Penyakit Bunda

425 58 0
                                    

"Kau selalu saja membuat Bunda malu! Bermain-main. Sudah berapa kali Bunda bilang." Teriak Bunda pada ku. Aku menatap nanar pada Bunda.

"Bunda, Taufan selalu membuat Bunda malu. Bahkan saat aku sudah berusaha sebaik yang aku bisa, Taufan selalu salah dimata Bunda." Aku menjawab dengan frustasi. Selalu saja salah. Apa salahnya kalau aku tidak bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu?

"Apa yang akan Bunda katakan kepada orang kalau kau tidak lulus tepat waktu? Mereka tau kalau anak Bunda pintar-pintar. Tapi kalau kau tidak lulus tepat waktu, dimana Bunda akan menaruh muka Bunda?" Murka Bunda.

"Segala cacian makian yang akan Bunda dapat. Lihat Gempa, walaupun masih kuliah sekarang, tapi saat kelulusannya sudah terjamin tepat waktu. Lihat Kakak mu itu! Dia bahkan sudah bisa menghandle perusahaan dari saat ia masih baru masuk kuliah.

"Kau? Apa yang kau lakukan? Sibuk bermain dan berulah hingga membuat Bunda malu!" Bunda melemparkan bantal sofa kepada ku bertubi-tubi. Aku berusaha menghindar. Penyakit Bunda kambuh lagi.

"SAMPAI KAPAN KAU AKAN JADI ANAK TIDAK BERGUNA BEGINI?" Teriak Bunda. Dari gelas, bantal, figura dan lainnya Bunda lempar begitu saja untuk melampiaskan amarahnya. Teriak marah-marah bahkan tidak segan-segan sampai menyakiti dirinya sendiri.

"SAMPAI KAPAN TAUFAN?" Bunda melemparkan sepatu kepada ku. Aku kaget berusaha menghindar walaupun telat.

Halilintar datang berusaha menahan Bunda yang mulai menyakiti dirinya sendiri. Dada ku nyeri mendengar setiap kata-kata Bunda. Walaupun memang karena disertai penyakitnya yang kambuh, tetap saja itu menyakitkan bagi ku.

Bunda mendapatkan penyakit ini saat aku masih kelas 10. Dimana aku sering keluar masuk BK. Tapi beberapa bulan terakhir ini tidak sering kambuh, karena bunda selalu mengikuti terapi. Namun, sepertinya bunda melewatkan jadwal terapinya beberapa kali akhir-akhir ini hingga penyakitnya kambuh.

Gempa datang mengambil obat penenang dan meminumkan paksa kepada bunda. Ya, ini biasa terjadi ketika bunda kambuh. Jangan heran jika melihat Gempa dan Halilintar jadi agak kasar sendiri saat meminumkannya. Karena ini lebih susah dari saat meminumkan ku obat. Yang pertama karena berusaha menghargai Bunda sebagai orang tua, dan yang kedua karena Bunda yang terus memberontak.

Aku hanya diam menetralisasikan diri ku yang juga disertai rasa kecewa dan amarah. Aku tidak bisa membantu banyak, karena Bunda akan lebih marah saat aku membantunya.

Bunda menangis dipelukan Halilintar. Obat tersebut lumayan membantu walau hanya sedikit. Halilintar mengkode ku untuk pergi. Aku mengangguk lalu pergi menuju kamar ku.

Aku sudah percaya diri untuk menunjukkan perkembangan ku yang lumayan memuaskan menurut ku. Tapi alih-alih apresiasi, yang ada aku hanya mendapat amukan dari Bunda.

Bagaimana dengan ayah Gempa? Dia sekarang sedang bekerja.

Aku duduk di kasur ku. Menyandarkan diriku dengan tembok. Mata ku sudah memanas, bulir-bulir air mata ku sudah jatuh ke pipi. Aku benci disaat seperti ini. Aku benci saat aku malah menangis. Aku merutuki diriku yang cengeng.

"Aku benar-benar tidak berguna," aku tertawa seperti orang gila memaki diriku sendiri. Tangisan ku pecah. Samar-samar aku mendengar Bunda kembali marah dan memaki diriku. Ini menyakitkan.

"Aku memang anak yang tidak berguna, ceroboh, dan banyak tingkah. Aku menjijikkan." Dari setiap kata-kata yang keluar dari mulutku aku menyesalinya. Kali ini aku menghardik diri ku sendiri.

Aku juga pernah menangis seperti sekarang, menangis dan menertawai diri ku sendiri yang menyedihkan. Waktu itu saat aku memegang kertas diagnosis dari dokter.

TAUFAN?! [Tamat] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang