Itu, Ayah Kami

225 47 4
                                    

"Itu..., Ayah kami," katanya yang membuat ku terkejut.

Halilintar beranjak dari duduknya bersama dengan Ochobot saat melihat interaksi ganjil antara aku dan Petir. Halilintar menanyakan apa yang terjadi pada ku, dan aku hanya menunjuk kemana arah yang ditunjuk oleh Petir tadi.

Bagaimana tidak terkejut, pasalnya, orang yang Petir tunjuk adalah orang yang pernah aku lihat di layar Hp ku. Itu Voltra, Ayah Halilintar. Halilintar melihat ke arah yang aku tunjuk, tubuhnya seperti membeku seketika, wajah dinginnya perlahan luntur digantikan dengan tatapan sendu.

Reaksi Halilintar yang seperti itu mengundang pertanyaan yang lain.

Voltra Verniante, orang yang dikabarkan menghilang sesaat setelah perceraiannya dengan Bunda. Kini aku dapat melihatnya didepan mata ku sendiri. Wajah tegasnya tidak jauh berbeda dengan milik Halilintar.

Aku meneguk ludah ku dengan susah payah. Aku menatap Petir meminta penjelasan. "Dia ayah ku, Kak. Ayah kami menitipkan kami di panti asuhan setelah Ibu kami meninggal. Karena kami tidak suka tinggal di panti, kami memilih kabur hingga ke kota ini." Jelas Petir dengan susah payah karena takut saat melihat mata ku yang sedang menatapnya dengan lamat.

Aku berdiri melihat Halilintar yang masih tidak bergeming ditempatnya. Sedangkan yang lain, masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya. Mereka tidak tau-menahu tentang bagaimana rupa Voltra, oleh karena itu mereka menatap bingung ke arah Halilintar yang membeku ditempat.

"Datangi saja, Li. Coba pura-pura akrab terus tanyain tentang anaknya." Usul ku, sembari mendorong Halilintar untuk maju. Sayangnya, apa yang aku lakukan mengundang perhatian orang yang Halilintar tatap terus tanpa kedip.

Walaupun selama ini Voltra tidak pernah lepas tangan dari tanggung jawabnya menafkahi Halilintar, tapi bukan berarti mereka tidak akan mengalami kesenjangan yang luar biasa. 24 tahun Halilintar tidak melihat ayahnya, namun kini dengan keadaan yang tidak terduga, mereka dipertemukan lagi.

Voltra, orang itu jelas terkejut saat melihat ketujuh anaknya sedang bermain, hanya Petir yang sadar, sisanya masih asik bermain. Begitu juga dengan orang yang mematung menatapnya dan aku mendorongnya untuk mendekat.

Apa yang terjadi? Mungkin begitu pikirnya.

"A-Ayah," panggil Halilintar. Suara Halilintar membuat semuanya menatapnya, mereka baru mengerti setelah mendengar satu kata keluar dari Halilintar.

Voltra saat itu berlari untuk menghindari kenyataan dihadapannya, tapi sayangnya terlambat, Blaze dengan yang lain berlari mengejarnya. Kecuali aku, Ais dan Halilintar. Aku dilanda dilema, antara mengejar Voltra atau tetap menemani Halilintar disini.

^v^

Benar kata orang, disaat bulan Ramadan semua intan berlian akan keluar dari goanya bahkan manusia yang mengerikan seperti hewan-hewan buas atau liar pun juga akan keluar dari hutannya.

Seperti Voltra contohnya.

Sepertinya kami yang memang hampir tidak pernah keluar, atau kami yang tidak sadar akan kehadirannya? Dan semua itu dibiarkan sebagai tanda tanya yang tidak perlu dijawab.

Blaze dan yang lain berhasil menangkap Voltra. Dibawanya lah Voltra kedalam mobil, habis itu dibawa sampai ke suatu tempat agar tidak kabur.

