Aib Yang Terbuka

445 67 1
                                    

"Taufan, bagaimana rasanya hidup dengan saudara tiri dari tiga ayah berbeda?"

Pertanyaan itu diberikan pada ku secara tiba-tiba. Aku terkejut bukan main. Bagaimana dia bisa tau rahasia yang keluargaku simpan sejak dulu?

Aku menunduk sayu, rentetan ingatan dimana aku mengetahui bahwa ayah Gempa bukan ayah kandung ku kembali kepermukaan. Ingatan ketika melihat ayah ku pergi meninggalkan ku kembali muncul. Ingatan yang sudah ku simpan sejak lama.

Aku tahu itu bukan lah hal yang bisa disebut aib. Tapi entah kenapa aku menyebutnya aib.

"Fan?" Orang yang memberiku pertanyaan secara tiba-tiba itu memanggilku. Aku masih diam. Tidak tahu apa kata-kata yang bisa aku berikan untuk mengatakan apa yang aku rasakan.

"Tidak apa-apa kalau tidak mau menjawab," ucapnya. Aku mengangkat kepala ku memandangnya. "Bagaimana kau tau mereka adalah saudara tiri ku?" Aku bertanya balik. Hal yang masih aku pertanyakan dikepalaku.

Orang itu tersenyum kecil. "Kau baru saja mengatakannya." Aku semakin dibuat berfikir dengan jawabannya. Sejak kapan aku mengatakannya? Tidak mungkin aku tiba-tiba mendadak lupa ingatan.

Ais, Orang itu terkekeh lagi. "Bercanda. Kau tidak mengatakan apa." Aku melihat gelagat Ais yang aneh. Tidak biasa Ais suka bercanda begini, biasanya hanya akan tidur dan bermuka datar.

"Ais, kau kesambet apaan coba? Hari ini kau aneh sekali. Biasanya jam segini kau sudah tidur sampai malam dan tidak suka basa-basi." Ujar ku. Tubuh ku merinding melihat Ais yang justru malah tertawa ketika aku mengatakan itu.

Fix, dia kesurupan!

Atau, jangan-jangan Ais dan Blaze sedang ketukar jiwanya seperti dinovel-novel? Tapi itu tidak masuk akal. Tidak mungkin. Ini dunia nyata.

Ais mengayunkan tangan didepan wajahnya menyangkal pernyataan ku. "Tidak, tidak ada yang aneh dari ku. Aku sedang berusaha menghibur agar suasananya tidak terlalu tegang disini. Di rumah ini suasananya sangat tegang." Jelas Ais panjang Lebar.

Mungkin Ais benar. Sejak Gempa mulai berangkat menuju kuliahnya, suasana rumah ini kembali tegang. Padahal tadi, Gempa sudah berusaha membuka topik agar suasananya membaik.

"Oh. Gitu ya. Kenapa tiba-tiba kepikiran topik yang bahkan kau tidak tahu kebenarannya?" Tanya ku. Kini giliran aku yang membuka topik. Aku mengerti apa yang Ais maksud tadi. Memang ada yang membuat suasana rumah ini menjadi tegang sedari tadi.

"Aku baru tahu kalau perusahaan yang Halilintar pegang sekarang adalah milik keluarga Verniante. Yang dimana warisannya hanya akan diturunkan kepada keturunan sah dari keluarga Verniante sendiri."

Aku meringis mendengarnya. Itu benar.  Keluarga Verniante memiliki banyak perusahaan. Hingga dijuluki sebagai keluarga bangsawan dengan darah biru sangking tajirnya.

Perusahaan yang sedang dipegang oleh Halilintar itu hanya satu dari banyaknya perusahaan yang dikelola oleh keluarga Verniante.

Perusahaan yang bergerak dibidang medis dan kesehatan yang sudah bercabang hingga ke beberapa belahan dunia. Walaupun begitu, perusahaan ini masih tergolong sebagai perusahaan kecil milik keluarga Verniante.

Ayah Halilintar adalah satu dari 10 bersaudara yang mewarisi kekayaan keluarga Verniante. Ketika ayah Halilintar dinyatakan menghilang setelah menceraikan bunda saat Halilintar masih berumur setahun, Halilintar langsung mewarisi kekayaannya.

"Lalu?" Aku membiarkan Ais yang masih menjeda ucapannya.

"Sedangkan nama keluarga yang bersanding dibelakang nama Halilintar bukan Verniante. Tapi, Qaullion. Nama keluarga milih ayah Gempa. Tentu saja itu adalah pelanggaran pertama yang dilakukan oleh salah satu anggota Verniante."

Keluarga Verniante adalah orang kaya lama yang masih menduduki peringkat pertama yang mendapat julukan bangsawan berdarah biru. Yang dikenal dengan peraturan ketatnya. Dan yang dilakukan oleh keluarga Verniante adalah pelanggaran berat. Terkecuali jika Halilintar masih mendapatkan tetesan darah dari keluarga Verniante sendiri.

Aku menunduk mendengar penjelasan Ais. Pengamatan Ais terlalu jeli. Sampai aku tidak menemukan celah untuk menyangkal perkataannya. Memang sejauh itu Ais mengenal keluarga ku. Sampai silsilah keluarga ku saja dia hafal. Tapi dia tidak pernah membahas tentang keluarga ku.

Aku tersenyum. "Kau benar, Ais. Akhirnya, setelah sekian lama kau memecahkan teka-tekinya. Setiap aku bercerita, aku selalu barusaha memberikan siratan berarti. Dan setelah belasan tahun, kau akhirnya bisa menjawabnya." Aku menatapnya penuh arti.

"Ya, keluarga mu memang memiliki banyak keganjalan."

"Kau tahu? Semakin lama cerita ini semakin membosankan. Semuanya mulai terbongkar. Dan aku masih tidak tahu akan menulis apa diendingnya nanti," kata ku. Ais mengendikkan bahu.

"Mungkin kematian seseorang cocok dijadikan sebagai ending dari cerita mu," ucapnya asal. Aku membelalakkan mata ku. Enak saja apa yang ia katakan.

Aku, kan, tidak bisa menulis cerita seperti itu. Bisa-bisa aku menangis terus padahal baru dua kalimat aku menulisnya.

"Aku bercanda." Ais terkekeh lagi.

Percakapan kami berdua terhenti ketika suara Duri dan Solar terdengar memekakkan telinga.

"AKU PULANG!!!" Teriak Duri. Duri berlari kearah ku ketika melihatku berada dirumahnya. "Yeay! Akhirnya Kak Taufan datang kerumah ini lagi."

Duri loncat kearah ku. Aku yang tidak siap langsung ditindih oleh tubuh Duri yang lengket dan berat. "Ugh, lepaskan aku, Duri. Tubuh mu bau sekali. Mandi sana!" Aku mengusir Duri karena tubuhnya yang luar biasa lengket. Biasanya Duri berbau bayi, tapi kini Duri berbau tengik.

"Kak Taufan, kenapa begitu sii. Kak Taufan jahat!" Kesalnya sembari berjalan menuju kamarnya. Aku, Solar dan Ais yang melihat Duri yang mengomel pun terkekeh. Lihat lah, Duri seperti anak balita yang sedang merajuk.

"Kak Taufan, apa kabar?"

TAUFAN?! [Tamat] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang