Reinanta's POV
Aku berani bersumpah bahwa berkencan dengan terduga pelaku pelecehan seksual sebagai bagian dari penyelidikannya tidak pernah masuk dalam rencanaku sama sekali. Jangankan masuk rencana, terlintas di kepala pun tidak.
Maka ketika tiga hari setelah pertemuan di Dolce itu aku malah berada tepat di dalam mobil Brandon, di samping kursi pengemudi, dengan alunan lagu Chicago - Hard to Say I'm Sorry, pikiranku masih melayang ke mana-mana. Aku masih mencerna kenyataan bahwa aku menerima ajakan kencan yang dia lontarkan sambil tertawa—dengan nada terlalu tinggi sampai terdengar seolah-olah antusias, padahal karena hanya ini satu-satunya cara "menyelidikinya"—lalu benar-benar melakukannya tanpa izin Papa. Harsa sudah kupaksa tutup mulut dengan kacang kribo yang kubeli dengan diskon ekstra. Dia juga sudah kuberi tahu segalanya: bahwa cowok ini, yang kebetulan teman akrabnya di Dolce, adalah terduga pelaku pelecehan seksual, casanova, genit, narsis, dan di atas segalanya: bukan tipeku.
"Just to let you know, gue biasanya nggak pegang tangan cewek di kencan pertama."
Gara-gara aku terlanjur mengasumsikan bahwa laki-laki di sebelahku ini memang pelaku pelecehan seksual, jawabanku jadi ketus, efek defensif dan menahan ngeri.
"Nggak ada juga sih gue ngarep lo pegang tangan gue."
"Juteknya..." timpalnya setengah tertawa, "kemaren waktu iya-in ajakan gue, perasaan lo excited banget."
Ayo berpikir, Reinanta. Berikan jawaban yang akan membuatnya diam telak.
"Kena pelet kali gue."
"Gue nggak main gituan kali, Na..."
"Ya bukan pelet beneran..."
Oke, sepertinya salah strategi. Yang ini bukannya membuatnya berhenti mengoceh, malah menjadikannya besar kepala.
Brandon menoleh sepenuhnya ke arahku tepat ketika lampu merah menghentikan laju mobil. Alisnya terangkat sedikit, bibirnya mencebik.
Dia antara terhibur dan akan mengerjaiku.
"Maksudnya gue cakep waktu ngajak lo kencan?"
Aku merasa kesulitan bernapas saking gelinya.
"Ewh."
Brandon bersiul senang. Sebelum semakin gondok, aku memilih memandang keluar dan tidak menggubrisnya lagi.
Keheningan kembali mendominasi suasana di dalam mobil. Aku semakin stres, berkali-kali memastikan bahwa aku mengirimkan live location ke Harsa sampai beberapa jam ke depan sambil memikirkan topik yang bisa membuat Brandon buka mulut terkait apapun soal Bianka. Ekspresi Harsa tadi pagi kembali muncul dalam benakku. Ekspresi aneh. Katanya, "Gue ngerasa... nggak tau, deh. Lo kayak orang parno diajak ngedate sama Brandon, walaupun gue ngerti penyebab paranoid lo ini reasonable banget, tapi tetep aja gue nggak bisa hilangin image Brandon di kepala gue bahwa dia cuma junior asik di tempat gue belajar bikin kue. Coba lo pikir, deh, dari sudut pandang gue, ya, citra pelaku pelecehan seksual sama citra cowok baik-baik yang punya hobi bikin kue—jadi satu di satu individu yang sama itu nggak kejangkau sama imajinasi gue..."
Inilah mengapa edukasi seksual di Indonesia itu penting dan kepalang genting. Korban pelecehan secara umum terdiri dari berbagai usia, berbagai latar belakang, berbagai karakter, dan dengan mengenakan berbagai pakaian yang merefleksikan identitasnya masing-masing—tentu saja pelaku pelecehan bisa jadi serigala berbulu domba, macan berbulu kelinci, harimau mengeong, sampai buaya sedikit tampan yang kebetulan bernama Brandon Wiratama.
Harsa tersedak kacang kribo waktu aku menjelaskan dengan panjang dan buru-buru, tapi kemudian mengangguk. Dia sepakat untuk mengamati lokasi live-ku dan menanyakan update tiap 30 menit sekali. Satu jam setengah pertama sudah berlalu, dan kami masih di jalan.
Aku baru mau mengirimkan update ketiga ketika Brandon memarkirkan mobil di sisi pagar rumah. Aku tidak tahu ini rumah siapa, tapi di sekitar sini tidak ada tea room sebagaimana yang dia janjikan di awal rencana kencan.
"Ayo turun."
Pandanganku terpaku pada spanduk di depan pagar, melihat wajah dan nama yang tertera di bawahnya: Budiman Tirtayasa. Calon gubernur.
Ini, kan, Papanya.
"Kata lo kita ke tea room..."
"Tea room gue di dalem, di halaman belakang."
Bulu kudukku meremang. Sambil membuka pintu mobil, aku buru-buru mengirimkan pesan update ke Harsa.
Brandon is a creep. Mana ada orang waras yang mengajak orang lain ke rumahnya di kencan pertama?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Operation
General FictionSelain kantor pemerintahan, Segara adalah tempat paling rawan skandal yang pernah kuketahui. Ada anak anggota dewan di kamar asramaku, anak pengusaha perusahaan furnitur di organisasiku- lalu di sudut-sudut lain ada penerus tunggal perusahaan pangan...