"Oh, begitu, ya, ceritanya? Pantas saja hari itu kau bertanya tentang golongan darah, ternyata disekolah mu ada yang bertanya tentang itu," ucap Gempa. Kami sedang berbelanja dipasar, sembari menunggu antrian yang lumayan panjang, aku menjawab pertanyaan Gempa yang tiba-tiba.
"Terus kalau kak Hali gimana? Gimana kakak tau kalau kak Hali bukan anak kandung ayah?"
Tuh kan, semakin melebar pertanyaannya.
"Oh, kalau itu singkat si. Waktu itu keluarganya Hali datang dan nyerahin kertas berisi surat pengalihan perusahaan. Waktu itu aku cengo tidak tau mau bilang apa, karena perusahaan itu diberikan turun menurun ke keturunan sah mereka. Sedangkan, nama keluarga Hali bukan Verniante tapi Qaullion." Jelas ku, kami maju satu langkah saat pembeli berikutnya sudah selesai membeli, semakin lama antrian semakin pendek.
"Terus, aku yang orangnya penasaran, akhirnya mencoba mengulik tentang Hali di kamar bunda, waktu bunda sedang bekerja. Tapi sepertinya aku tidak perlu bekerja keras untuk mencari tahu, karena di meja kerja bunda terdapat 3 kartu kelahiran milik kita. Disana, nama keluarga Halilintar itu Verniante dan bukan Qaullion." Jelas ku. Gempa mengangguk-angguk mendengar penjelasan ku.
"Tapi bunda tidak tau kalau kau tahu tentang asal-usul keluarga kita, Kak. Bahkan bunda tidak pernah membicarakan tentang itu, bunda sangat-sangat tertutup pada kita," kata Gempa. Aku mengendikkan bahu tidak perduli.
"Tak peduli bunda tau atau tidak, aku bahkan tidak memerlukan penjelasannya."
Antrian sudah semakin pendek, sebentar lagi giliran aku dan Gempa untuk membeli bahan makanan yang diincar. Beberapa menit kemudian, akhirnya kami bisa bernafas lega saat berhasil keluar dari antrian yang panjang.
"Sebelum pulang, aku mau jenguk bunda di tempat rehabilitasi dulu. Tidak apa, kan, Kak?"
Aku mengangguk, aku juga berfikir untuk menjenguk si ketujuh anak kembar manis, yang rumahnya tidak jauh dari rumah sakit.
O^O
"Kau tidak ikut masuk, Kak?" Tanya Gempa. Aku menggeleng kuat. "Sudah sana masuk, bunda juga pasti tidak ingin bertemu dengan ku," ucapan ku itu mampu membuat Gempa diam dan langsung pamit pergi. Justru, itu memudahkan ku untuk pergi.
Aku berjalan santai keluar gerbang rumah sakit yang sentiasa terbuka dari pagi hingga ke pagi lagi. Aku bersenandung hingga sampai dirumah kecil, aku yang menyewa rumah itu untuk mereka.
Anak kembar tujuh berusia 10 tahun itu hidup sendiri, tanpa keluarga, tidak lupa juga aku menyewa seseorang untuk menjaga mereka. Aku membayarnya dengan uang sangu ku yang bunda berikan.
Aku mengetuk pintu kayu itu dengan riang.
Tok! Tok! Tok!
Pintu itu terbuka perlahan memperlihatkan seorang anak yang sedang mengucek matanya. Ini masih terlalu pagi untuk mereka. Aku terkekeh melihat ekspresi anak itu yang terlihat antusias saat melihat ku, itu Angin.
"Kak Ufan datang!" Serunya pada anggota rumah yang lumayan ramai untuk ukuran sekecil ini. Yang lain bersorak riang menyambut ku. Duh, senang sekali aku melihat mereka, jangan ditanya, aku memang merindukannya.
"Hai, bagaimana kabar kalian?" Tanya ku saat mereka sudah mengerumuni ku di sofa. Salah satu anak, Tanah, mengeluh.
"Tidak baik, Kak. Mereka selalu saja membuat rumah berantakan, dan juga Kak Angin, Api dan Daun yang selalu tiba-tiba membawa hewan setelah pulang sekolah." Tanah mengomel dihadapan saudaranya, aku menjawil pipinya gemas. Mereka—kembaran Tanah— terlihat tidak terima, bersorak protes. Aku hanya bisa tertawa melihat mereka beradu kata.
