Bab 13 || Diculik

287 69 5
                                    

Bel pulang sekolah telah terdengar 20 menit yang lalu. Namun, aku masih setia berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu bang Haris datang menjemputku. Aku tak bisa mendapatkan angkot bila hari menjelang sore, akan sangat sulit menemukan angkot yang lewat di depan sekolahku.

Sudah ku kirim pesan berkali-kali, dan ku telpon belasan kali, namun tak ada tanda-tanda bang Haris membalas pesanku ataupun mengangkat telponku. Bila aku pesan ojek online, uangku takkan cukup. Sekarang aku hanya bisa pasrah akan keadaanku kedepannya.

Bayangkan saja, saat ini aku tengah berdiri sendiri di depan gerbang sekolah yang telah tertutup rapat. Semua siswa telah kembali ke hunian masing-masing. Hanya tinggal aku seorang diri yang tengah meratapi nasib. Aku sungguh menyesal menolak ajakan Erina yang ingin mengajakku pulang bersamanya.

Tak hanya itu, aku juga menolak ajakan Dika dan Arga. Bukan apa-apa, aku menolak ajakan mereka karena rumah kami tak searah. Aku tak mau merepotkan mereka berdua.

Dan alhasil aku berakhir disini, berdiri menunggu sesuatu yang tak pasti. Seperti aku yang terus berharap menunggu Rafa yang akan membalas perasaanku, namun tak kunjung terjadi. Sungguh menyedihkan.

Detik demi detik berlalu, menit demi menit terlewati, jam demi jam berganti. Sekarang sudah pukul 5 sore. Penantianku pun tak kunjung berakhir. Sudah satu jam aku menunggu kedatangan bang Haris.

Dari aku berdiri, kemudian berjongkok, duduk, loncat-loncat akibat pegal, jalan bolak-balik seperti orang tak ada kerjaan, namun usahaku sia-sia. Aku ingin menelpon papa, tapi pasti masih berada di kantor. Mama? Pasti di rumah nenek sedang menemani nenek yang sendirian.

Huh, aku harus bagaimana? Apakah aku pulang harus jalan kaki? Jarak antara rumahku dan sekolah lumayan jauh, kira-kira 2.9 kilometer. Jujur aku sudah lelah, letih, lesu, lapar, lemas.

Arrgghhh! Yasudahlah, tak ada pilihan lain selain jalan kaki. Dengan langkah yang lesu dan sedikit tertatih tatih, akibat luka di lututku yang belum terlalu kering.

Gini amat dah nasib gue. Sehari penuh gak nemu sial kayaknya kurang afdol deh hidup gue, makanya tiap hari ada aja yang bikin gue naik darah. Gerutuku sambil berjalan.

Seandainya ada seseorang yang menemukan aku di pinggir jalan ini, lalu memberikan tumpangan sampai rumah, aku akan sangat bersyukur.

Kalo dia perempuan akan aku jadikan teman, kalo dia laki-laki akan aku jadikan...? Apa ya? Masa pacar? Mana  mungkin baru kenal langsung tiba-tiba jadi pacar. Jadi teman dulu lah ya, hehe.

Buset dah, ini kenapa gak nyampe-nyampe sih?! Dah capek banget nih gue. Wee, siapa pun bantu gue... Help me! Teriakku dalam hati.

Tiba-tiba...

"Door!!!" seseorang mengejutkanku dari arah belakang.

"Anj...as ya?" umpatku batal saat menengok ke arah belakang.

"Anjas siapa? Gue bukan Anjas, gue Dika." ucap Dika sambil tersenyum bingung melihatku.

"Ehehehe... An-anjas itu, eum anaknya tetangga dari tetangganya tetangga gue, Dik." ucapku ngasal.

"Anaknya tetangga dari tetangganya tetangga lo?" ia nampak berpikir sejenak.

"Eh, lo darimana, Dik? Kok lo bisa dateng-dateng langsung ngagetin gue sih?" aku mengalihkan perhatiannya.

"Oh, itu gue tadi abis ke minimarket beli sabun mandi. Trus gak sengaja liat lo jalan kaki." jawabnya sambil berusaha menampilkan senyum terbaiknya.

"Ooh, motor lo dimana?" tanyaku lagi pada Dika.

"Tuh, masih di depan minimarket. Tadi gue buru-buru mau nyusulin lo, biar gak keburu ilang." ucapnya.

"Lo kenapa jalan kaki? Gak dijemput ya?" tanya Dika dengan raut wajah yang berubah.

[1] My True First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang