11 - dua brandon

30 3 0
                                    

Reinanta's POV

This is unbelievable.


Kakiku ditepuk-tepuk dari balutan selimut. Kalau tidak ingat ini di asrama dan bukannya di rumah, aku akan menendang pelaku yang sudah pasti Harsa.

Aku mengerjap seraya mendudukkan diri, berat badan bertumpu pada siku. Rupanya Fildzah. Wajahnya masih ditutupi sheetmask. Satu tangannya di pagar pembatas bunk bed, satunya lagi masih mengguncang-guncang kakiku. Dia mendesis, "Rei, bangun! Penting!"

Bisik-bisiknya jadi terdengar menjengkelkan karena untuk apa dia berbisik di kamar yang isinya hanya kami berdua?

Jam di dinding masih menunjukkan pukul dua pagi. Kamar masih setengah gelap karena sisa lampu belajarnya yang masih menyala. Fildzah memang sering begadang, tapi tidak pernah membangunkanku begini. Dia adalah rekan sekamar paling tenang dan paling nonchalant. Ini di luar kebiasaan.

Aku menggumam sengau, disorientasi.

Kasurku berguncang kecil ketika dia akhirnya naik dan duduk di sisi tangga, kakinya masih menggelantung. Aku menggaruk tengkuk. Mengantuk. Ingin ini segera selesai.

"Lo inget Selasa lalu lo cerita sama gue tentang soal Antropologi lo yang kode C sendiri itu?"

Mengangguk.

"Lo bilang isinya screenshot, kan?"

Mengangguk lagi. Kenapa, sih, dia membahas ini pagi buta?

"Screenshot itu... gini, gue minta lo jujur. Kita berdua lumayan deket sama orangnya atau nggak?"

Kantukku hilang seketika.

Secara teknis, empat orang yang bertahan di Dewan Siswa sejak kelas X sampai sekarang memang hanya kami berempat: aku, Bianka, Axel, dan Fildzah. Sekarang malah sisa bertiga karena Bianka hilang. Tapi hanya karena itu apa bisa dibilang dekat? Bagiku, dia ini lone wolf dengan mentalitas anti-hero. Dia punya cara dan keinginannya sendiri, dan selama ini selalu begitu. Satu-satunya yang tidak mengambil jabatan di Badan Pengurus Harian meski sudah memasuki tahun kedua di DS hanya dia, dia malah memilih menjadi koordinator Divisi Bela Negara. Praktis, kami bertiga tidak terlalu dekat dengannya.

Fildzah jadi tidak sabar karena aku terlalu lama diam, sibuk mempertimbangkan satu dan lain hal dengan kondisi kepala berkabut kantuk. Dia berdecak seraya memperbaiki sheet mask yang mulai merosot turun. "Screenshot ini melibatkan satu-satunya orang yang mau dialog panjang sama gue tiap rapat DS atau nggak? Let's make this quick, Rei."

Aku tidak bisa membantah yang ini.

Bianka adalah satu-satunya yang punya cukup banyak energi untuk menanggapi Fildzah. Tuan putri satu ini politisi ulung. Satu waktu dia terlihat berpihak pada siswa-siswi dengan mengeliminasi peraturan paling banyak pada rapat akbar tahunan antara Dewan Siswa dan Majelis Perwakilan Siswa karena menurutnya tidak praktikal, membuatnya nampak seperti fenomena unik dengan penampilan fisiknya yang "konservatif". Di waktu lain, dia tidak bisa kompromi. Dia yang membuat poin paling banyak setiap evaluasi acara, berlaku rata untuk hampir semua divisi kepanitiaan, dan hampir tidak ada yang bisa membantah karena perhatiannya pada detail memang luar biasa.

Kesimpulannya, dia sudah tau screenshot maut itu melibatkan Bianka. Dia juga tahu aku membutuhkannya dari percakapanku dan Harsa beberapa hari yang lalu.

Ini tidak mungkin cuma-cuma. Aku bahkan tidak tahu dia dapat leaking information dari mana. Kalau perkara kode soal per jurusan, itu fakta umum yang Fildzah ketahui karena kebetulan dia asisten guru-guru bagian kurikulum, tapi detail "soal aneh" ini sepertinya dia tidak tahu dari sana. Tidak mengusik suatu anomali langsung kepada yang bersangkutan itu sudah basic norm di sini. Misalkan dia memang menelusuri soal aneh itu ke bagian kurikulum, artinya dia perlu meretas keamanan dokumen dan curi-curi kesempatan dari guru yang bersangkutan, itu juga kalau tidak langsung dipergoki orang lain. Kalau aksi hipotetikalnya itu tertangkap, konsekuensi yang dia terima bisa dua kali lipat—satu, karena anggota Dewan Siswa akan mendapatkan konsekuensi ganda karena posisi kami adalah stakeholder yang harus memberikan contoh kepatuhan absolut pada aturan (sepertiku beberapa waktu lalu yang dapat "bonus ekstra" dengan diberi SP 1 padahal itu baru kali pertamaku tertangkap mewarnai rambut; andai aku siswa biasa, konsekuensinya hanya potong di BK); dua, karena soal aneh ini lebih terlihat seperti jebakan yang diatur "entah siapa" daripada kesalahan teknis, artinya ada kepentingan yang diancam dan terancam, dan dia harus berurusan dengan ini juga belakangan. Dengan asumsi bahwa Fildzah masih belum tahu aku membutuhkan soal ini utuk apa dan memberikan keuntungan seperti apa untuknya, rasanya dia terlalu pragmatis untuk melakukan hal bodoh seperti itu.

Segara OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang