"Kalau kau mengatakannya dengan masuk akal, aku akan menerimanya asal kau tidak pergi sendiri."
Ekhem, copas (copy paste) dari bab sebelumnya. Biar kalian bisa nyambung bacanya. Hari ini aku mau double up. Karena sepertinya aku harus meluruskan bab kemarin, hehe.
Aku duduk di ruang tamu sedang membahas tentang Nut. Mulai dari penyebab hingga waktu menguburkannya. Ibu Nut menyambut ku sejenak, setelah itu beralih menuju tamu lainnya yang datang. Aku ditemani oleh kakak laki-laki Nut.
"Jadi tidak ada yang tau perkataan siapa yang benar. Ada yang bilang mayat Nut hancur mulai dari dada hingga kepala. Tidak ada yang benar. Padahal saat terakhir kami melihatnya, tubuh anaknya masih utuh." Jelasnya sembari menunjukkan fotonya. Aku dan Gempa memangut paham.
"Itu kenapa bisa, ya, pernyataan orang berbeda-beda? Tapi, penyebab meninggalnya memang karena kecelakaan?" Kakak Nut mengangguk.
"Benar. Jadi saat Nut pulang kuliah kemarin dia sempat mampir ke acara ulang tahun temannya. Nut pulang lebih dulu karena ada tugas yang mau ia selesaikan. Nah, saat ditengah perjalanan, Nut tiba-tiba diserempet sama motor dari belakang. Saat Nut terjatuh, tiba-tiba truk lewat dengan kecepatan tinggi." Aku meringis mendengarnya.
"Tapi saat terakhir melihat jasad Nut, tubuhnya utuh. Malah lebih kelihatan seperti sedang tertidur biasa." Jelas kakaknya. Segala hal tentang adiknya ia ceritakan.
"Adik ini benar-benar tertutup. Yang kami kenal, Adik ini anaknya nyebelin. Tapi ternyata diluar anaknya ternyata benar-benar baik. Tidak hanya satu dua orang yang bilang begitu. Tapi, hampir semua orang yang mengenal Nut mengatakan itu. Jangankan aku, ayah ku saja tidak tau."
"Pernyataan tentang orang baik dipanggil duluan itu memang benar. Aku percaya itu. Kalau kaya aku gini, ya, disuruh Tobat terlebih dulu."
Kali ini kakaknya menjelaskan tentang kebaikan adiknya. Aku tidak banyak protes, Nut memang benar-benar orang baik. Dan itu adalah pernyataan yang paling benar. Aku sendiri beberapa kali mengalaminya.
Gempa sesekali menyetujui perkataan kakak Nut. 2 jam kami habiskan dengan bercakap-cakap dengan Kakak Nut, kami berpamitan saat merasa sudah selesai. Kali ini Gempa yang menyetir.
Aku lebih banyak diam dan merenung. Mengingat tentang seluruh rentetan cerita kakak Nut. Sebelum pulang ke rumah, kami menyempatkan mampir menuju kuburan Nut.
"Bagaimana dengan bunda sekarang?" Tanya ku pada Gempa saat tiba-tiba ingatan tentang kemarin malam terlintas kembali. Gempa diam sejenak.
"Bunda sekarang sedang dalam terapi. Sepertinya bakal lama. Sedari kemarin bunda tidur hanya dua jam, bunda juga jadi irit bicara. Terus tiba-tiba merasa putus asa."
Tatapan Gempa mendadak sayu. Aku mengerti apa yang Gempa rasakan.
Bayangkan bagaimana jika orang yang kita sayang tampak menyedihkan dihadapan kita?
"Maafkan aku." Aku meloloskan kata maaf dari bibir ku. Aku juga merasa sedih mengingat jika bunda mengidap penyakit itu karena ku. Gempa memaksa dirinya untuk tersenyum.
"Jangan minta maaf padaku, minta maaf lah pada bunda," ucapnya. Aku mengerti maksudnya.
"Mau menjenguk bunda?" Tanya Gempa. Berhubung masih jauh dari arah rumah, Gempa mengusulkan. Aku menggeleng. "Tidak usah. Nanti bunda kambuh lagi. Aku tidak mau," ucap ku.
"Oke."
Q_Q
"Taufan." Seseorang memanggilku dengan suara beratnya. Mengalihkan fokus ku dari laptop dihadapan ku. Aku tahu siapa orang itu. Aku tidak menjawabnya, bahkan menatapnya saja aku tidak mau.
