Debat

378 60 0
                                    

Setelah aksi balas dendam kemarin, Halilintar pulang dengan keadaan marah-marah tidak jelas. Bibirnya pucat, matanya sembab, pipinya memerah karena marah. Aku hampir saja tertawa dihadapannya, kalau saja ia tidak langsung meninju bahuku.

Halilintar mendiami ku seharian, tapi tak masalah, aku juga tidak ada keperluan yang ingin aku bicarakan dengannya. Barulah keesokan harinya, Halilintar membawa ku pergi ke perusahaannya. Katanya dia tidak mempercayaiku lagi, jika aku tetap sendirian dirumah.

Aku tau resikonya sebelum membalaskan dendam ku. Tapi dia tidak tahu bahwa kejutan yang aku berikan diruang kerjanya adalah sebagai bentuk balas dendam, tidak seperti yang ku tulis disurat yang ku selipkan diatas kadonya.

"Kau selalu membuat ku resah, Fan. Baru ditinggal pergi sebentar aja sudah membuat ulah. Kali ini aku tidak percaya kalau kau tidak ditemani aku atau Gempa dirumah," celotehnya saat diperjalanan. Aku malas mendengarkannya, pemandangan diluar mobil lebih menarik daripada mendengarkan celotehan Hali.

Mobil Halilintar sudah sampai diparkiran khusus yang dibuat untuk beberapa pekerja yang mendapat jabatan lebih tinggi.

Aku keluar dari dalam mobil, masih menatap takjub tempat yang kemarin aku datangi. Gedung dengan desain modern dan tidak lupa dengan tinggi yang sudah setara dengan monas.

Halilintar menarik belakang kerah hoodie yang ku pakai. Dia menyeret ku masuk untuk ikut dengannya agar tidak lepas dari pandangannya.

Kenapa aku merasa dicerita ini aku diperlakukan seperti hewan peliharaan yang diseret agar tidak berkeliaran? Sebenarnya cerita ini mau dibawa kemana?

"Makanya, jangan membuat ulah!" Hardiknya saat aku protes dengan perlakuannya yang memperlakukan ku seperti anak kecil yang akan diculik jika lepas dari pandangan mereka.

"Aku, kan, cuma buat kejutan, Li. Bukan buat masalah!" Balas ku.

Aku menarik kembali hoodie ku yang ia tarik. Dia memelototi ku saat aku menarik tubuh ku paksa. Aku tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil atau seperti hewan peliharaan. "Aku bisa jalan sendiri!" Sahut ku sembari membalas tatapannya tak kalah tajam.

Aku memasuki ruang kerja Halilintar yang kemarin aku desain sendiri dengan setiap bentuk balonnya. Tidak sia-sia aku belajar fisika saat SMA dulu, jadi aku bisa menghitung waktu setiap detiknya sebelum Halilintar masuk keruangannya.

"Diam dan duduk disana. Jangan berani melangkah keluar ruangan sedikit pun!" Ancam Hali. Dimataku, Halilintar sudah seperti bunda saja. Saat aku kecil, bunda selalu memperlakukan ku seperti itu. Mengancam ku jika aku berani melanggar perintahnya, lantas menghukumku saat aku melangkahkan sedikit diriku menuju dunia luar.

Apakah perkataan ku dua hari yang lalu tidak masuk ke dalam hati dan pikirannya?

Aku memilih selonjoran diatas sofa. Biarkan apa kata orang aku dikata tidak sopan. Halilintar selalu saja melirik ku setiap jam. Sudah lah, lebih baik aku belajar sebelum dua hari lagi aku sidang skripsi.

Aku baru ingat, aku belum memberitahu Hali kalau aku sudah mau sidang skripsi. Terakhir kali dia hanya tau aku masih belum menyelesaikan skripsi ku.

"Hali." Panggil ku. Aku berjalan mendekat padanya yang masih fokus dengan tumpukan berkas yang baru saja dibawa oleh bawahannya.
P
"Hm."

Aku duduk didepannya. Memperhatikannya dengan lamat. Memang benar apa yang orang bilang, Halilintar sangat tampan. Tapi aku tidak ingin mengakuinya.

"Sesudahnya skripsi di ACC, apa yang harus dilakukan berikutnya?" Tanya ku. Sengaja ku berbasa-basi agar Halilintar yang bertanya sendiri. "Sidang." Jawabnya singkat.

TAUFAN?! [Tamat] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang