Kami makan bersama disalah satu restoran. Pipiku membiru karena mendapat kecupan sayang dari kepalan tangan Halilintar. Tapi jangan salah, kalian kira aku mendapatkan nasib sial? Aku memang mendapatkan nasib sial karena mendapatkan bogeman mentah dari tangan Hali, tapi itu tidak menyurutkan semangat ku untuk menguras dompet Halilintar malam ini.
Meja yang kami tempati penuh dengan berbagai menu makanan. Sebagian besar menu makanan itu adalah pesanan ku sendiri. Tidak lupa tadi aku membeli satu hoverboard berwarna biru yang harganya lumayan wah untuk dompet ku.
Saat aku berlari menghindari Halilintar tadi, aku berhenti disalah satu toko yang menjual berbagai macam skateboard. Aku berhenti karena melihat sebuah hoverboard yang dipajang dibalik jendela kaca tempat untuk memamerkan barang yang berkualitas bagus. Saat aku melihat harganya yang lumayan membuat dompet ku menangis, jadi aku putar balik dan menyerahkan diri pada Halilintar yang sedang mengamuk seperti banteng. Setelahnya aku menunjuk hoverboard yang ingin aku beli.
Gempa juga sempat membeli buku baru, dan jangan lupa panci beli dua set gratis satu set Sutil. Astaga, aku menepuk dahi melihatnya. Seperti emak-emak rempong saja.
Dan kita berakhir direstoran untuk mengisi perut kami yang kosong.
Aku makan dengan lahap seperti orang yang tidak diberi makan. Saat dirumah Blaze, perut ku serasa tidak bersuara karena terlalu mengkhawatirkan sang pemilik rumah. Setelah selesai mengobati pemilik rumah barulah aku menyadari perutku berbunyi keroncongan, Duri sudah memasak menu makanan favorit Blaze, ayam goreng, tapi aku tidak sempat memakannya karena keburu dijemput oleh Gempa.
Karena itu sekarang aku makan seperti orang yang dilanda kelaparan beberapa tahun tidak diberi makan.
"Makan pelan-pelan, nanti tersedak baru tau."
Halilintar memperingati ku, memberikan minuman didepan ku seakan tau aku akan tersedak.
"Uhuk, uhuk!"
Aku hampir berfikir kalau Halilintar adalah cenayang. Aku akhirnya tersedak, sebutir nasi menyelonong masuk kedalam lubang hidung ku. Ya ampun, ini baru apes. "Mampus! Sudah kubilang makan pelan pelan biar tidak tersedak." Gempa yang duduk disamping ku membantu menepuk pundak ku berharap aku berhenti tersedak. Air mata ku mengalir padahal aku tidak sedang menangis. Aku meminum minuman yang sudah disediakan oleh Halilintar.
"Gempa, nasinya masuk ke hidung." Rengek ku pada Gempa. Gempa sedikit terkekeh, "Keluarin saja nasinya, Kak." Aku menggeleng. "Tidak bisa, Gem. Rasanya geli."
"Makanya, jangan suka jahilin orang, jadinya, kan, kena kualat."
Ya ampun, Hali malah mengomeli ku.
"Sedot saja, nanti keluar sendiri." Usulnya. Aku menyedot sebutir nasi dihidung ku seperti kata Hali, dengan sekuat tenaga yang aku kerahkan, tidak kunjung keluar juga sebutir nasinya. Aku menggeleng sepertinya aku harus melanjutkan makan dengan sebutir nasi dihidung.
Halilintar tertawa kecil. Sepertinya senang sekali melihat adiknya tersiksa.
O_o
Kalian sadar tidak kalau buku ini sudah 30 bab? Tapi sampai sekarang aku masih tidak mengetahui tentang ayah ku.
Bagaimana kalau sampai buku ini selesai tapi aku tak kunjung mengetahui tentang ayah ku? Aku mulai berfikir untuk membuat ending teka-teki, tapi siapa tau juga aku akan mengetahui siapa ayah ku, atau bahkan lebih cepat.
Kami sudah berada didalam mobil, rencananya kami akan kembali kerumah sakit lebih dulu sebelum pulang kerumah.
Senyap.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFAN?! [Tamat] ✓
FanfictionTaufan, bagaimana hidup dengan saudara tiri dan tiga ayah yang berbeda? Bukan poliandri ❌ 15+ Cover by Twitter : @Chanom_Kun