"Siapa kalian?" Tanya Voltra. Kami saling pandang, begitu juga ketujuh anak kembar itu. "Ayah tidak usah pura-pura tidak tahu kami!" Sahut Angin yang sepertinya dimatanya terdapat dendam kesumat. Buktinya, Ayahnya diikat tangannya sekuat mungkin agar tidak kabur.

Aku tetap diam menatap interaksi sekitar. Merasa tidak ada perkembangan, aku maju. Gempa tidak bisa diandalkan kali ini karena gugup bertemu dengan Ayah tirinya.

"Maaf Om. Perkenalkan aku Taufan, aku salah satu adik dari Halilintar. Sebelumnya, Om bisa perkenalkan diri lebih dulu. Om tidak perlu takut, karena kami tidak akan gigit, Om." Aku mengedipkan mata ku dan memperkenalkan diri panjang lebar.

Halilintar diam tampak melamun ke arah Ayahnya. Entah kenapa, rasanya Halilintar seperti kehilangan jati dirinya semenjak pertama kali melihat Ayahnya didepan matanya sendiri.

"Kalian tidak akan gigit, tapi dua anak ini seperti ingin memakan saya hidup-hidup," ucapnya menunjuk Blaze dan Duri. Oh, Ayolah! Lagi pula tenaga mereka tidak sebanding dengan tenaganya! Aku berteriak dalam hati karena gemas SEKALI!

"Tidak kok, mereka tidak gigit, hanya tampangnya saja seperti ingin menggigit orang, aslinya mereka anak baik." Ujar ku penuh penekanan. Emosi ku lagi naik turun dari tadi, ku harap tidak ada yang memancing emosi ku lagi. Karena kalau marah, aku bisa ketawa kaya orang gila sambil ku tembak pakai pistol (bercanda yang teman-teman sekalian, aku marahnya cuma ngambek aja kok).

"Jadi Om, ayo perkenalkan diri!" Seru ku. Voltra mengangguk lalu menghela nafas pelan. "Saya Voltra, dan biar saya ingatkan kalau saya tidak punya anak sebanyak kalian!"

Blaze tertawa menggelegar, tentu saja mereka semua tidak seluruhnya anak miliknya, kenapa harus dia berikan penjelasan untuk itu. Didalam hati aku menangis bombay karena menahan diri agar tidak menertawakan Ayah Halilintar juga. Habis sudah image baik Halilintar tercoreng karena Voltra.

"Saya serius!" Sentaknya. Ketujuh anak kembar itu langsung menangis dalam diam karena takut, kecuali Petir, yang kalau mau nangis harus sembunyi dulu.

"Jangan membentak anak kecil, Om. Mereka tidak ada salah dengan Om. Mereka hanya rindu untuk bertemu dengan Ayahnya saja," ucap ku. Seperti tersihir, Voltra terdiam merenungi kesalahannya.

"Maaf, saya tidak bisa menjadi Ayah yang baik."

Aku menepuk bahu Voltra pelan, menunjuk seorang bayi besar yang seperti ingin menangis dihadapan semua orang, tapi ia tahan. "Dia juga anak Om, dia sudah besar, tapi pikirannya masih seperti anak kecil. Lihat matanya, sudah basah." Aku berbisik didekatnya, namun masih dapat didengar oleh yang lain.

Halilintar yang mendengarnya mendekat pada ku, mata basahnya menatap marah pada ku. Aku harap aku tidak menangis saat bertemu dengan ayah ku sendiri, agar Halilintar tidak bisa balas dendam pada ku nanti. Sontak Halilintar memukul lengan ku dengan penekanan dan sakit yang luar biasa, bisa ku tebak nanti lengan ku mendapatkan cap lima jari milik Halilintar di kulitnya.

"Kau adik yang menyebalkan, tapi juga mengesalkan." Hey, itu dua kata yang masih serumpun!

"Kau sudah besar, Nak. Padahal saat itu kau masih kecil, menangis digendongan Bunda mu. Glad to see you again, my child."

TAUFAN?! [Tamat] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang