Bab 01. Dianogsis

124 41 48
                                    

"Nama kamu siapa?"

"Usia kamu berapa?"

"Penghasilan kamu satu bulan berapa?"

"Apa kamu masih punya orang tua?"

"Kamu harus menjalani pengobatan rutin. Saya sarankan untuk melakukan kemoterapi segera, sebelum sel kanker itu menyebar ke bagian sel tubuh kamu yang lainnya."

Seorang gadis tertegun mendengar pertanyaan beruntun dari dokter. Sebenarnya dia belum paham, kenapa dokter bertanya sedetail itu tentang dirinya?

"Maaf, Dok. Saya kenapa ya?" tanya gadis itu dengan wajah bingung. Walaupun dia memang sudah merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya akhir-akhir ini.

"Kamu menderita Sarkoma jaringan lunak atau tumor ganas (kanker) yang bermula di jaringan lunak. Tumor ini dapat tumbuh pada jaringan lunak di bagian tubuh mana pun, tetapi umumnya muncul di area perut, lengan, dan tungkai. Jaringan lunak adalah jaringan yang menunjang dan menghubungkan struktur di sekeliling tubuh. Jaringan yang termasuk ke dalam jaringan lunak antara lain lemak, otot, pembuluh darah, saraf, tendon, tulang, dan sendi," jelas sang dokter panjang lebar.

"Kanker, Dok?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu seketika terdiam, aliran darah dalam tubuhnya seolah berhenti mengalir.

"Saya akan melakukan beberapa test Pemindaian dengan foto Rontgen, CT scan, MRI, atau PET Scan pada bagian tubuh yang diduga memiliki tumor dan yang kedua adalah Biopsi atau pengambilan sampel jaringan tumor dengan menggunakan jarum (core needle biopsy) atau melalui bedah terbuka, untuk memastikan apakah tumor bersifat ganas dan untuk mengetahui jenis tumor tersebut," jelas sang dokter kemudian.

"Untuk pengobatan pertama saya sarankan kamu agar menjalani Kemoterapi atau pemberian obat-obatan untuk menghambat atau menghentikan pertumbuhan sel-sel kanker.

Arunika Senja, beberapa waktu terakhir dia memang merasakan ada yang aneh dari dirinya. Setelah mengumpulkan sejuta keberanian, akhirnya dia menemui dokter untuk memeriksa keadaannya. Senja tak pernah menyangka, jika dirinya yang baik-baik saja ternyata mengindap penyakit mematikan.

"Lalu kapan saya akan menjalani kemoterapi, Dok?" tanya Senja berusaha kuat untuk tidak menangis pecah di depan sang dokter.

"Secepatnya! Persiapkan diri kamu. Sebab kemoterapi memiliki beberapa efek samping yang mungkin akan membuat beberapa bagian dari tubuh kamu rusak. Karena kemoterapi mematikan beberapa jaringan sel dalam tubuh agar sel kanker tidak menyebar," tukas sang dokter lagi.

Setelah mendengar penjelasan dari dokter. Senja keluar dari ruangan, gadis itu berjalan dengan tatapan kosong ke depan. Air mata leleh membasahi pipinya.

Dia duduk di halte, sambil menunggu bis yang hendak dia tumpangi.

"Tak pernah aku bayangkan di usia semuda ini harus menderita penyakit mematikan!" Seketika dadanya sesak mengingat penjelasan dokter tadi.

Tidak lama kemudian bis yang dia tunggu, berhenti tepat di depan Senja. Gadis itu naik dan duduk di dekat jendela sambil menikmati kepadatan kota Jakarta.

"Bagaimana nasibku nanti?" gumamnya yang tak mampu menahan air mata.

"Aku tidak boleh cenggeng!" ucapnya pada diri sendiri. "Setelah ini aku harus ke kantor, masih banyak pekerjaan yang belum selesai."

Gadis itu keluar dari bis yang berhenti di sebrang jalan kantornya.

"Hufh!" Terdengar helaan napas panjang. "Huh, kenapa dadaku sesak ya? Apa ini salah satu ciri-ciri penyakit yang dokter sebut tadi?" Segera dia meronggoh tas kecil, lalu mengambil beberapa bulir obat dan meminumnya.

"Senja!"

Gadis itu berjalan tergesa-gesa memasuki area kantor. Dia memang izin setelah jam makan siang tadi.

"Iya, Tari?"

"Kamu ke mana saja? Dicariin sama Pak Boss," lapor Tari.

