Gempa menatap ku dengan tatapan yang tidak bisa didefinisikan. Tatapan itu benar-benar mengerikan sampai Gempa bereaksi.
"Sudah berapa kali, Kak?" Gempa bertanya pada ku dengan intonasi yang berat. Itu mengerikan sampai Gempa menatapku.
Walaupun aku lebih tua darinya, tapi itu hanya berbeda setahun saja dengannya. Gempa tidak segan-segan akan memukuli ku jika aku membuatnya marah.
Aku hanya menatap Gempa dengan tatapan membela. Gempa menghela napas berat. "Kau selalu saja ceroboh, Kak. Sudah beberapa kali kau melakukan pekerjaan mu, selalu tidak pernah becus." Gempa meninggalkan ku dengan perasaan bersalah dihati ku. Sejujurnya, kata-kata itu memang menyakitkan, tapi itu memang benar.
Aku menatap pecahan kaca dilantai. Tadi, aku ingin membuat coklat panas untuk menemaniku mengerjakan skripsi ku. Tapi, aku justru menyenggol meja dan membuat gelas berisi coklat panas ditangan ku oleng, hingga akhirnya jatuh dan gelasnya pecah.
Aku membersihkannya dengan hati-hati agar tangan ku tidak terluka saat membersihkannya. Coklat panas tersebut tentu saja masih panas sekali entah berapa derajat panasnya, tapi itu mampu membuat asap mengepul di atasnya. Saat terjatuh, coklat panas tersebut sudah pasti mengenai kaki ku, itu panas sekali! Tapi aku diam, agar tidak tambah menyusahkan yang lain termasuk Gempa yang baru saja pulang dari kampus.
"Kak Hali, udah pulang?"
Bunyi pintu terbuka terdengar hingga dapur. Aku yang mendengarnya bergegas membersihkan gelas pecah dan tumpahan coklat panas sebelum Halilintar pergi ke dapur.
Aku membuang pecahan gelas ke tong sampah dapur dan mengepel lantai sebersih mungkin. Setelahnya aku mencuci tangan dan segera berlalu menuju kamar.
"Kenapa rumah ini sepi? Mana anak itu?"
Halilintar duduk disofa mengistirahatkan badannya setelah seminggu lebih melakukan perjalanan keluar kota untuk menyelesaikan pekerjaannya. Gempa menatap Halilintar lalu tersenyum.
"Barusan Kak Taufan ada didapur, entah apa yang ia perbuat,"
"Kau harus memeriksanya, Gempa. Nanti-nanti takut terjadi hal yang tidak menyenangkan!" Perintah Halilintar pada Gempa. Gempa mengangguk bergegas menuju dapur untuk memeriksa ku.
Aku melihat mereka dari lantai dua, tepat didepan kamar ku. Tidak berniat untuk turun.
"Kak Taufan tidak ada di dapur, Kak." Gempa datang dari dapur melaporkanku yang tidak ada didapur. Halilintar memincingkan matanya kearah ku sesaat setelah Gempa mengatakan itu.
Aku tersenyum dan merentangkan tangan ku. "Welcome home, Hali!" Tapi aku tetap ditempat ku, tidak langsung turun dari lantai atas. Halilintar menggerung marah.
"Kau selalu saja mengagetkan ku, Fan." Aku terkekeh kecil mendengarnya. Dan setelahnya, aku turun dengan semangat. Aku duduk disebelahnya, berniat memeluk Halilintar.
"Do you Miss me, Hali?"
Tanya ku saat Halilintar menolak pelukan ku. Namun, Halilintar menggeleng mantap. "Tidak. Hanya saja bunda menanyakan mu pada ku." Jawab Halilintar datar.
"Aoh, bilang saja aku sehat wal Afiat, tidak lecet sama sekali." Aku mengubah ekspresi ku menjadi merajuk. Entah apakah mereka peduli atau tidak saat aku merajuk. Halilintar hanya mengangguk.
Aku berjalan ke kamar mengabaikan mereka. Berpura-pura merajuk. Dan, yah, mereka tidak perduli.
Aku duduk di meja belajar berusaha konsentrasi mengerjakan skripsi yang tidak kunjung selesai. Aku mengusap rambutku kasar saat aku tidak tahu ingin menjelaskan apa diskripsi ku. Ini sudah 4 bulan berjalan, namun skripsi ku masih berjalan 1 atau 2 bab saja.
"Skripsi menyebalkan!" Keluh ku.
Baru saja aku menutup laptop yang sedang menampilkan berkas skripsi ku yang belum rampung. Pintu kamar diketuk oleh seseorang dari luar kamar.
Aku diam tidak bergerak mengabaikan ketukan pintu kamar ku. "Taufan, buka kamarnya." Aku hafal suara itu, itu suara milik Halilintar. "Tidak dikunci." Jawab ku.
Aku duduk dengan malas di atas kursi dekat meja ku, sedang Hali duduk dikasur ku dan menatap ku dengan tatapan tidak bersahabatnya.
Aku tidak masalah dengan tatapan itu. Sungguh!
"Bagaimana dengan skripsi mu?"
Aku menggeleng. "Belum selesai." Aku tidak tahu ingin menjawab apa lagi selain kata "belum".
Halilintar menatapku tajam.
"Sudah sampai mana perkembangan skripsi mu?"
"Baru sampai bab 2, Hali. Hehe. Tadi siang dosbimnya membatalkan janji pertemuan." Aku menyengir agar Halilintar tidak marahi ku. Halilintar sudah beberapa kali mempertanyakan tentang skripsi ku sejak 4 bulan yang lalu. Entah kenapa ia menanyakan ku terus, sampai aku sedikit bosan mendengarnya.
Halilintar mendecih kala mendengar jawaban ku.
"Sudah 4 bulan, tapi kau belum ada kemajuan sama sekali. Bagaimana jika bunda tau?" Halilintar mengomeliku habis-habisan. Aku tau bunda akan marah saat mendengar jawaban ku. Tapi, aku tidak tahu harus melakukan apa saat ini.
"Bagaimana aku akan memberi tahu bunda kalau kau masih belum ada perkembangan sama sekali? Kau siap dimarahi oleh bunda?"
Aku diam. Hanya menunduk mendengarkannya.
"Kalau kau masih tidak ada perkembangan hingga liburan nanti, aku hanya akan melaporkan apa adanya ke bunda. Entah apa yang akan bunda lakukan pada mu, aku tidak akan ikut campur."
Setelahnya mengatakan itu Halilintar pergi dari kamar ku dan meninggalkan ku dengan pikiran yang berkecamuk. Aku tau apa maksud Halilintar. Bahkan aku tahu apa yang akan bunda lakukan pada ku jika aku belum ada perkembangan sama sekali.
Apa yang harus aku lakukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
TAUFAN?! [Tamat] ✓
FanficTaufan, bagaimana hidup dengan saudara tiri dan tiga ayah yang berbeda? Bukan poliandri ❌ 15+ Cover by Twitter : @Chanom_Kun