"Apa Taufan masih tidak menerima ayah? Sudah 22 tahun, Nak."
Ya, itu ayah Gempa. Memang sudah 22 tahun kami tinggal bersama, tapi aku sudah menganggapnya biasa. Sampai-sampai aku tidak tahu apakah aku sudah menerima orang ini atau tidak.
"Mungkin bisa bicara lain kali. Aku sedang sibuk."
Aku kembali kepada skripsi ku. Tinggal sedikit lagi untuk mendapatkan ACC dari dosen. Aku mengerjakannya dengan cepat agar aku bisa lulus tepat waktu seperti kemauan bunda.
Tinggal sebulan lagi wisuda angkatan ku untuk yang lulus tepat waktu.
"Apakah ada waktu kita untuk saling berbicara nanti?" Tanyanya. Aku mengendikkan bahu tidak perduli. "Baiklah, mungkin nanti kita bisa saling berbicara."
Ayah Gempa pergi meninggalkan ku tidak lupa ia menutup pintu kamar.
Setelah selesai dengan laptop ku, aku menghubungi dosen pembimbing ku untuk membuat janji mengumpulkan revisi berikutnya. Aku harap setelah ini akhirnya di ACC. Aku menutup laptop ku dan pergi kebawah.
Aku berjalan menuju kamar Gempa. Aku akan memberitahu Gempa.
Kamar Gempa tampak sangat bersih dan rapi. Nyaman untuk digunakan sebagai tempat belajar. Aku memperhatikan setiap sudut ruangannya. Tidak menemukan Gempa dikamarnya.
"Ngapain ke kamar ku, Kak?"
Suara Gempa mengagetkan ku. Ternyata Gempa berada di belakangku sedang membawa secangkir coklat hangat. Aku mengedip beberapa kali sampai aku tersadar. Aku menepuk kepala ku.
"Ya ampun, Gem. Kau ngagetin aja. Aku kesini mau mencarimu." Aku mempersilahkan Gempa masuk ke kamarnya.
"Oh, aku tadi di dapur lagi buat coklat," ucap Gempa. Gempa masuk kedalam kamarnya mempersilahkan aku duduk dikasurnya. Gempa meletakkan coklat hangatnya diatas meja belajarnya. Setelahnya ikut duduk disampingku.
"Ada apa, Kak?"
"Besok kau ada kelas jam berapa?" Tanya ku. Gempa mengetuk dagunya mengingat. "Sore, jam 2. Selesainya hampir mangrib." Jawabnya. Aku mengangguk.
"Oh, gitu, ya. Besok aku ada janji temu dengan dosen pembimbing ku jam 10 pagi, hehe." Gempa membatu sejenak.
"Eum, bisa tidak? Aku kan tidak punya kendaraan, Gem." Aku memelas dihadapan Gempa. Semoga saja Gempa mau mengantarkan ku.
"Atau kau bisa tungguin saja. Aku tidak akan kabur kok," kata ku meyakinkan Gempa. Gempa menunduk sedikit, sepertinya sedang berfikir.
"Iya deh, Gempa tungguin. Nanti tidak usah pulang sekalian sampai mangrib." Entah itu untuk menyindir ku atau tidak. Suaranya biasa saja tidak seperti nada menyindir, jadinya aku, kan, malah ragu.
"Eh, beneran?"
Aku hanya ingin memastikan saja, Gem. Hehe:)
Gempa mengangguk, "iya, Kak. Nanti kalau pulangnya kurang dari jam 2, kita bisa mampir ke rumah Blaze sama adik-adiknya. Aku kangen sama Duri dan Solar."
Jangan ditanya lagi, aku senang bukan main. Aku tersenyum lebar hingga tidak sadar tubuhku loncat sedikit. Malu si sebenarnya, tapi tak apa. Itu memang ciri khas ku kalau kata orang.
"Hehe, makasih Gempa cayang! Aku mau makan dulu. Papay." Aku loncat kegirangan karena senang. Akhirnya aku bisa mampir-mampir.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFAN?! [Tamat] ✓
FanfictionTaufan, bagaimana hidup dengan saudara tiri dan tiga ayah yang berbeda? Bukan poliandri ❌ 15+ Cover by Twitter : @Chanom_Kun