"Tadi aku ada urusan sebentar. Eh memangnya kenapa Pak Boss cari aku?" tanya Senja bingung.

"Mana aku tahu. Mungkin mau melamar kamu kali!" goda Taru setengah terkekeh.

"Dih, jangan halu," ketus Senja memutar bola matanya malas.

"Eh, kenapa muka kamu pucat?" tanya Tari tampak khawatir.

"Biasalah mabuk naik bis," sahut Senja asal. "Sudah, ayo masuk!" ajaknya.

Kedua gadis itu masuk dan menuju ruangan masing-masing.

"Kamu!"

Senja menghela napas panjang. Haruskah dia dipertemukan dengan boss super duper killer itu.

"Iya, Pak," balasnya dengan senyuman manis.

"Ke ruangan saya!" titah lelaki itu.

"Iya, Pak. Sebentar saya simpan tas dulu."

"Sekarang, Senja!" ketus pria itu masuk ke dalam ruangannya.

Napas Senja memburu menahan emosi. Entah dendam apa yang boss nya itu ingin balaskan padanya? Tiada hari tanpa suruhan dan permintaan yang aneh-aneh.

Senja menuju ruangan direktur. Gadis itu menghentakkan kakinya seperti dukun baca mantra. Andai tidak dosa, dia ingin sekali memberi racun sianida pada bossnya tersebut.

"Ada apa Bapak memanggil saya?" tanya Senja berusaha memasang wajah ramah. Walaupun dalam hati sangat dongkol.

"Kamu tahu kesalahan kamu hari ini apa?" tanya lelaki itu menatap Senja tajam.

Senja menggeleng dengan wajah polosnya. Dia memang tidak tahu di mana kesalahannya, sehingga membuat lelaki itu tampak kesal.

"Kamu tidak mengucapkan selamat pagi sama saya," ketus lelaki itu bersedekap dada.

Pupil mata Senja membulat ketika mendengar ucapan sang boss. Jangan sampai dia dipanggil hanya karena tidak mengucapkan selamat pagi pada pria itu.

"Kenapa kamu tidak ucapkan selamat pagi sama saya? Terus kopi yang biasa kamu buatin untuk saya, kenapa tidak ada di atas meja?"

Astaga, andai bisa Senja ingin rasanya ganti boss. Dia bukan asisten bossnya, tetapi semua kebutuhan bossnya harus Senja yang urus.

"Maaf, Pak. Tadi pagi saya kesiangan," jawab Senja asal. Padahal dia memang sengaja datang siang, karena tiba-tiba tubuhnya terasa sakit.

"Terus, karena kamu kesiangan dan terlambat, lalu kamu tidak mau menjalankan tugas kamu seperti biasa?" Lelaki itu bertanya dengan wajah tampak ditekuk kesal.

Senja menghela napas panjang. Tangannya terulur mengusap dadanya dan berkata sabar, sebab orang sabar itu pasti kesal.

"Bukan begitu, Pak!"

"Lalu bagaimana? Atau jangan-jangan tadi kamu izin keluar, mau ketemu pacar kamu?" tudingnya.

Boleh tidak Senja mengajak bossnya ini baku hantam? Dalam hati gadis itu sudah menyumpahi lelaki yang selalu menyebalkan di matanya.

"Say–"

"Tidak usah jawab," potongnya dengan ketus.

"Lah, kan Bapak nanya. Terus kalau saya tidak jawab, nanti salah lagi." Senja mendesah pelan. Entah kenapa nasibnya begitu buruk? Diterima bekerja di perusahaan ternama, tetapi harus bertemu dengan boss yang sangat membuat hidupnya menderita.

"Terus?" Alis lelaki itu saling bertautan.

"Terus Bapak ganteng dan kaya raya," jawab Senja asal.

"Kenapa kamu baru tahu?" Pria itu memalingkan wajahnya menahan senyum. Dipuji seperti itu saja sudah membuatnya salah tingkah.

"Kemarin saya lupa ingatan, Pak," ujar Senja lagi. Hatinya terasa dongkol dan ingin sekali mendorong bossnya itu ke lautan, agar tidak cerewet lagi.

"Tunggu!" Lelaki itu sontak berdiri dan menatap Senja dengan wajah panik.

"Kenapa, Pak?" tanya Senja bingung.

"Kenapa hidung kamu berdarah?"

Bersambung ...

Go From Away Mr. Cancer (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang