aku sudah pernah menghadapi orang selevel Denraka. Denraka adalah siswa pertama di angkatanku yang ketahuan mengonsumsi sabu di asrama. Anak itu misoginis, selera fashion-nya norak, bercandanya jorok, kasar, dan hanya bisa ditangani dengan trik tertentu. Sama dengan Brandon, dia juga melewati berbagai macam hukuman hingga skorsing meski sampai sekarang tidak drop out. Alasannya: dia hanya mengonsumsi, bukan penyalur, dan Papanya seorang aktor kawakan di Indonesia. Kesimpulannya: ya, di Segara ada distributor barang haram serupa itu sehingga perbuatan Denraka dihitung tidak ada apa-apanya dan meski kelakuannya salah di mata hukum, uang Papanya berhasil menyumpal mulut pihak berwenang. Case closed. Apakah sekolah dan seluruh siswa-siswi yang terlanjur tahu semuanya tutup mulut? Ya. Itu kesepakatan tak tertulis. Begitulah cara Segara bekerja. Sekolah ini disesaki orang-orang berkepentingan.
Kami terbiasa dengan tiga opsi: diam, didiamkan, atau membuat kesepakatan.
Omong-omong soal Brandon—ya, dia mestinya bukan apa-apa. Dia tidak membuatku merasa harus awas, kehadirannya juga tidak menguarkan hawa mengancam. Entahlah dia memang selalu seiseng atau sepikun itu sampai tidak mengembalikan dan malah mematikan earbuds ketika jelas-jelas tahu aku membutuhkannya. Kalau waktu itu Harsa tidak iseng menceramahiku untuk belajar public speaking sambil mengunyah kacang kribonya, riwayatku tamat bahkan sebelum aku resmi menjabat.
Itu satu dari sedikit amal baik darinya yang patut disyukuri.
Axel berhenti seraya memeriksa jam tangannya sesampainya di lobby asrama. "Bang Harsa datang jam berapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
Ficção GeralSelain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur di organisasiku- lalu di sudut-sudut lain ada penerus tunggal perusahaan pangan...