Pagi-pagi sekali di hari Sabtu aku sudah berada di ruang tunggu. Dad berkunjung, tetapi tetap memakai setelan kantor.
"Dad, bukankah hari ini hari Sabtu?"
"Aku memiliki sedikit pekerjaan. Bagaimana dengan kuliahmu?"
"Itu bagus." Aku tersenyum.
"Apa kamarmu bersih ataukah kita perlu mengecatnya kembali?"
"Itu bersih dan masih bagus." Lagipula aku tidak akan mungkin mengecatnya. Meskipun itu kamarku juga, tetapi Hugo dan Jean lah yang memiliki kekuasaan besar di dalamnya.
"Kau belum memberitahu Dad siapa teman sekamarmu."
"Mereka baik," ujarku, lalu sibuk memeriksa paperbag yang Dad bawakan. "Dad membelinya?"
"Ibumu yang memberikannya."
"Sampaikan ucapan terima kasihku padanya."
"Kau bisa berbicara dengannya jika membutuhkan sesuatu. Dia wanita yang baik."
Aku tersenyum tipis. Wanita itu memang baik. Dia menyambut kedatanganku bersama senyum manis, tetapi aku tahu perasaannya. Melihat anak suaminya dan perempuan lain jelas bukan hal menyenangkan. Dia barangkali menahan diri hanya untuk menjaga imagenya. Karenanya aku setuju saja ketika Dad bilang akan memasukkanku ke dalam asrama. Itu akan mengurangi intensitas pertemuan tidak diperlukan dengan isterinya.
Aku tidak pernah berniat merebut kasih sayang Dad dari isteri atau puteranya. Aku hanya ingin hidup. Di Indonesia kehidupanku tidak bisa berlanjut. Mom memiliki keluarga lain dan menganggap aku seperti orang asing. Aku tidak memiliki siapapun untuk membiayai hidupku dan terlalu bodoh untuk mendapatkan pekerjaan. Tawaran Dad untuk membawaku pindah ke Los Angeles memberikan aku semacam kelegaan. Aku akhirnya dapat melanjutkan hidup.
"Dad membeli beberapa sepatu. Mungkin kau akan suka."
Dad bukan tipikal laki-laki yang banyak bicara, tetapi aku baru mengetahui jika dia bisa seperhatian ini. Aku pindah tanpa membawa apapun dari Indonesia. Aku hanya punya satu buah sepatu murah yang tidak akan mampu menemaniku selama berada di Lympus.
"Terima kasih."
"Kau tahu jelas perbedaan budaya di Amerika dan Indonesia. Kau harus beradaptasi, tapi tidak berati kau boleh menjadi liar seperti mereka. Minum alkohol secukupnya, jangan bermain-main dengan pria dan kau tidak boleh menyentuh narkoba."
"Aku mengerti, Dad."
"Mahasiswa di sini sangat berprestasi. Mereka memenangkan berbagai lomba taraf internasional. Menciptakan penemuan baru dan mendapatkan pekerjaan dengan bayaran mahal setelah lulus. Anehnya aku justru mendengar bahwa mahasiswa di sini cukup liar untuk menjadi manusia."
Dad tampak kesal membicarakannya, sementara aku kemudian memandang ke ruang tunggu di sebelah. Harin di sana. Sedang berbicara dengan perempuan yang aku kira sebagai ibunya.
"Apa Ibumu menelepon?"
"Tidak, Dad."
"Tidak perlu dipikirkan. Kembalilah ke asramamu. Dad akan pergi."
Aku mengantarkan Dad sampai ke parkiran. Dad memberikanku sebuket mawar dari James. Aku tidak pernah bertemu laki-laki yang menjadi kakak tiriku tersebut. Aku hanya mendengar namanya dan berpikir dia tidak menyukaiku. Itu adalah alasan paling tepat mengapa ia tidak pernah ada di saat kami makan bersama. Namun anehnya dia memberikanku sebuket mawar. Apakah ini semacam pencitraan?
***
Di cafetaria Kaigan memukuli seorang laki-laki negro. Aku tidak tahu apakah kali ini juga sentimental antar ras, tetapi Kaigan terlalu brutal untuk disebut mahasiswa. Dia memecahkan kulit wajah laki-laki tersebut dan mengajak teman-temannya bergabung. Yang lain meneruskan kegiatan sambil memperhatikan tanpa beban. Meskipun dilingkupi perasaan kasihan, tapi kali ini aku tetap diam. Aku tidak mau berurusan dengan Kaigan lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Desire |18+ END
RomanceJoana Richard seharusnya tidak jatuh cinta kepada Kaigan Wilson. Pria itu tidak segan menenggelamkan kepala Joana di kloset toilet yang kotor, karena tidak menyukai kehadirannya. Kaigan adalah laki-laki yang selalu mendapat apapun yang ia inginkan...