Lama aku bermain disini, aku juga memasak untuk sarapan mereka. Mereka duduk dengan khidmat saat menunggu ku memasak, aduhai, gemasnya.
"Biasanya kalau Kak Ufan tidak ada disini, kalian ngapain aja?" Tanya ku berusaha mencari topik. Mereka ada yang menjawab berbeda-beda, dari main, belajar, hingga tidur.
"Kak Ufan lama tidak kesini, kami kangen," ucap Daun, dengan nada mellow, duh, jadi ingin punya adik. "Kak Ufan, kan, lagi sekolah, jadi tidak bisa selalu datang kesini, Daun." Ujar Angin. Aku hanya tersenyum kala jawabannya sudah diwakilkan.
"Kak Ufan sebentar lagi pulang. Kalian baik-baik disini, ya, nurut sama Ochobot. Jangan nakal-nakal!" Titah ku. Mereka semua mengangguk semangat, kini mereka membahas tentang Ochobot —pengasuh yang aku sewa— yang menjaganya dengan baik.
Acara sarapan bersama sudah selesai, aku berpamitan pulang. Angin dan Daun menahan kaki ku, tidak ingin aku pergi. Ya ampun, bagaimana ini?
"Taufan, disini kau ternyata!" Suara seseorang dari arah pintu mengagetkan ku. Itu Halilintar. Aku tanpa sadar melebarkan mata ku saat melihatnya. Pegangan kedua anak itu sudah mengendur karena melihat perawakan gagah didepan rumah mereka.
"B-bagaimana kau bisa ke sini, Hali?"
Halilintar sedikit tersenyum pada anak kembar dihadapan ku, tidak mengindahkan pertanyaan ku. "Ternyata kau sudah memiliki banyak anak, siapa ibu mereka?" Aku tidak terima, tentu saja itu sindiran.
Aku merasakan tarikan pada bajuku, "Kak Ufan siapa itu?" Tanyanya. Aku tersenyum melihat mereka. "Kenalin, namanya Halilintar. Kalian bisa memanggilnya Kak Hali. Dia suka anak kecil." Aku tersenyum.
Mampus kau, Li. Sekarang kau dikerubungi dengan anak kecil yang membuatnya kewalahan sendiri. Halilintar sebenarnya tidak terlalu suka anak kecil, itu permasalahannya. Bisa dilihat wajahnya sudah merah padam menahan gejolak emosinya, aku tertawa puas melihatnya.
"Ck, kau menyebalkan." Segala caci makian ia lontarkan pada ku saat sudah kembali ke rumah sakit. Aku benar-benar tertawa mendengarnya hingga merasa perut ku sedikit sakit akibat tertawa.
"Lagi pula kenapa kau mencari ku? Kena imbasnya, kan?"
"Tadi Gempa bilangnya datang bersama mu, Jadi aku mencari mu agar kau tidak mencoba kabur." Jawabnya. Aku menggeleng tidak percaya. "Aku sudah mengatakannya berkali-kali hingga mulutku berbusa, Li. Kau tidak bisa membohongiku." Halilintar hanya menggerlingkan matanya tidak perduli dengan perkataan ku.
"Itu Gempa. Duduk lah dengannya, jangan kemana-mana! Aku ada urusan lain," katanya sembari menunjuk Gempa yang sedang duduk didepan ruang rehabilitasi. Gempa tersenyum menyambut ku, mungkin karena 3 hari sebelumnya aku tidak datang saat bunda direhabilitasi.
"Aku baru tau ada kursi didepan ruangan rehabilitasi," aku berbasa-basi sedikit, tidak ada jawaban, Gempa hanya menganggap itu sebagai angin lalu. "Kau ingin bertemu dengan bunda?"
Aku menggeleng, "Aku duduk disini saja." Jawaban ku itu hanya dihadiahi dengan hembusan nafas kecewa.
"Baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFAN?! [Tamat] ✓
Fiksi PenggemarTaufan, bagaimana hidup dengan saudara tiri dan tiga ayah yang berbeda? Bukan poliandri ❌ 15+ Cover by Twitter : @Chanom_Kun